-ada yang datang lagi-

Satu hal yang Jihoon pikirkan ketika ia mendapatkan kabar mengenai tsunami susulan yang terjadi di tempat dimana sekarang Soonyoung sedang menjalankan tugasnya sebagai relawan.Dalam pikirannya, hubungi Ibu. Karena sepengetahuan Jihoon, Ibunya mempunyai teman yang juga seorang relawan, mungkin saja Ibunya bisa menghubungi temannya dan Jihoon bisa menanyakan kabar Soonyoung. Tapi karena handphonenya sedari tadi digunakan untuk menelpon Soonyoung, dengan perasaan yang sudah tidak jelas, Jihoon menyuruh Ayahnya untuk menelpon Ibu.

“Hallo?”

”ya hallo?”

“Jihoon menyuruh aku buat telpon kamu, kamu bisa tahu kabar dari temanmu yang ikut relawan?”

”Jihoon panik ya mas karena Soonyoung di sana?”

“iya”

”Aku belum bisa hubungi temanku, nanti kalau sudah bisa, aku akan hubungin mas lagi. Ini aku masih cari kabar ke yang lain”

“oke, tolong tanyakan kabar Soonyoung. Nanti kalau sudah tahu, hubungi lagi nomer ini”

”iya mas

“iya... makasih” dan telpon dimatikan oleh Ayah Jihoon.

Saat itu semuanya panik, bukan hanya Jihoon. Bahkan, Ayahnya saja yang baru beberapa kali bertemu dengan Soonyoung juga ikut mengkhawatirkan keadaan Soonyoung yang tidak bisa mereka tebak apakah dia di sana baik-baik saja atau sebaliknya.

Di mobil satunya lagi, Babeh dan Jinjin masih berusaha menghubungi Soonyoung tapi masih nihil, tidak ada jawaban. Bisa dipastikan lebih dari dua orang menelpon Soonyoung dalam waktu bersamaan, dan itu juga bisa membuat semakin sulit untuk menghubunginya. Dan bodohnya ketika mereka sudah tau nomernya tidak aktif, tapi tetap saja dihubungi.

“Gua ke mobil Jihoon dulu Jin, mau ajak dia ke Jakpus aja” Jinjin mengangguk dan babeh keluar dari mobilnya, lalu menghampiri Jihoon.

“Jihoon ikut ya ke Jakpus sama Babeh” katanya, ketika sudah sampai di pingir Jihoon.

Jihoon yang menyadari kedatangan Babeh langsung berhenti (ia masih berusaha menghubungi nomer Soonyoung). Jihoon mengusap wajahnya kasar, menatap Babeh.

“kan a-aku bilang apa... jangan diizinin...babeh” suara Jihoon semakin tidak terdengar seiringnya dengan nafasnya yang semakin tidak teratur.

”dia datang lagi” pikir Jihoon. Setelah sekian lama, setelah ia bisa dan membanggakan keberhasilannya mampu menangani dan tidak membuat dirinya panik. Baru saja, satu hari yang lalu Jihoon membanggakan dirinya bisa melewati fase yang biasanya membuat dirinya tidak bisa mengontrol keadaan. Baru satu jam yang lalu, Jihoon merasa sangat bangga dengan dirinya sendiri karena telah berhasil memainkan piano di babak final tanpa ada beban dalam hatinya, tanpa di akhiri dengan panik yang selalu ia dapatkan ketika ia gagal. Dan baru beberapa menit yang lalu, dengan senangnya Jihoon, untuk pertamakalinya merasa bahagia seusai final dan membagikan perasaan senang itu kepada orang lain.

Sudah gila memang, kebanggaan Jihoon terhadap dirinya sendiri hilang hanya dalam beberapa menit saja. Mau tidak mau, sadar ataupun tidak, bagi Jihoon, Soonyoung merupakan salah satu orang yang memberikan efek terbesar dalam proses sembuhnya. Secara tidak langsung itupun berlaku sebaliknya, Soonyoung juga akan menjadi orang yang memberikan rasa sakit serta sedih dalam hidupnya yang mungkin saja akan meruntuhkan semua hal yang sudah Jihoon bangun lagi selama beberapa bulan bersama ‘salah satu faktor’ dari proses sembuhnya itu.

Lagi, Jihoon kembali ke masa susahnya menghadapi suatu permasalahan. Sedari tadi air matanya tidak pernah berhenti keluar, nafasnya sudah tidak beraturan, handphonenya masih ia genggam dengan erat.

“Jihoon, nafasnya di atur, jangan nangis terus, jangan cengeng” Ayah Jihoon membantu Jihoon duduk dengan benar, membantu Jihoon mengatur nafasnya tapi Jihoon malah menolak ia tidak mendengarkan perkataan Ayahnya sama sekali.

“Jangan..diizinin sembarangan..a-aku tuh udah liat beritanya...gimana...t-tapi babeh izinin” Jihoon dan pemikirannya yang masih terpusat dengan permaslahaan izin ketika Soonyoung mengatakan ingin pergi ke tempat yang sedang tertimpa musibah.

“iya, salah Babeh. Jihoon tenang dulu, pasti baik-baik aja” Babeh mencoba menenangkan Jihoon, yang lagi dan lagi di tolak oleh Jihoon.

Jihoon hanya menggelengkan kepalanya, ingin berkata ‘gak ada yang tahu, telponnya aja gak aktif’ tapi tertahan, sulit untuk mengatakan kata-kata itu, sebagian dari dirinya juga ingin mengiyakan perkataan Babeh. Tapi, semua hal yang Jihoon pikirkan saat ini hanya bagaimana kalau Soonyoung meninggalkan dirinya dan ketidaksanggupan Jihoon ketika harus berurusan dengan hati dan mentalnya sendiri.

Mereka sudah lama tidak bertemu. Saking lamanya, yang Jihoon ingat hanyalah percakapannya dengan Soonyoung di chat. Hingga ia merasa semuanya terlalu kejam, termasuk dirinya sendiri yang mengiyakan perkataan Soonyoung waktu itu. ‘Jihoon juga kagak kenapa-kenapa kalau ditinggal, iya kan?’ . Jihoon tidak akan mau kalau dipaksa untuk tidak bisa bertemu selamanya dengan Soonyoung oleh siapapun dan apapun.

“gak bisa... gak mau” katanya dengan lirih, tidak ada yang mengerti dengan perkataan Jihoon. Bagi Babeh, Ayahnya, Mingyu dan Jeonghan yang sedang berada di dekat Jihoon, mereka tidak mengerti. Karena Jihoon menjawab pertanyaan dari Soonyoung yang terus muncul di kepalanya.

“gak mau...” katanya lagi, tidak ada yang Jihoon sembunyikan, perasaannya dan juga keinginanya. Tapi ia menyampaikan disituasi dan didepan orang yang tidak tepat. Menyadari hal itu, tangisnya yang sedari tadi belum berhenti semakin tidak terhenti, seolah Jihoon menunjukan keraguannya terhadap situasi yang sedang dan akan ia lalui. Tidak bisa Jihoon tahan lagi, ia mengeluarkan emosinya, sedihnya, dan juga kesalnya.

Suara tangisnya bahkan terdengar, sangat jelas oleh siapapun yang berada di sekitar tempat parkir. Orang yang mengenal Soonyoung dan saat ini sedang mendengar tangisan Jihoon, tidak ada satupun dari mereka yang tidak ikut merasakan sedih, tidak ada di antara mereka yang tidak menangis. semuanya takut, takut ditinggalkan oleh orang yang sama, bukan hanya Jihoon.

“ming bawa mobil, Jihoon biar om yang tenangin. Kita ikut ke Jakpus aja sekarang” Jihoon dan Ayahnya pindah ke kursi belakang, Mingyu dan Jeonghan duduk di kursi depan. Babeh sudah pergi ke mobilnya, tadi babeh sempat ingin menenangkan Jihoon, tapi tidak ada yang bisa, babeh sendiri malah ikut merasakan sedih padahal ia sudah berusaha tegar dan kuat semenjak ia mmebaca berita.

“babeh juga panik jin, anak satu-satunya. Orang yang selalu babeh banggain....gak kebayang kalau harus ditinggal...lihat jihoon, babeh tambah panik” Kata babeh, ia baru saja masuk ke dalam mobil, duduk di samping Jinjin.

“kalau udah tenang aja lu nyetirnya Jin” Babeh juga tahu, kalau Jinjin tidak baik-baik saja, sahabatnya tidak ada kabar, tentu saja Jinjin juga panik. Dia bahkan tidak membalas perkataan Babeh, karena Jinjin juga sedang menangis. berusaha menenangkan dirinya, tapi susah.

Dan di sisi lain, ada Mingyu, yang merupakan teman Soonyoung dan sahabat Jihoon. Sedang menangis menyaksikan sahabatnya yang tadi ‘sebahagia’ itu penuh dengan senyuman, semangat memberikan kabar kepada Soonyoung, lalu sekarang temannya tidak ada kabar yang menyebabkan sahabatnya menjadi ambruk sedang menangis dipelukan Ayahnya. Pikirannya kacau, semua orang kalang kabut, terdiam di dalam mobil mencoba menenangkan diri sebelum mereka berangkat. Dan itu membutuhkan waktu. Ketika mereka harus tetap bisa melawan rasa sedih dan takut akan kehilangan.

***

Soonyoung—

Kalau bisa aku paksa, aku akan memaksa mengembalikan waktu dan tegas mengatakan ‘jangan’.

Sayang, aku juga hanya seorang manusia. Yang terbatas hanya bisa memilih satu dari dua pilihan.

Yang kalau menyesal tetap berada di akhir keputusan, yang ketika sedih aku merasa menjadi orang yang paling sedih di dunia, yang juga kalau sakit hatiku maka akan menyalahkan siapapun itu yang menurutku pantas untuk disalahkan.

Ada kata tenang dan ada kata tegar, mungkin kamu bisa menjadikan kata itu menjadi perilakumu dengan mudah, tapi aku, harus ada paksaan dan kemauan yang kuat untuk mewujudkan kata-kata itu.

Situasi ini, bukan situasi yang bisa aku gabungkan dengan dua kata yang tadi disebutkan. Tidak mungkin, tidak akan pernah bersatu. Dari awal sudah kubilang kalau aku tidak sekuat itu.

Kamu ini bagaimana?

Sibuk membantu, aku sudah di tahap bisa menangani diriku sendiri, dan aku senang akan apa yang sudah kita lewati dan aku capai saat ini. Lalu kamu, kembali membuatku tidak bisa menguasai pikiran dan perilaku ku sendiri.

Memang bukan salah kamu, mungkin salah aku. Atau mungkin pertanyaannya yang salah. Bukan ‘kamu ini bagaimana’ tapi aku ini yang bagaimana? Aku ini maunya apa? Aku ini bisanya apa?

Kalau ‘merelekan kepergian’ tidak akan pernah muncul dalam pikiranku, karena sudah jelas aku tidak bisa mengatakan kata selamat tinggal, jadi kalau untuk sekarang “bisa kan balik lagi? Biar aku perbaiki”