hubungan seperti apa sih yang sedang dialami oleh jisoo dan seokmin. mereka pada dasarnya takut kehilangan, bukan karena hati dan kasih sayangnya yang masih enggan untuk membiarkan mereka berpisah tapi karena bingung tentang presensi. kalau mereka pisah, apakah akan ada yang sesabar jisoo atau apakah akan ada yang bisa menahan keras kepalanya jisoo seperti seokmin?

setiap hari selama sepuluh tahun selalu ada jisoo di hari-hari seokmin, begitupun sebaliknya. rela tidak ya, waktu sudah terlalu lama mereka habiskan sebagai sepasang kekasih. hubungan yang tidak ada kemajuan, diam ditempat seolah-olah satu diantara mereka ada yang memaksa memegang kencang satu tangan dan ragu untuk melangkahkan hubungannya.

hari terus berlalu, tapi pandangan mereka tentang hal-hal kecil semakin berbeda. semakin banyak hal yang mereka bicarakan tapi tidak ada yang mau mengerti dan berujung dengan ketidakcocokan.

malam ketika seokmin membalas pesan jisoo, terpikir olehnya kalau selama ini ia selalu memiliki pemikiran yang positif tentang hubungannya, tapi ternyata dia hanya memaksakan. jisoo yang sayang dengan lamanya waktu bersama mereka, jisoo yang merasa kalau kekasihnya akan berubah, ia selalu memberikan kesempatan kedua tapi kekasihnya sampai sekarang tidak berubah.

dan malam itu, ketika seokmin memutuskan untuk membalas pesan jisoo, terpikir oleh seokmin kalau dirinya merasa sudah lelah, dengan kepura-puraannya selalu bersikap baik di depan jisoo, yang di depan jisoo ia selalu cengengesan. dia, seokmin. selalu tertekan dengan tuntutan jisoo dengan pemikiran jisoo yang kadang tidak sesuai dengan pikirannya sendiri. seokmin yang takut kehilangan jisoo karena ia sudah terbiasa dengan presensi jisoo dan seokmin akui kalau jisoo sangat sabar ketika menghadapi dirinya. tapi malam itu dia lelah, tiga agustus mungkin tanggal yang tepat untuk seokmin mengutarakan perasaannya.


setelah setuju dengan apa yang tadi seokmin katakan, saat ini jisoo sedang menunggu jawaban.

tidak selama ia menunggu balasan pesan, malam ini seokmin menjawab panggilan telfon dari jisoo dengan cepat. tentu saja karena itu merupakan usulan dari dirinya.

“hallo”

“hallo”

“susah banget sih dihubungin”

“maaf, udah jangan marah-marah karena gak dibales, nanti malah ngebahas kemana-mana”

terdengar jisoo menghembuskan nafas kasar, menahan rasa kesalnya karena pesannya sudah diabaikan selama ini. tapi kata seokmin benar, kalau mereka sudah punya tujuan dalam perbincangan via telfon kali ini.

“ya tapi aku kesel, kamu coba itung sendiri berapa lama diemin aku tanpa kepastian?”

“nah sekarang aku kasih kepastian”

“gimana?”

“jujur, selama diemin kamu. aku tuh banyak mikir. dengerin ocehan si juned sama si mingyu di group, saran dari si duda juga aku dengerin, aku pikirin”

selama ini seokmin membaca dengan baik-baik saran dari teman-temannya, bahkan ketika ia dan juned sedikit bersitegang, malamnya seokmin tetap baca ulang. selama berhari-hari ia meresapi setiap kata dari teman-temannya, disambungkan dengan perasaannya sampai ia memiliki keputusan yang sedang ia lakukan saat ini.

“terus jadinya gimana?”

“nah, kamu selama aku diemin mikir juga gak?merenung juga gak? atau malah masih asik ngerecokin urusan orang lain?”

“dibilang udah enggak”

“ya syukur deh kalau udah engga”

“lagian, aku ngedeketin jihoon sama seungcheol kan awalnya gara gara kamu, biar kalau jihoon punya pacar kamu gak genit ke dia lagi”

“duh ke aku lagi, ke aku lagi”

“emang”

kalau ditanya, permasalah mereka ini munculnya dari mana. banyak. pada awalnya mereka selalu mengabaikan hal-hal kecil, mengabaikan bagaimana sikap seokmin terhadap orang lain, mengabaikan jisoo yang terus-terusan mengurusi percintaan orang lain. lupa dengan hubungan sendiri yang semakin melemah ikatannya.

“aku kemaren diem, terus sekarang udah ngerasa apa yang aku pikirin udah pakem udah fix, jadi mau ngomong sekarang aja”

“gak mau ketemu? mau ditelfon aja?”

“gak, disini aja”

lalu jisoo terdiam, dia tidak membalas ucapan seokmin. jisoo sudah punya firasat, sudah menebak-nebak hal apa yang akan seokmin katakan.

“aku capek”

“capek gimana?”

“jujur aku tuh sekarang capek. kaya capek banget ketika dikekang gak boleh ini gak boleh itu”

“emang ngekang gimana?”

“ya apa-apa yang aku anggap bercandaan itu kamu anggap seriusan”

“itu bukan ngekang namanya, tapi aku merasa memang itu bukan bercandaan”

“nah, gitu. ngerasa gak sih kita kaya udah gak nyambung”

mereka ini, tidak sadar kalau punya kesalahan masing-masing yang harus diperbaiki. fokusnya sudah keperasaan lelah, capek, ingin dimengerti tapi tidak mau mengerti.

“kamu ngerasanya kaya gitu?” tanya jisoo

“iya”

“jadi maunya gimana?”

“kita udahan aja, maaf jisoo”

“yakin?”

“jujur aku udah capek karena di kekang terus dan aku juga yakin kamu juga capek kan coba ngertiin aku terus?”

“iya”

hening, diantara mereka. saat itu seokmin juga sedikit kaget, hatinya mulai terasa ngilu ketika jisoo dengan mudah mengatakan iya.

“aku, menikmati waktu saat kita bareng-bareng. jujur, aku juga sempet mikir ‘sayang gak ya kalau harus pisah sama jisoo karena udah terlalu lama bareng, aku takut ngerasa kehilangan, aku takut kesepian kalau kamu ga ada, tapi ternyata kalau dipaksain bareng malah jadi kaya gini”

“kenapa ya, omongan kamu malah kaya omongan temen-temen aku yang bilang kalau aku mempertahankan kamu itu cuman karena sayang aja sudah lama sama kamu bukan karena sayang sama kamunya”

“oh iya?” tanya seokmin

“kalau kamu mau udahan yaudah”

“yaudah gimana?”

“mungkin kita udahan aja?”

“iya jisoo, kamu ke si juned habis ini?”

“enggak tau”

“ke si juned aja, curhatin. kalau sedih biar dia temenin”

“yaudah, aku udahan telfonan nya ya, makasih buat waktunya. buat semuanya. buat kasih sayangnya selama ini”

“iya, sama-sama. aku juga ya jisoo, makasih dan maaf juga kalau aku kemarin udah nyakitin kamu dan buat kamu gak nyaman”

dan telfon dimatikan. seokmin yang langsung merasa sepi, merasa kehilangan ketika ia sendiri yang mengajukan perpisahan.

dan jisoo yang entah kenapa malah merasa bebannya lebih ringan, pikirannya lebih tenang.