jakarta sedang hujan. tadi sempat memesan taxi dari aplikasi tapi prosesnya lama karena susah untuk mendapatkan driver, ada faktor hujan dan sekarang sudah menunjukan jam delapan malam.
cici beberapa kali menanyakan posisi aku sudah sampai mana, nyatanya aku masih menunggu taxi di depan apartemen. selama setengah jam aku menunggu, ada rasa ragu untuk datang ke rumah ka soonyoung. entahlah, mungkin karena ini pertama kalinya akan bertemu dengan cici atau mungkin ini pertama kali juga aku akan melihat interaksi antara cici, ka soonyoung dan lala.
bahkan, ketika aku sudah berada di dalam mobil, perasaan ragu ini semakin terasa. kalau diingat lagi, aku bukan tipe orang yang gampang berbaur. perasaan ini semakin kelabakaan tapi sudah setengah jalan.
meskipun sebegitu ragunya, mobil ini sudah sampai di depan rumah ka soonyoung. tidak diberikan jeda untuk berpikir, aku langsung keluar dari mobil karena ada ka soonyoung yang sudah menunggu sambil membawa payung.
dia mendekat, mengajak aku ke dalam rumah. tapi terlihat dari raut wajahnya, ka soonyoung masih kesal. isi pikiranku penuh dengan kata-kata “maklumin, dia lagi salah paham, nanti kalau sudah dijelaskan dia akan mengerti dan kembali bersikap seperti biasa lagi”.
masuk ke dalam rumah, bergantian dengan suara hujan aku bisa mendengar dengan jelas suara tertawa lala, aku ikut tersenyum ketika mendengar suara yang menggemaskan itu. lalu, ketika aku sudah sampai di ruang tamu, aku bisa melihat ada lala dan cici yang sedang duduk di sofa, sambil bercanda dan saling memeluk satu sama lain.
“kakak ciiiil” sambut lala, ketika ia meliat aku yang baru saja datang.
“hai jihoon, seneng deh bisa ketemu” kata cici, ini dia mantan ka soonyoung, ternyata parasnya cantik sekali, anggun dan senyumnya manis, matanya persis seperti lala, mereka sangat mirip.
ka soonyoung menghampiri lala, ia duduk di samping cici.
“lala, suka main baleng ka cil tau mi hehe”
“iya ya, kakak baik ya sama lala?”
“baik lala suka kalau main lama sama ka cil hehe”
lala, terimakasih sudah menyanjung dan sedikit mengurangi kecanggungan diantara orang dewasa ini. meskipun setelah itu aku hanya bisa tertawa sebentar lalu diam lagi.
dalam waktu bersamaan, pemandangan yang jelas terpampang dihadapanku membuat hati terasa hangat tapi sedikit terasa ngilu. karena tanpa harus dibayangkan pun, semua orang akan tahu perasaan seperti apa ketika menghadapi suasana dimana dengan jelas aku bisa menyaksikan bagaimana cara ka soonyoung berbicara dengan cici, bagaimana tangan cici dengan spontan mengelus rambut lala begitupun dengan ka soonyoung, bagaiamana mereka bertiga asik berbicara dan bertukar cerita tentang hal yang tidak aku mengerti.
moment yang aku punya menjadi terasa seperti sebuah kehaluan, ketika di sofa yang baru beberapa malam yang lalu aku duduki dengan lala dipangkuanku dan ka soonyoung yang memperhatikan kami. sekarang sudah tidak begitu lagi, karena ka soonyoung, cici dan lala duduk di satu sofa yang sama, sedangkan aku di sofa yang berbeda.
jadi penasaran, tentang perlakuan. bagaimana kalau saat ini aku dan ka soonyoung sedang dalam keadaan baik-baik saja, apakah perlakuannya kepadaku ketika ada cici akan berbeda?
waktu terus berjalan, suara hujan dan canda tawa mereka masih terdengar, tapi aku semakin merasa sendirian.
ka soonyoung tidak berbicara lagi denganku, cici pun sama. karena cici sedang fokus dengan lala, mereka berdua sedang menumpahkan rasa rindunya. jadi aku tidak bisa protes ketika cici tadi hanya sekedar menyapa seadanya.
outsider, mereka seolah-olah menjadikan kata itu yang bisa mendeskripsikan bagaimana keadaan aku saat ini, meskipun mereka tidak bermaksud tapi hanya kata itu yang bisa menjelaskan.
“udah jam setengah sepuluh, lala tidur yu sama mami”
tidak terasa sudah hampir satu jam, aku menjadi pemerhati aktifitas mereka bertiga.
“jihoon, maaf ya, aku yakin kamu ngerti. sekarang kalian boleh ngobrol berdua, aku sama lala mau tidur duluan”
dan ya, cici peka dengan keadaan, cici juga mungkin paham kenapa sedari tadi ka soonyoung begitu diam. mereka sudah hidup bersama selama delapan tahun, tidak mungkin cici tidak memahami gerak gerik dari mantan suaminya itu.
“jadi mau bicara sekarang?”
“yaudah apaan?”
“okey, maaf kalau aku kelihatannya malah curhat ke mas seungcheol dan ngomongin kamu. tapi yang tadi dia kirim itu kalimatnya gak diselesaikan. seolah-olah aku gak nganggep kamu, padahal aku bilang kalau kamu itu lebih dari sekedar teman atau pacar buat aku. terus kalau di baca lagi seolah-olah aku curhat sama dia, enggak ka, aku cuman jawab pertanyaan dia”
dia diam, aku menjelaskan tidak melihat ke arah matanya karena sedari tadi ka soonyoung hanya menunduk.
“lihat aku dulu, jangan nunduk terus”
“jujur, gue males cil ngomongin ini sumpah”
“ya terus kamu mau salah paham aja gitu sama aku tanpa mau dengerin penjelasan?”
“ya lo udah cerita juga sama si seungcheol cil”
“kalau aku cerita sama dia emang kenapa ka? kan aku udah bilang kalau aku cuman menjawab pertanyaan dari dia”
“tapi dia tau apa yang gue gak tau cil dan gue gak suka”
sorot matanya, masih menunjukan kalau ka soonyoung sedang susah untuk diajak bicara, delapan tahun yang lalu dia memang selalu seperti ini ketika merasa cemburu, sudah janji tidak akan emosi juga tetap saja sifatnya yang lama susah untuk dihilangkan.
tapi ketika ada jeda, ketika tidak ada yang berbicara, sorot matanya melemah, terlihat kelelahan. hari ini mungkin menjadi hari yang melelahkan untuknya, meladeni mas seungcheol, pikiran yang terus-terusan negatif dan menjemput cici, energinya sudah terkuras habis bahkan sebelum kita mulai berdiskusi.
“terus lo gak percaya sama gue itu gimana?”
“udah aku bilang ka, semua yang mas seungcheol katakan itu dia potong-potong”
dalam keadaan seperti ini, setelah kerja seharian, tadi perasaan sempat ragu, bahkan menjadi outsider. akupun merasa sudah lelah.
“lo tau gak sih yang bikin gue kesel banget, ya itu, lo main cerita-cerita aja ke si seungcheol. padahal lo tau dia suka sama lo, kalau dia nangkepnya lo ngasih sinyal buat dia maju gimana?”
“ka, aku tau kamu lagi capek hari ini, akupun sama. bisa gak jangan emosi? dipikir dulu apa yang tadi aku bilang”
“gue bingung deh cil sama lo, kemaren lo bilang sama gue jangan insecure terus tiba-tiba lo bikin gue insecure dengan bilang ke atasan lo kalau lo gak percaya sama gue”
“ka, enggak kaya gitu— “
“ya terus gimana?”
jujur, ini sangat melelahkan. dia yang semakin ngotot dan aku juga semakin kehabisan kata-kata dan energi untuk sekedar memberikan penjelasan.
kalau bisa mengulang waktu, mungkin lebih baik tadi tidak usah jadi datang ke rumah ka soonyoung. cukup diam di kamar apartemen, bertanya-tanya apa yang sedang ka soonyoung, lala dan juga cici lakukan.
“aku bilang, kalau aku gak percaya sama semesta yang selalu memperlakukan aku dan hubunganku dengan kamu secara tidak baik, tapi aku sadar, ternyata memang benar kalau aku juga belum bisa percaya sama kamu seratus persen. bagaimana aku bisa percaya sama kamu? ketika kamu malah membawa mantan istri ke rumah? padahal kamu sudah punya aku? terdengar egois kah?”
“terus gue harus biarin cici nginep di hotel dan bawa lala gitu? padahal dia bisa aja kangen-kangenan sama lala di rumah biar lebih leluasa”
“iya, mungkin baiknya seperti itu”
“kalau kaya gitu, lo beneran egois lee jihoon”
“gimana aku bisa percaya, ketika kamu sama cici sudah punya lala dan kalian pernah melakukan 'itu' terus sekarang kalian satu rumah”
“jihoon, kalau cici denger gimana? dia bisa sakit hati denger perkataan lo”
“jadi apa yang membuat kamu lebih menghawatirkan perasaan cici yang jelas-jelas perkataan aku aja gak akan kedengeran karena kamar tamu jauh dari sini ketimbang aku yang bisa mendengar kamu secara jelas?”
“kita lagi ngomongin seungcheol, kenapa tiba-tiba ke cici?”
“karena kamu ngomongin tentang yang kamu gak suka, aku juga lagi ngomongin apa yang aku tidak suka”
“lo gak suka liat lala seneng karena ketemu sama maminya apa gimana?”
“jangan ngebalik-balikin suatu makna ka, bukan kaya gitu. kamu ngerasa gak? tadi kamu, cici dan lala sudah menjadikan aku sebagai orang luar yang kehadirannya sedang tidak diharapkan. aku tau, kalian gak bermaksud”
“lala lagi seneng ketemu sama maminya, terus gue harus apa? maksa dia buat tetep main sama lo? atau ngusir mereka suruh ke hotel?”
dan itu terlalu kasar, mungkin aku yang mengawalinya dengan perkataan yang salah atau mungkin karena dia sudah terlanjur emosi dan tidak menerima penjelasan apapun.
tidak ingin berdebat terlalu jauh, aku memutuskan untuk diam. suara hujan masih terdengar, dan sudut pandang mataku menangkap kalau ka soonyoung sudah berdiri. dia pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. meninggalkan aku sendirian di ruang tamu yang luas.
sepertinya sudah tidak ada yang bisa aku lakukan, cukup untuk hari ini. mungkin besok aku bisa berbicara lagi dengan kepala yang lebih dingin dan hati yang lebih tenang.
hujan lebat masih belum berhenti dan sekarang sudah hampir jam sebelas malam. dalam pikiranku, aku harus pulang sekarang juga. tapi sudah lebih dari empat puluh menit dan waktu sudah menunjukan jam sebelas tiga puluh, hampir jam dua belas malam dan aku masih belum mendapatkan driver.
aku sempat membenci semesta— dan aku tidak mau merasakan hal seperti itu lagi.