-Jihoon dan isi pikirannya, tentang Soonyoung yang terlalu berani.
“tum makan dulu” Jinjin yang sedang berbaring di pinggir mingyu (yang sedang tertidur memeluk pacarnya) menyuruh Soonyoung untuk segera makan, karena dia dari tadi masih belum memakan sarapan yang sudah disiapkan.
“iya tong makan dulu, kalau bisa ajak Jihoon sana” Babeh yang juga sedang tiduran di pinggir Jinjin menyuruh Soonyoung untuk melakukan hal yang sama.
Jihoon masih di kamar, belum ada yang masuk karena tadi Soonyoung bilang “udah biarin dulu, nanti gua aja yang ajak ngomong” ketika Mingyu mau melihat keadaan Jihoon. Sudah jam 11 siang, Soonyoung juga sudah sangat mengantuk. Jadi dia memutuskan untuk melihat dan berbicara dengan Jihoon sekarang.
Ketika Soonyoung masuk, Jihoon sedang duduk, ia memakai selimut untuk menutupi kakinya yang terasa dingin. Saat Soonyoung sudah duduk di sampingnya, Jihoon hanya melihat Soonyoung sebentar. Ia masih belum mau bicara, karena dikepalanya terlalu banyak hal yang sedang ia pikirkan. Tentang dirinya, tentang apa yang harus ia lakukan dan juga tentang Soonyoung.
“kalau mau marahin aku, marah aja. Kagak usah dengerin perkataan si Joy dulu, sekarang keluarin aja emosinya, kalau kesel ya marahin, jangan diem terus....jangan ngehindar”
“percuma mau kesel juga udah kejadian, dan kamu tetep gak mau ngikutin apa mau aku. Tadi aku denger ko, kamu ngobrol sama babeh di ruang tengah kalau kamu besok juga mau balik lagi ke sana”
“iya, karena aku masih ada tanggung jawab yang belum aku selesaikan”
Soonyoung mengganti posisi duduknya supaya bisa menatap Jihoon, sekarang mereka berhadapan. Saling menatap tanpa ada yang dibicarakan selama beberapa menit.
“tidur, kamu bilang matanya sakit, itu udah merah juga. Tidur aja ya?”
“aku cuman gak ngerti...gak ngerti sama dunia kamu, sama cara pandang kamu. Aku gak ngelarang kamu buat jadi relawan, enggak. Kamu dan dedikasi kamu untuk membantu orang lain, aku juga seneng liatnya. Tapi enggak dengan cara ngebahayain diri sendiri”
Karena saat itu ketika Jihoon mengatakan ketidak setujuannya waktu Soonyoung akan berangkat ke lokasi, salah satu alasannya ia sudah mencari tahu tentang bagaimana tsunami di lokasi sana, kemungkinan yang akan terjadi berikutnya seperti apa, ia juga membaca semua berita mengenai kemungkinan gempa susulan dan sebagainya. Jihoon dari awal tidak pernah mau jika Soonyoung harus datang ke tempat yang memiliki potensi bencana itu akan terjadi lagi.
Tapi Soonyoung dan juga jiwa sosialnya yang selalu siap melakukan apapun karena sudah berkomitmen dan merasa sudah memiliki tanggung jawab. Soonyoung yang tidak pernah merasakan takut akan hal-hal seperti itu sudah biasa, biasa datang ke tempat yang belum pasti mengenai aman atau tidaknya. Karena Soonyoung dan prinsipnya mengatakan “tidak ada yang tahu, kapan dan bagaimana kita meninggal. Kalau bisa milih, meninggal karena sedang melakukan hal yang mulia akan terdengar sangat indah, bukan?”. Terbalik dengan Jihoon yang terlalu takut untuk ditinggalkan, ia tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu. Orang yang selalu menghindari bahaya, sebisa mungkin ia harus berada di tempat yang aman, terutama orang yang dekat dengannya. Jihoon akan lebih takut lagi jika kehilangan orang-orang terdekat, oleh karena itu ia terlihat terlalu protektif.
“kasih tau aku.. alasan yang sebenernya kenapa....kenapa kamu deketin aku?”
Soonyoung belum menjawab, dia dan Jihonon masih saling menatap. Soonyoung bisa lihat kalau Jihoon juga sudah lelah, matanya terlihat sudah sangat berat untuk dikedipkan. Mereka berdua sama, tapi masih ingin membicarakan hal yang memang selalu menjadi penghalang bagi Jihoon untuk mendekat kepada Soonyoung.
“karena kasian, liat kamu nunggu di mobil sampai 2 jam”
“terus?” sekalian sakit, buka semua sekarang. Biar besok perasaan Jihoon akan segera membaik. Begitupun dengan Soonyoung, dia dan pilihannya.
“ngebantu Mingyu, supaya dia bisa pacaran dengan bebas. Ngebantu kamu, supaya bisa melihat hal lain yang gak mau kamu liat. Mungkin itu awalnya” Soonyoung mengatakan yang sebenarnya tentang alasan kenapa ia mendekati Jihoon. Mendengar perkataan Soonyoung, Jihoon hanya bisa tertawa miris.
“aku tuh gak perlu dikasihanin. Terus sekarang gimana? Udah deket sama aku, mingyu juga udah bebas pacaran, aku udah bisa ngeliat dan bisa denger hal-hal yang gak pernah aku bayangkan sebelumnya. Mau kamu sekarang apa? Ninggalin aku?”
“kagak gitu loh maksudnya”
“aku sama mereka sama aja kan? Sebagai orang yang mau kamu bantu? Demi apapun aku gak pernah mau kamu bantu, kalau ujungnya kaya gini lebih baik aku masih di posisi yang sama kaya dulu”
“Jihoon kamu selalu ngehilangin tentang perasaan kalau lagi sama aku”
“enggak..” sanggah Jihoon dengan cepat.
“aku selalu membawa perasaan aku, kalau aku gak pake perasaan kenapa aku bisa setakut itu tadi malam? Aku bilang gak mau pacaran, aku bilang takut pacaran bukan berarti aku ngelewatin apapun itu sama kamu gak pake perasaan”lanjutnya
Untuk pertamakalinya juga mereka membicarakan hal-hal yang selama ini mereka pendam, hal-hal yang selama ini hanya bisa mereka rasakan dan pikirkan tanpa ada niatan untuk membagi setiap detail yang ada dalam hati dan kepala mereka.
“aku tahu, kamu dan jiwa sosial kamu yang enggak pernah aku ngerti sama sekali. Yang dikatain Joy bener kok, gak seharusnya aku selalu minta kamu ngertiin, gak selamanya kamu juga bisa nurutin maunya aku. Aku juga paham, kemauan kita terlalu banyak bedanya”
Jihoon dengan beberapa ketakutannya dan Soonyoung dengan segala keberaniannya.
Jihoon yang selalu berusaha menghindari takdir dan Soonyoung yang selalu siap menjalani takdirnya
Antara banyak yang dikhawatirkan dan yang tidak memiliki kekhawatiran sama sekali
Dia yang selalu melewati hal yang tidak mau ia jalani dan dia yang selalu menorobos setiap jalan untuk menjalani hal sulit maupun hal mudah yang dia inginkan ataupun tidak
”kita harus bagaimana?” tanya Soonyoung
“rencana kamu apa?”
“masih aku pikirin”
“mau denger rencana aku? Aku udah mikirin ini semalaman”
“okey, gimana?” Soonyoung mengatakan itu sambil ia lebih mendekat lagi ke arah Jihoon, satu tangannya meraih tangan Jihoon untuk ia genggam.
“banyak hal yang aku sadari dari yang udah lama sampai tadi malam...” Jihoon melihat ke arah tangan mereka yang sedang saling menggenggam,ia mengusap tangan Soonyoung pelan. Jihoon terus berbicara, tapi matanya fokus melihat ke tangan Soonyoung dan juga tangannya.
“gak ada yang salah kalau kamu jadi relawan dan mau pergi ke tempat-tempat yang menurut aku bahaya, gak ada yang salah ko, yang salah itu cuman aku sama pikiran aku yang terlalu takut sama segala hal. Dan... gak ada yang salah kalau aku minta dingertiin sama kamu, yang salah itu aku terlalu banyak maunya, aku terlalu mau dingertiin tanpa mau dengerin pendapat kamu” Jihoon berhenti sebentar, ia menggigit bibir bawahnya.
“aku cuman takut ditinggalin, kamu orang yang paling paham sama kondisi aku, sama trauma aku. Tapi kamu tetep kaya gitu.. aku gak mau jadi penghalang buat kamu, aku juga gak mau jadi orang yang bisanya ngatur-ngatur, harusnya kamu tahu dari awal aku kaya gimana dan kedepannya aku bakal gimana. Kenapa masih deketin?”
“gak tau kenapanya?” tanya Jihoon lagi ketika Soonyoung belum juga menjawab pertanyaan yang ia berikan
“kamu bisa bebas ngelakuin apapun yang kamu mau, aku juga gak perlu khawatir tiap malam.. meskipun aku gak yakin aku bisa atau enggak, tapi lebih baik kaya gitu bukan? Kamu gak perlu mikirin aku maunya gimana dan apa lagi”
“gak ada rencana lain?” tanya Soonyoung
“kalau kamu mau dengerin aku dan enggak pergi ke lokasi yang terlalu berbahaya menurut aku, mungkin bisa. Kamu kan bisa bantu orang lain dengan cara yang berbeda. Kalau kamu mau bilang itu komitmen kamu dan sebagainya, aku gak ngerti sama yang begituan. Kalau kamu mau bilang ‘meninggal gak ada yang tahu gimana dan kapannya’ tapi kan seenggaknya jangan datang ke tempat yang berbahaya. Jangan bikin orang terdekat kamu jadi khawatir, kalau aku dianggap jadi orang yang menurut kamu dekat sama kamu, dan kamu udah tahu apa yang aku takutin, harusnya kamu gak seenaknya kalau ambil keputusan kaya gitu” mata Jihoon mulai terasa panas lagi, dadanya juga sudah sesak karena ia sedari tadi menahan untuk tidak menangis.
Jihoon sudah meluapkan setiap kata yang muncul dipikirannya, dari awal Soonyoung sudah paham mengenai keadaan Jihoon, hanya saja ia tidak paham mengenai apa yang sebenarnya sedang Jihoon ingin dan rasakan saat ini. ketika Jihoon mengatakan semua hal itu kepada Soonyoung, Soonyoung merasa ada beberapa hal yang telah ia lewatkan. Ada beberapa hal yang telah ia abaikan, ada kesalahan yang mungkin saja telah dilakukan oleh keduanya. Tanpa Jihoon dan Soonyoung sadari, mereka hanya terus berjalan di jalan yang berdampingan tapi tidak bisa saling merasakan dan tidak pernah tahu tujuan dari masing-masing perjalanan yang sedang mereka tempuh. Bukan karena tersesat, bukan. Hanya saja karena Jihoon yang ingin pergi ke jalur lain dan Soonyoung yang masih ingin berada di jalur tetapnya.
“dua minggu lagi, karena aku juara tiga.. nanti aku bakal tampil di acara jakarta simfonia, kalau kamu masih di sana, yaudah..” Jihoon berhenti sebentar, dari tadi semenjak Soonyoung memegang tangannya, ia tidak berani menatap mata Soonyoung, sehingga fokusnya hanya kepada tangan mereka berdua, sampai sekarang.
“kamu fokus sama kegiatan kamu, aku di sini juga fokus sama kegiatan aku... gak perlu ngerasa kalau kamu ada tanggung jawab juga buat datang... kalau kamu maunya kaya gitu, mungkin a-aku bisa”
“kalau aku yang kagak bisa gimana?”
“bisa, kamu kehilangan satu orang yang toxic kaya aku pasti bisa.. gak ada yang bakal minta ini minta itu lagi ke kamu, kalau aku...yaudah, gak usah dipikirin”
“kagak bisa gitu”
“terus gimana? Aku juga gak mau, gak bisa.. aku juga gak tau sanggup apa enggak, tapi aku lebih gak mau dan lebih gak sanggup lagi kalau kamu ninggalin aku, hilang tiba-tiba kaya kemarin. Sumpah, aku gak sanggup. Waktu denger kabar itu aku susah nafas lagi..ada ayah bantuin aku. Dan aku sadar ada yang salah sama diri aku, kamu mau tau seberapa frustasi dan takutnya aku waktu denger ada tsunami susulan?”
Soonyoung diam, dia sedang mendengarkan Jihoon. Soonyoung tidak mau memotong perkataan Jihoon, biarkan Jihoon bicara dan mengeluarkan semua kegelisahan, kekeceewaan dan hal-hal yang telah terjadi sebelumnya yang Soonyoung tidak tahu.
“sebelumnya aku kesusahan buat nafas, aku bingung gimana caranya supaya aku bisa nafas dan panik sendiri. Kemarin...aku baru ngerasain panik yang se-panik itu, Ayah sampai ngebantu aku, tapi hal yang aneh terjadi, aku gak ada usaha buat nafas sama sekali, aku gak cari cara, aku cuman diem sambil nangis...aku hampir menyerah juga...aku gak akan sanggup kalau harus begitu lagi”
“maaf Jihoon” Soonyoung memeluk Jihoon, tanpa berkata apapun lagi Jihoon juga membalas pelukan Soonyoung
“aku juga m-maaf.. gak bisa ngertiin kamu, a-aku udah coba tapi susah”
“gak papa, gak papa Jihoon..jangan nangis”
Tanpa di sadari, kalau keduanya sudah terlalu dekat untuk saling menjauh. Jihoon memberikan berbagai pilihan dan sudah mengatakan apa yang menjadi ketakutan dan keinginannya. Soonyoung, tinggal dia yang memilih mau seperti apa, karena Jihoon sudah jelas, untuk saat ini ia masih terlalu takut untuk mendekat lagi kalau Soonyoung masih harus pergi dan meninggalkan Jihoon tanpa kepastian setiap waktunya.
Hari itu, Soonyoung bilang “jangan nangis” tapi dirinya juga sedari tadi tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, Soonyoung punya jalan sendiri, solusi untuk bersama tanpa harus menyakiti satu dari dua masih belum Soonyoung temukan. Besok dia harus segera pergi ke lokasi kemarin, mungkin di sana ia akan berpikir sejenak. Jihoon juga akan fokus dengan persiapan untuk tampil di Jakarta simfonia. Mungkin untuk saat ini, mereka akan fokus di jalan masing-masing dan mencari jalan tengah yang akan mempertemukan mereka lagi.
Mungkin Soonyoung akan menuruti Jihoon, masih menjadi relawan tapi ia tidak bisa datang ke semua lokasi yang terlalu berbahaya (menurut Jihoon) dan membantu dengan cara lain. Atau mungkin Soonyoung akan tetap dengan dedikasinya yang tidak pernah takut ketika berada di lokasi dengan kondisi bagaimanapun.
Mungkin, untuk saat ini hanya kata ‘mungkin’ yang bisa menggambarkan mereka. Entah apa yang ada dipikiran Soonyoung ketika ia memeluk Jihoon dengan erat seperti sekarang, dan entah apa yang sedang ia rasakan ketika perlahan Jihoon tidur dipelukannya.
- kalau Jihoon sudah jelas, dia tidak akan menjauh kalau Soonyoung mengikuti apa keinginanya...