Jihoon dan support system-nya
Selalu tersenyum, penuh dengan kebanggan. Itulah Babeh selama ia menonton Jihoon. Di konser Jakarta Simfonia Orchestra ini Jihoon tampil sebagai salah satu peserta yang menang di lomba yang di adakan oleh team Jakarta simfonia sekitar beberapa minggu yang lalu. Ia membawakan Beethoven – Piano concerto no.4, sebagai peserta terakhir yang muncul dan sebagai pembuka dari acara konser musik tersebut.
Ketika Jihoon sudah selesai, babeh dan yang lainnya masih asik menikmati konsernya, kecuali Mingyu. Ia sedari tadi mengirim pesan kepada Jihoon sedang mendiskusikan sesuatu.
[boleh gak?]
-[emang mau?]
[iya ketemu dulu makanya] [ini mau keluar kalau boleh sama lo]
-[yaudah, tapi dimana?]
[di lorong aja sono kan ada tuh kursi]
-[yaudah]
[okeeee bentar gue bilangin]
-[okey]
Setelah membaca pesan dari Mingyu, Jihoon lalu keluar dari backstage. Ia menuju kursi yang tadi di maksud oleh Mingyu. Jihoon duduk, menunggu orang lain datang untuk duduk di sampingnya.
Tidak berapa lama, ada orang yang sedang berjalan mendekat ke arah Jihoon, ia memakai jas berwarna hitam, orang itu menata rambutnya dengan rapi. Tidak lupa ia juga membawa bunga yang sudah jelas akan ia berikan kepada Jihoon sebagai bentuk ucapan selamatnya karena sudah menang lomba dan bisa tampil di acara yang lumayan besar.
“buat kamu” katanya sembari memberikan bunga yang ia bawa kepada Jihoon
“makasih”
“tadi..kamu keren, kalau kata babeh ‘Jihoon tuh kalau lagi main piano indah banget ya’”
“makasih” kata Jihoon lagi, entah apa yang bisa Jihoon ucapkan ketika ia dengan orang yang di sampingnya saja berbicara tanpa saling melihat satu sama lain.
“udah dua minggu, mau cerita kagak? Apa yang udah kamu pikirin dan apa yang mau kamu sampein sama aku?”
“kalau aku masih sama, aku juga mau minta maaf kalau aku terlalu banyak maunya padahal aku juga cuman gini-gini aja. Tapi aku gak bisa kalau kamu gak mau ngikutin mau aku yang itu” Jihoon menundukan kepalanya, ia menatap bunga yang sedang ia pegang.
“okey, aku paham. Sekarang aku mau cerita boleh?” tanya orang yang sedang menatap Jihoon meskipun Jihoon tidak melihat ke arahnya.
Ketika Jihoon mengangguk memberikan jawaan atas pertanyaannya, ia mulai bercerita dimulai dari kejadian ketika ia menjadi relawan, bagaimana sibuknya dia, bagaimana ia hanya bisa beristirahat ketika malam saja. Dan itu malah membuat Jihoon semakin khawatir.
“kegiatan aku kaya gitu selama di sana. Aku ngerti kok kamu khawatir, aku juga tahu babeh pun sama. Aku kalau ngambil keputusan kagak mau cepet-cepet karena harus yakin dulu jadi kalau suatu saat ada masalah, aku kagak bakal nyesel” Jihoon mendengarkan setiap perkataan dengan perasaan was-was. Apa sebenernya yang akan orang ini sampaikan, Jihoon hanya ingin tahu jawaban dari usulannya dua minggu yang lalu.
“kamu tahu kan, akan susah bagi orang buat ngerubah prinsip hidupnya. Seperti kamu yang kagak mau pacaran atau menjalin hubungan, dan prinsip hidup aku bisa dikatakan harus banyak ngebantu orang-orang di sekitar—“
“soonyoung..” kata Jihoon, ia memotong perkataan Soonyoung yang sedari tadi Soonyoung sedang bingung harus bagaimana menjelaskan apa yang ada dipikirannya kepada Jihoon tanpa harus membuat yang sedang duduk di sebelahnya ini ikut kebingungan.
“kalau kamu mau ngomongin prinsip hidup, kayanya aku udah gak pake lagi prinsip hidup aku. Aku juga mikir ko selama dua minggu ini, aku tahu aku banyak nyakitin kamu dari awal kenal sampai sekarang. Terus... setelah kejadian kemarin juga aku banyak mikir. Kalau selama ini prinsip hidupku adalah mekanisme pertahanan yang aku buat, karena aku takut kalau harus kehilangan dan ditinggalkan. Bahkan tanpa status pacaran pun aku masih ketakutan malam itu” Jihoon berhenti sebentar, ia melihat ke arah Soonyoung yang ternyata Soonyoung juga masih melihat ke arahnya.
“ternyata bukan takut pacaran, bukan gak mau pacaran.. aku cuman takut kalau harus ditinggalin lagi. Aku udah menyadari sesuatu yang selama ini aku gak tahu bukan?”
Dan Soonyoung mengangguk, memberikan senyuman kepada Jihoon.
“kalau aku, aku masih tetap ingin ngebantu banyak orang. Masih tetap mau jadi relawan, sampai kapanpun itu. karena dari dulu keinginan aku cuman itu, cita-cita aku cuman jadi relawan dan ngebantu orang lain. Di sisi lain aku juga kagak mau ninggalin kamu. Udah yakin kan sama perkataan kamu? Kalau kamu ngizinin aku di relawan?”
“iya” jawabnya
“aku udah pikirin juga.... Jihoon aku mau ngebantu banyak orang, dengan cara-cara yang kagak bakal bikin kamu khawatir” kata Soonyoung, ia menatap Jihoon, memperhatikan bagaimana reaksi Jihoon saat ini. Apakah Jihoon akan senang atau biasa saja.
“bener ko kata kamu, kata babeh juga. Kalau masih banyak cara buat ngebantu orang-orang” lanjut Soonyoung. Jihoon masih belum memberikan respon. Ia masih bengong, dari tadi ia memperhatikan Soonyoung tapi pikirannya kemana-mana. Jihoon mendengarkan dan ia mencerna setiap perkataan Soonyoung yang malah membuat pikirannya memikirkan banyak hal.
“kamu serius?” tanya Jihoon
“aku niatnya cuman mau ngebantu orang lain ko, kalau ada cara lain yaudah aku lakuin cara itu karena aku kagak ada niatan sama sekali buat ninggalin kamu”
“kalau tentang ditinggalkan karena kematian, kamu bisa tolong ajarin aku supaya bisa ikhlas kaya kamu sama babeh ketika ngehadepin hal-hal kaya gitu aku juga paham ko kalau kita pasti ada saatnya buat ninggalin dunia ini tapi....ehm maksudnya pelan-pelan aku diajarin supaya bisa ikhlas. Kaya kamu yang bisa ngerubah prinsip aku secara pelan-pelan”
“lama itu.. hampir mau satu tahun”
“yaudah sih kan aku udah bilang mau aku gimana sekarang”
Soonyoung tertawa mendengar jawaban Jihoon, membutuhkan dua minggu untuk mereka bisa mendapatkan jawaban. Hasil dari renungan yang selalu mereka lakukan setiap malam, tanpa saling menghubungi satu sama lain.
“jadi kita mau temenan lagi?”
“okey” jawab Jihoon
Soonyoung merentangkan tangannya “sini” katanya dan Jihoon langsung memeluk Soonyoung dengan erat.
“tadi babeh waktu nonton kamu, masa katanya dia mau nangis”
“terus kalau kamu?”
“kangen hehe”
Jihoon memukul punggung Soonyoung pelan. “Aku kan nanya gimana kamu tadi pas nonton aku, bukan kamu selama dua minggu ini”
“tau aja selama dua minggu ini kangen, kangen juga ya?”
“sedikit”
Soonyoung sendiri tidak bisa menjamin hubungannya akan maju ke tahap selanjutnya atau tidak, dia tidak memikirkan ‘status pacaran’ ketika memutuskan apa yang akan ia pilih dari dua pilihan yang diberikan oleh Jihoon. Yang Soonyoung pikirkan hanya alasan lain yang baru ia sadari ketika ia memutuskan untuk mendekati Jihoon, alasan yang membuatnya bertahan selama ini di samping Jihoon dan yang terpenting adalah perasaan Soonyoung yang tidak mau meninggalkan atau ditinggalkan oleh Jihoon.