nyongji96

The star and its universe 15 22 1996

tidak semuanya hilang


akan selalu ada perdebatan hebat antara hati dan logika seorang kwon soonyoung setelah ia berpisah dengan seseorang yang masih ingin ia rasakan presensinya. jihoon yang bisa membuat dirinya dan lala bahagia. kisah mereka harus berakhir begitu saja. soonyoung yang harus bisa melepaskan dan jihoon yang kembali harus menerima keputusan pahit tentang hubungan mereka.

setiap pagi, hal pertama yang soonyoung pikirkan adalah apakah jihoon baik-baik saja, apakah jihoon sama seperti dirinya yang semakin hari semakin gila, dengan perasaannya sendiri dan dengan pertanyaan lala.

ketika soonyoung tidak bisa menjawab dan enggan untuk menjelaskan, soonyoung selalu menelfon cici dan menyuruhnya untuk menjelaskan kepada lala mengenai keadannya dengan jihoon. bukan karena soonyoung ingin lari dari tanggung jawab untuk menjelaskan situasinya, tetapi untuk beberapa minggu setelah berpisah dengan jihoon, soonyoung masih belum bisa memproses kata-kata yang baik untuk disampaikan kepada anaknya itu, soonyoung yang putus asa dan lala yang masih tidak tahu apa-apa.

“mami, kenapa kak cil gak pernah video call lala lagi?” pertanyaan pertama lala ketika ia baru ditinggalkan.

“papi, ayo ke kak cil” ajakan lala ketika satu minggu ia tidak pernah bertemu dengan jihoon.

saat itu soonyoung hanya membalas dengan senyuman, memeluk lala tanpa mengucapkan apapun, sedangkan pertanyaan lala kepada cici hanya dijawab dengan kata-kata yang tidak mau lala dengar.

“kak cil, lagi sibuk”

“kak cil, mungkin kerjaannya sedang banyak”

“kak cil, pasti capek kasian kalau masih harus telfon lala”

dan lala selalu menyangkal dengan argumennya bahwa sebelumnya pun jihoon sibuk, jihoon bekerja dan jihoon masih sempat melakukan video call dengannya.

dari setiap kesempatan melakukan video call atau sekedar telfon dengan cici, lala selalu menyelipkan pertanyaan tentang jihoon. dan cici mengerti, kalau lala merasa kehilangan dan ia masih mencari. Kalau ternyata lala tidak puas dengan setiap jawaban yang cici atau soonyoung berikan tentang pertanyaan dimana kakak cil kesayangan lala bersembunyi.

setelah bertanya berkali-kali, dari hari natal, momen tahun baru sampai ke ulang tahun lala yang ke enam. ada satu pernyataan yang dapat lala tangkap.

“lala, punya banyak peltanyaan buat ka cil papi”

“tanya sama papi” tapi lala hanya menggelengkan kepalanya, tidak mau karena bukan soonyoung yang dapat mengerti apa yang akan lala tanyakan.

mereka sedang merayakan ulang tahun lala yang ke enam, dengan cici bisa terlihat dalam video call yang sengaja mereka lakukan di jam tujuh pagi sebelum cici berangkat kerja.

“lala, kak cil gak bisa main lagi sama lala”

“kenapa? lala gak nakal”

“lala gak nakal, tapi orang lain yang nakal. kalau ada ka cil nanti mereka jahatin lala. kakak cil gak mau kalau lala dijahatin makanya kakak cil pergi usir mereka biar gak jahatin lala sama papi”

dengan kalimat sepanjang itu, lala antara paham dan hanya mengerti sebagian. yang lala lakukan setelah mendengar penjelasan dari cici adalah memeluk soonyoung sambil berkata “kak cil, kalau udah gak ada yang jahat bakal ke lumah lagi kan papi?”

soonyoung meskipun diam, dalam hatinya ia selalu mengatakan “semoga, semoga jihoon kembali dan kita bisa bareng-bareng lagi. semoga la”

saat ulang tahun ke tujuh, delapan, sembilan dan seterusnya. lala masih berharap kalau jihoon sudah selesai menyingkirkan orang-orang jahat itu dan cepat kembali ke rumah yang masih sama, yang diisi oleh lala dan juga soonyoung.


delapan tahun kemudian, lala sudah menginjak usia tiga belas tahun. tepat di hari ulang tahunnya, yang selalu lala do’a kan adalah keadaan jihoon, mungkin berbeda dari do’a-do’a sebelumnya yang selalu berharap kalau jihoon akan segera selesai mengalahkan para penjahat. untuk do’a nya kali ini lala hanya ingin jihoon baik-baik saja dan kalau ada kesempatan lala mau bertemu dengannya dan memintanya untuk kembali tinggal dengan dirinya dan soonyoung.

tapi sayangnya, harapan lala masih saja belum terkabul. delapan tahun ditinggalkan oleh jihoon, tanpa ada kata pamit sebelumnya. ketika dia masih kecil, ketika dia bisa mengingat dengan jelas apapun yang dia rasakan saat itu. dan ketika lala bertanya-tanya, bertambahnya usia membuat lala semakin hari semakin mengerti tentang keadaan papinya dan kakak cil, tentang mereka berdua, tentang soonyoung dan jihoon.

lala selalu mencari informasi tentang apa yang ia tidak mengerti, dia mengobservasi lingkungannya, melihat bagaimana teman-temannya berinteraksi dan mengobrol, menyimpulkan beberapa hal dan lala yakin akan satu hal.

“aku udah besar mami, ini ulang tahun aku yang ke tiga belas. aku paham sama beberapa hal yang dulunya aku gak paham, jadi jangan kasih aku jawaban kalau kak cil ninggalin aku sama papi karena dia mau ngusir orang-orang jahat”

“papi kemana?” cici mencoba mengalihkan perbincangannya dengan lala.

“tidur, tadi habis makan-makan sama temen-temen lala, papi langsung tidur”

“terus kenapa lala belum tidur? udah malem juga loh”

“aku cuman—kangen. pertanyaan aku, yang aku tulis dari kecil di buku udah terlalu banyak buat kak cil jawab nantinya”

“jadi lala udah pahamnya sampai mana?”

“ka cil gak bisa main lagi sama lala, gak bisa datang lagi ke rumah dan gak bisa bareng-bareng lagi sama papi dan lala, karena lala gak bisa punya dua papi ya? gak bisa ya kalau ada papi satu sama papi dua?—“ lala berhenti sebentar.

“lala bingung, kak cil dan papi coba lindungin lala kan? orang-orang jahat yang dimaksud mami adalah mereka yang nantinya akan membully lala karena punya dua papi kan? papi sama kak cil pisah karena gak mau orang lain bicara buruk dan memperlakukan lala dengan tidak baik kan?” lanjut lala.

“iya lala”

“tapi kenapa papi, kak cil dan mami gak pernah tanya dulu sama lala maunya gimana, kenapa gak dengerin pendapat lala dulu? karena waktu itu lala masih anak kecil? terus kenapa gak menunggu sampai lala besar dan dengerin pendapat lala ketika lala udah ngerti? kenapa malah mutusin buat kak cil harus pergi dari kehidupan lala sebelum lala ngomong apapun”

“kak cil sama papi cuman mau lala nyaman dan bahagia aja ketika masa sekolah ataupun nanti ketika kuliah”

“tapi lala gak nyaman, lala gak seneng ketika lala denger papi ngigo sebut-sebut kak cil, ketika lala juga iri sama temen lala yang punya dua papi dan bareng tapi lala gak bisa, dari dulu lala selalu bilang kalau lala kangen sama kak cil, kangen sama orang yang gak tau kita bakal ketemunya lagi kapan itu gak enak mami, darimana nyamannya kalau keadaan lala kaya gini?”

“lala maunya kita cari kak cil?”

“iya mami”

“okey”

“i love you mami, always”

i love you too, anak kesayangan mami, papi sama kak cil”


disisi lain, dengan keadaannya yang semakin hari semakin enggan untuk menjalankan kehidupan. jihoon melakukan berbagai jenis aktifitas dengan bantuan obat-obatan.

tangerang, tempat yang tidak terlalu jauh. tapi jihoon bersembunyi dengan baik dari soonyoung dan juga lala, bahkan jeonghan dan jisoo pun tidak mengetahui tempat tinggalnya yang sekarang.

untuk yang kedua kalinya, delapan tahun sudah jihoon lalui. delapan tahun kali ini lebih berat, semuanya lebih kelam dan jihoon seperti berjalan diatas kaca yang tipis, yang harus siap kalau sewaktu-waktu kaca itu akan pecah menyakiti jihoon dan menjatuhkannya.

takut, tapi harus tetapa berjalan.

berjalan dalam harapan yang sudah selalu retak setiap harinya.

jihoon kacau, tidurnya tidak pernah nyenyak dan pikirannya tidak pernah tenang.

jihoon sudah lelah, tinggal dilingkungan baru berharap bisa membaik tapi tetap saja. berpura-pura baik-baik saja tapi jihoon tidak bisa. semua yang dia lakukan terasa berat, dia kehilangan hal terpenting dalam hidupnya, harapannya direnggut begitupun dengan orang yang dia sayangi, lala dan soonyoung.

beberapa kali menggoreskan benda tajam itu ke tangannya dan setetes darah keluar, berharap bisa menggantikan rasa sesak di dadanya, jihoon hanya ingin merasakan rasa sakit dibagian lain karena dia sudah tidak punya alasan untuk menangis tapi dia masih ingin menangis.

beberapa obat yang ia genggam juga pernah menjadi saksi kesengsaraan hidup jihoon saat ini, kalau butiran obat itu bisa berbicara mungkin dia akan mengatakan ‘berhentilah menangis manusia, aku sudah bosan mendengarnya’.

bahkan jihoon rutin meminum obat-obatan yang katanya bisa menghilangkan stress berat yang sudah menimbulkan gangguan mental dan fisik. tapi jihoon masih belum merasakan efeknya sampai sekarang.

jihoon tidak berusaha untuk sembuh, dia cuman berpura-pura dan mengikuti logikanya untuk berobat tapi hatinya tidak mau.

jihoon sudah menyerah, bahkan ketika ia masih berada di kantor yang lama dan masih memikirkan untuk keluar.

di luar, jihoon hanya bisa menjalani hari-harinya seperti bagaimana ia melakukan aktifitas, bekerja dan terus bekerja. tanpa jeda dan tanpa hiburan sama sekali selama delapan tahun kebelakang. tanpa ada ocehan yang berisik dari jeonghan dan jisoo, tidak ada hari sabtu dan minggu yang selalu ia tunggu-tunggu untuk menginap di rumah soonyoung. jihoon hanya bekerja, pulang lalu tidur dan begitupun dengan hari selanjutnya.

banyak hal yang berubah dengan keadaan jihoon. ia memutuskan untuk membeli mobil, alasannya karena ia terlalu lelah untuk berinteraksi dengan orang lain. hal yang tidak ia sukai pun terpaksa ia harus bisa dan ia lakukan. karena bekerja sekeras apapun, selelah apapun. jihoon masih belum bisa melupakan hal yang ingin ia lupakan. oleh karenanya dia hanya ingin tidur, meskipun dalam tidurnya ia masih tetap diganggu.

malam tadi hujan, jihoon kembali mengingat ketika dia dan soonyoung berantem hebat karena cici menginap dirumah soonyoung. mengingat bagaimana dia dan soonyoung sangat keras kepala. jihoon ingat kalau malam itu dia kedinginan dan sibuk mencari driver, tadi malam jihoon malah tertawa penuh dengan kesedihan, sambil bertanya-tanya kenapa melupakan satu orang dengan segala kenangannya sangat sulit dan berat. apakah soonyoung juga merasakan yang sama, atau selama ini memang hanya jihoon saja?


tidak ada yang special di tempat kerja jihoon, sudah tidak ada lagi seungcheol yang selalu mengganggunya. sekarang dia bisa bekerja dengan tenang, sayangnya ketenangan itu hanya terjadi jika dia tidak mengingat hubungannya dengan soonyoung, atau ketika dia tidak merasa kehilangan, atau ketika dia tidak merasa gagal untuk yang kesekian kalinya, atau ketika dia tidak sedang kangen dengan seseorang yang jihoon tidak tahu pasti bagaimana perasaannya sekarang padanya apakah masih sama atau mungkin dia sudah memiliki yang baru. sudahlah, jihoon tidak mau memkirkannya, satu kali lagi jihoon hanya ingin lupa akan semua kenangan dan orang itu. jihoon hanya ingin bekerja dan hidup dengan tenang.

today is not your day. istilah itu bahkan sudah tidak bisa menggambarkan bagaimana situasi jihoon saat ini. lebih tepatnya karena jihoon merasa, setiap hari adalah bukan hari yang baik untuknya. yang ada hanyalah buruk dan sangat buruk.

misalnya, seperti hari ini. jihoon mendapatkan masalah dengan atasan dan juga bawahannya. semua yang diharapkan atasan darinya tidak terpuaskan begitupun dengan ekspektasi jihoon pada bawahannya.

semuanya tidak berjalan dengan lancar, khususnya untuk hari. pekerjaannya tidak ada yg selesai. tuntutan untuk menjadi orang yang dibilang ‘baik-baik saja’ itu terlalu sulit bagi jihoon.

jam kantor sudah berakhir, raga jihoon sudah berada di dalam mobil miliknya tapi seperti kebanyakan orang yang sedang kelimpungan dengan pekerjaannya, pikiran jihoon pun masih berada di ruangan tempat dia bekerja, dimana dia seharian mencoba mencari solusi dan menyelesaikan apa yang bisa dia selesaikan.

dan saat itu, entah disengaja atau tidak. jihoon merogoh obat dari sakunya, mengambil beberapa pil, tanpa menghitungnya terlebih dahulu dan langsung dia telan begitu saja.

dia menjalankan mobilnya, belum setengah perjalanan, jihoon tiba-tiba merasa mual, tidak lama setelah itu kepalanya mulai sakit dan penglihatannya mulai kabur.

beberapa suara klakson dari mobil dan motor dapat jihoon dengar. tapi setelah itu semuanya hitam.

pada jam 17.40 jihoon mengalami kecelakaan.


“sebenernya, mau banget gue ngehubungin jihoon. tiap hari bahkan tiap jam. Cuman kasian, dia pengen sendirian dan gue menghargai apa yang dia mau, gue cuman harap jihoon baik-baik aja, udah” – jeonghan sedang duduk di kafe tempat dulu dia, jisoo dan jihoon duduk santai dan berbagi ceirta setiap pulang kerja.

“kalau di chat, dia jarang bales. sampai akhirnya aku juga yaudah deh nunggu jihoon chat duluan aja dibanding nanti dia malah yang gak yaman kalau di chat sama aku terus-terusan” – jisoo pun menyampaikan unek-uneknya kepada jeonghan tentang jihoon yang sepertinya memang memutuskan untuk menjauh dari kehidupan mereka berdua.

“terakhir ketemu juga kita … udah lama banget gak sih soo”

“iya, lama banget”

“gue sama jihoon jadi sungkan tau, mau nanyain alamat dan apapun jadi gak enak. gak tau kenapa”

“iya sama, mungkin karena kita juga paham sama maksudnya jihoon yang mau sendiri dulu”

“tapi kelamaan anjir mau sendiri dulunya sampe udah bertahun-tahun malah bablas gak ngehubungin kita”

dan begitulah mereka yang ditinggalkan oleh jihoon, hanya bisa sesekali menceritakan bagaimana mereka rindu dengan persahabatan yang mereka jalani selama bertahun-tahun itu.

jeonghan dan jisoo yang dulunya sangat protektif terhadap jihoon kini sudah tidak lagi. mereka tau batasan dan ingin mengerti keadaan jihoon yang waktu itu pernah bilang “ka aku mau sendirian dulu, maaf kalau aku gak mau dihubungi sama kalian atau siapapun” dan itulah kata-kata terakhir yang bisa mereka dengar.

bagaikan langit mendung yang tiba-tiba menjadi cerah. jeonghan terlalu kaget ketika melihat nama jihoon keluar di layar handphonenya, memanggil dirinya setelah beberapa tahun jihoon tidak pernah melakukan hal tersebut.

“anjir soo jihoon nelfon gue”

“angkat angkat cepet”

dan bagaikan langit cerah yang tiba-tiba hujan dibarengi dengan petir. raut wajah jeonghan dari yang penuh dengan antusias dan bahagia karena ditelfon jihoon berubah menjadi muram, keningnya mengerut, matanya membelalak. petir itu seperti mengantam tepat ditelinga dan akal pikirnya yang tidak mau menerima informasi yang ia dapatkan.

“kenapa?” tanya jisoo yang kawatir melihat perubahan pada raut wajah jeonghan. bukannya menjawab, jeonghan malah menangis. memegang tangan jisoo dengan erat.

“di rumah sakit mana?” tanyanya penuh dengan keraguan, suaranya bergetar.

“okey, thank you saya akan segera menuju sana” kata jeonghan dan panggilan telfon pun berakhir. jeonghan lalu kembali melihat ke arah sahabatnya yang juga sudah ikutan panik.

“soo, astaga… jihoon”

“kenapa? jangan bikin khawatir” melihat sahabatnya yang masih menangis dan tangannya gemetar, jisoo pun ikut merasakan hal yang sama. padahal dirinya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“jihoon kecealakaan, kita ke rumah sakit sekarang” jisoo ambruk mendengar kabar itu. ia terduduk di kursi dengan lemas. menutupi wajahnya.

“ayo kita kesana” ajak jisoo.

“kita gak bisa bawa mobil, gue tangannya gemetar, lo juga soo”

“terus gimana? kasian jihoon disana sendirian”

“si jun ada?”

“kemaren dia balik bandung”

“seokmin?”

“aku gak tau kabar dia”

“gue telfon soonyoung aja”

“yakin han?”

“iya, biar dia bawa supir nya aja”


soonyoung baru selesai mandi, baru pulang kerja dan lagi menikmati satu gelas jus mangga di ruang tengah, disana ada lala yang juga sedang menikmati waktunya sepulang sekolah, menonton tv sambil memainkan hp nya.

“nonton tv atau main handphone sih la?”

“both”

“bisa ya?”

“bisa dong, aku kan multitasking

“hahaha bisa aja”

“ngomong-ngomong pi, nanti minggu mau main kemana?”

“lala maunya kemana?”

“ehmm, gimana kalau makan all you can eat?”

“yakin?”

“atau engga ke GI sekalian kita main”

“anak mall banget”

“terus papi maunya kemana?”

“sejujurnya mau tiduran, tapi kalau lala mau keluar ya ayo gas”

“tiduran itu malem, siangnya kita main”

“hahaha iya deh”

kenyataannya mereka selalu baik-baik saja, setidaknya mencoba menjadi orang yang terlihat baik-baik saja, apalagi soonyoung. dia memiliki banyak waktu untuk nemikirkan jihoon, untuk bertanya-tanya dimana orang itu sekarang. meskipun tanpa ada usaha mencarinya, soonyoung masih bisa memikirkan dan isi kepalanya penuh dengan jihoon.

tapi pada akhirnya dia selalu mencoba menghilangkan jihoon dari pikirannya, karena keputusannya beberapa tahun yang lalu. soonyoung juga tidak mau kalau lala kembali menanyakan tentang jihoon. soonyoung tidak tahu saja, kalau lala selama ini masih terus mencari tahu dan berkomunikasi dengan maminya untuk selalu menanyakan jihoon.

soonyoung tidak tahu kalau lala sudah mengetahui penyebab jihoon dan dirinya tidak bisa bertemu lagi. lala sudah tahu kenapa jihoon meningalkannya. ingin mengungkit tentang jihoon kepada papinya tapi lala tidak bisa, entahlah dia jadi merasa bersalah, meskipun lala tahu itu semua bukan salah dia.

“pi ada yang telfon tuh”

“siapa?”

“om han”

soonyoung mengambil handphone nya dari lala. mengangkat telfon dari jeonghan dan yang pertamakali soonyoung dengar setelah sekian lama tidak mendengar suara jeonghan adalah jeonghan yang sedang menangis, seperti sedang panik dan soonyoung bisa tahu dengan nada bicara yang terputus-putus, jeonghan menelfonnya dengan keadaan sedang berjalan.

“han?”

“soonyoung?”

“kenapa?”

“jihoon … kecelakaan”

soonyoung tidak menjawab, dia tidak pernah mendengar kabar jihoon selama delapan tahun ini, dan kabar pertama yang dia terima adalah jihoon kecelakaan.

pikirnya, ia lebih memilih tidak menerima kabar dari jihoon sama sekali dibandingkan dengan kabar yang baru saja ia dapatkan. informasi yang tidak akan pernah soonyoung mau dengar lagi.

“ke rumah sakit … tangerang … jemput … gue gak bisa nyetir” bukannya bertindak dengan cepat, soonyoung malah diam, seluruh badannya terasa lemas.

“soonyoung? … cepetan … bawa supir”

soonyoung masih memproses, tanpa ia sadari ia berjalan menuju pintu keluar rumah begitu saja dengan handphone yang maish ia genggam. suara jeonghan masih terdengar. dibelakangnya lala berteriak.

“papi mau kemana?” lalu soonyoung berhenti berjalan.

“han dimana posisi?” suaranya sudah bergetar, tenggorokannya terasa sakit. soonyoung sedang menahan tangisnya.

“kafe biasa”

lalu soonyoung berbalik kepada lala.

“ikut sama papi la”

setelah itu mereka berdua pergi menuju tempat jeonghan dan jisoo, lala masih bingung karena dia belum diberi tahu apapun oleh soonyoung. sesuai dengan permintaan jeonghan untuk membawa sopir, soonyoung juga tidak akan sanggup kalau harus menyetir.

“pi mau kemana?” soonyoung belum menjawab pertanyaan lala, dia masih terdiam menatap ke arah luar mobil.

“pi?”

soonyoung sedang tidak mau berbicara dengan lala, soonyoung merasa kesal dan dia tidak mau melampiaskannya pada lala. oleh karenanya soonyoung diam.

ketika mereka sampai di kafe, disana sudah ada jeonghan dan jisoo yang menunggu kedatangan mereka. soonyoung pindah ke kursi depan. jeonghan dan jisoo masuk dan duduk di kursi belakang dengan lala berada ditengah mereka.

lala semakin bingung, jeonghan yang masih menangis dan mengatakan alamat rumah sakit. serta jisoo yang tangannya juga terus meremas celananya sendiri. lala ingin bertanya, tapi dia tidak bisa. semuanya sedang panik.

sesampainya di tempat yang dituju. lala semakin bingung. kenapa harus ke rumah sakit, kenapa harus ke sini, pikirnya. apalagi setelah ia melihat soonyoung bergegas keluar dari mobil. soonyoung, jeonghan dan jisoo berjalan dengan cepat sedangkan lala tertinggal dibelakang meyaksikan mereka yang sedang panik.

ada satu orang yang lala pikirkan, yaitu jihoon. soonyoung bisa bereaksi seperti itu kepada keluarganya ataupun cici tapi di sini ada jeonghan dan jisoo yang merupakan teman dekat dari jihoon. lala semakin menyempitkan perkiraannya kepada orang-orang yang ada dipikirannya, dan dia sudah yakin kalau terjadi sesuatu kepada jihoon, orang yang selama ini lala cari.

lala ikut berlari ketika melihat papinya berlari menuju kamar seseorang, lala ikut menangis ketika melihat papinya juga sedang terdiam didepan pintu dan teru-terusan menetaskan air matanya ketika mendengarkan penjelasan dari dokter.

ketika jeonghan dan jisoo sudah duduk, soonyoung masih berdiri menjadi orang yang terlihat paling kuat di lorong lantai tiga itu. lala berjalan perlahan, melewati jeonghan dan jisoo lalu memegang tangan papinya.

“papi” kata lala pelan

soonyoung melihat ke arah anaknya, ia melihat lala juga sudah menangis. soonyoung berjongkok didepan lala, mengusap air mata lala lalu memeluk anaknya.

“katanya … kak cil … benturan keras … dikepalanya … papi harus gimana la?”

lala mengelus kepala soonyoung, mencoba menenagkan papinya meskipun dirinya sendiri juga sedang merasa tidak waras saat ini. dengan semua informasi yang dia terima, dari sekian banyaknya hari yang telah ia habiskan untuk mencari jihoon, kenapa harus bertemu dengan jihoon dalam kondisi seperti ini.

“kak cil … udah janji mau jawab setiap pertanyaan-pertanyaan lala … dia pasti nepatin janjinya, lala yakin”

mereka seperti diambang sebuah kepastian, semuanya was-was, hati mereka tidak tenang. waktu terus berjalan, setelah beberapa jam mereka diperbolehkan masuk. dokter menyampaikan bagaimana keadaan jihoon yang sudah diperiksa dan masih belum sadar.

jeonghan dan jisoo langsung masuk ke kamar, sedangkan soonyoung ikut dengan dokter untuk membicarakan hal lainnya. tadi lala mau ikut masuk ke ruangan tapi sama soonyoung ditahan, jadi lala duduk di depan kamar jihoon, menunggu soonyoung kembali.

“kami sudah memeriksa jihoon, benturan dikepalanya cukup keras. kami harus memantaunya dalam beberapa hari kedepan” soonyoung hanya mengangguk mendengarkan penjelasan dari dokter.

“tentang obat yang diminum oleh jihoon—“

“obat?”

“saya rasa, sebelum kecelakaan jihoon mengalami overdosis, sebetulnya memang jihoon sudah beberapa kali saya tangani. karena overdosis, waktu itu yang bawa kesini satpam. dan yang terakhir adalah percobaan bunuh diri, dipergelangan tangannya, waktu itu ketika masih dirawat di sini jadi ketahuan oleh suster. jihoon juga merupakan pasien di psikiater rumah sakit ini. saya tidak tahu kalau jihoon ada keluarga, karena dia selalu terlihat sendiri”

rasanya seperti sedang berjalan di lorong tanpa ujung, kamar jihoon terasa semakin jauh. soonyoung tidak sanggup untuk menatap jihoon lagi. kata-kata dari dokter membuat dirinya merasa bersalah, selama ini soonyoung hidup baik-baik saja, setidaknya dia mencoba baik-baik saja, tapi jihoon terlalu hancur untuk dikatakan kalau dia selama ini ‘baik-baik saja’.

hanya lala yang bisa menjadi tanda kalau dia sudah bisa berhenti berjalan. soonyoung melihat anaknya yang sedang duduk di depan kamar jihoon di rawat. kalau tentang dua orang yang berharga bagi soonyoung itu, kenapa selalu rumit dan tidak pernah ia bisa lindungi secara bersamaan.

“papi mau masuk, lala diem dulu ya” dan lala mengangguk, apapun alasan soonyoung tidak membolehkan lala masuk, enggan lala tanyakan.

pintu kamar itu dibuka, soonyoung bisa melihat ada jeonghan dan jisoo yang terus menangis di samping jihoon. mereka berdua memegang tangan orang yang sedang berbaring lemas di atas kasur. ada darah yang masih terlihat dan goresan luka di bagian wajah.

soonyoung ingin memastikan sesuatu, ia memegang tangan jihoon, membalikan tangan itu. dan disanalah soonyoung bisa melihat bekas luka goresan yang jihoon buat. terlalu banyak, dari yang sudah hitam pekat sampai yang masih sedikit basah. melihat itu soonyoung langsung hancur tidak bisa berpikir apapun, dia menangis sampai terdengar oleh lala yang berada di luar kamar.

“apa ini? tanya jisoo ketika ia melihat tangan jihoon.

“kenapa dia?” tanya jisoo lagi kepada soonyoung.

“KENAPA DIA?” bentak jisoo

“dia … self harm—“

“ini semua gara-gara kamu kan?” jisoo terus menatap soonyoung, ia menyudutkan soonyoung dengan segala hal yang ia katakan. sedangkan soonyoung tidak bisa menjawab, jihoon pernah berjanji akan baik-baik saja dan bahagia dengan caranya sendiri, soonyoung tidak pernah menyangka kalau jihoon akan semenderita itu.

“SEMUANYA GARA-GARA KAMU, JANGAN DISINI KAMU HARUS KELUAR” jisoo berteriak sambil memukuli soonyoung yang sekarang sudah tersungkur kelantai, soonyoung tidak membalas ataupun menahan pukulan jisoo. soonyoung bahkan masih menangis.

jeonghan yang juga ada diruangan itu mencoba mengehntikan jisoo yang masih saja memukuli soonyoung. jeonghan bingung, di satu sisi dia setuju dengan jisoo tapi di sisi lain jeonghan bisa melihat betapa sedihnya soonyoung saat ini.

“jisoo, udah—“

pintu kamar itu terbuka, lala masuk ke dalam ruangan. lala bergegas mendekati soonyoung, memeluk papinya itu.

“JANGAN PUKULIN PAPI” teriaknya dan jisoo berhenti, ia terduduk di lantai, menangis dipelukan jeonghan.

“salah kamu soonyoung … semuanya salah kamu” dan jisoo masih mengeluarkan uneg-unegnya bahkan ketika lala sudah ada diantara mereka.

“papi gak salah, kak cil gak salah, lala juga gak salah. tapi kalau om jisoo tetep mojokin papi, om jisoo salah orang. yang paling bersalah disini adalah lala …” lala berhenti, dia mengusap air matanya

“lala buat papi sama ka cil pisah, karena mereka mau lindungin lala. terus kalian juga salah, om jisoo sama om jeonghan, waktu papi sama ka cil pisah ada yang kasih nasihat kalau mereka berdua harus dengerin pendapat aku dulu gak? enggak kan? kalian ngedukung mereka pisah? terus kenapa sekarang nyalahin semuanya ke papi?”

soonyoung bingung, kenapa lala bisa tahu, kenapa lala bisa mengerti tentang keadaannya dengan jihoon.

“gak papa papi, aku tahu semuanya” kata lala.

“jangan berantem, jangan salahin papi, papi gak salah, lala yang salah, lala—“ lala berhenti, ia menangis tersedu-sedu.

“lala sama mami … selalu cari kak cil … tapi gak ketemu … lala kangen sama kak cil … lala gak mau ditinggalin ka cil lagi … papi” ucap lala, terus ia memeluk soonyoung.

jisoo berhenti menyelahkan soonyoung meskipun ia juga tidak bisa menyalahkan lala. jisoo bahkan merasa kasihan ketikan lala menangis dipelukan soonyoung sambil mengatakan “ka cil maafin lala”.


malam pertama dan kedua sudah mereka lewati, tapi jihoon masih belum terbangun. jeonghan dan jisoo sudah pulang mengganti pakaian dan kembali lagi ke rumah sakit di malam hari, sedangkan soonyoung dan lala tidak pernah sedetikpun meninggalkan jihoon, mereka bahkan hanya menyuruh sopir untuk membawakan pakaian untuk mereka.

malam ketiga, ada jeonghan dan jisoo yang sudah mulai tenang. jisoo sudah meminta maaf kepada soonyoung dan juga lala. bahkan sekarang mereka mengobrol tentang hal-hal yang mereka lewati selama mereka tidak pernah bertemu.

lala, jeonghan dan jisoo mengobrol di sisi kanan kasur jihoon. sedangkan soonyoung disebrang mereka, hanya duduk memperhatikan jihoon. lala sampai tidak yakin kalau papinya itu mendengarkan obrolan mereka atau tidak.

“papi?”

“ha? iya la?”

“papi pegang tangan kak cil boleh loh, gak usah diliatin aja” setelah lala berbicara, jeonghan dan jisoo langsung tertawa.

“enggak ah, nanti aja kalau udah bangun” jawab soonyoung

dan begitulah mereka, mencoba membangun suasana positif ditengah kekhawatiran yang terus menyelimuti perasaan mereka. tidak ada yang tahu apa yang akan mereka hadapi satu jam mendatang atau tiga puluh menit selanjutnya, mereka memutuskan untuk bertahan dan percaya pada jihoon, kalau jihoon itu kuat dan akan kembali kepada mereka.

sudah jam 10 malam, biasanya jeonghan, jisoo dan lala akan menginap di hotel yang berada di depan rumah sakit, tapi untuk malam ini ketika jeonghan mengajak lala untuk pergi, lala tidak mau dan memutuskan untuk menemani papinya di kamar rumah sakit.

sekitar jam 11 malam, soonyoung sudah tiduran di atas sofa. dia juga sudah menyiapkan tempat tidur untuk lala. sedangangkan lala masih duduk di pinggir kasur jihoon, sedari tadi lala terus memegang tangan jihoon.

“kak cil, kapan bangun? nanti kalau kak cil bangun, kak cil pasti kaget karena liat aku udah gede, terus nanti aku tanyain banyak pertanyaan hehe kak cil harus jawab satu hari minimal 2 pertanyaan ya”

soonyoung yang sedang memperhatikan lala hanya bisa tersenyum, beberapa hari lalu soonyoung dikagetkan dengan perkataan lala, tapi di sisi lain dia bersyukur kalau ternyata anaknya mengerti dengan keadaan soonyoung dan jihoon.

soonyoung jadi berandai-andai, bagaimana kalau waktu itu dia tidak memutuskan untuk berpisah dengan jihoon, tapi dia dan jihoon menunggu lala sudah besar dan mendengarkan pendapat lala. bagaimana kalau dulu, dia dan jihoon memutuskan untuk tetap berpacaran dan menceritakan kepada lala tentang keadaan mereka secara perlahan. dan banyak bagaimana, bagaimana lainnya, skenario yang soonyoung buat supaya menghindari hal yang sedang dia saksikan saat ini terjadi.

“oh iya, ka cil bentar lagi ulang tahun ya hehe aku gak sabar mau ngerayain ulang tahun kak cil na—” lala berhenti berbicara, dia memegang tangan jihoon lebih erat dari sebelumnya.

“pi, kak cil … bangun”

soonyoung langsung berdiri dan melihat jihoon, benar saja kalau jihoon sepertinya terbangun. tangannya bergerak dan matanya perlahan terbuka. soonyoung berlari keluar untuk memanggil dokter. sedangkan lala masih menunggu jihoon untuk sepenuhnya membuka mata.

“ka”

“kak cil?” panggil lala, tapi jihoon masih belum merespon.

lala ingat dengan jisoo dan jeonghan, lala meninggalkan jihoon sebentar dan menelfon jeonghan, memberi tahu kalau jihoon sudah bangun. tidak lama setelah itu soonyoung kembali dengan dokter disampingnya. dan jihoon mulai diperiksa oleh dokter. sepuluh menit kemudian jeonghan dan jisoo datang.

“jihoon” panggil jeonghan.

“ka cil?” panggil lala, setelah dokter memeriksa jihoon, lala kembali memegangi tangan jihoon.

soonyoung masih belum berani mendekat, ia berdiri di samping dokter yang berada dibelakang jeonghan, jisoo dan lala.

“jihoon gak papa?” tanya jisoo

jihoon masih belum menjawab, dia hanya memerhatikan satu persatu dari orang-orang yang bertanya.

“ka cil gak papa kan? ada yang sakit?” tanya lala

“oh iya, aku lala kak cil, hehe udah besar ya aku sekarang. kaget ya liat aku di sini?”

“lala?” tanya jihoon, suaranya serak dan tidak terlalu terdengar.

“iya kak cil, lala sekarang udah SMP loh”

tapi jihoon tidak merespon terhadap pernyataan lala, ia malah memalingkan mukanya dan melihat ke arah jeonghan dan jisoo.

“kamu gak papa?” tanya jisoo.

jihoon hanya menggelengkan kepalanya, dia lalu memalingkan lagi pandangannya beralih kepada soonyoung. mereka berdua saling menatap, tapi soonyoung heran karena jihoon seperti tidak mengenal dirinya.

“ka cil?” tanya lala lagi.

“ka cil?” tanya jihoon balik.

“jihoon masa gak inget sama lala?” tanya jeonghan.

“jihoon?” tanya jihoon kembali memberikan pertanyaan.

dan soonyoung paham, kalau saat ini ada yang salah dengan jihoon, semuanya dapat dia rasakan bahkan ketika tadi jihoon menatapnya.

“dok” kata soonyoung.

lalu dokter kembali memeriksa jihoon untuk yang kedua kalinya, kalau tadi ia memeriksa untuk fisik jihoon sekarang ia menanyakan beberapa pertanyaan kepada jihoon seperti nama dan sebagainya yang tidak bisa jihoon jawab satupun.

“jihoon, hilang ingatan”

semua orang yang mendengar perkataan dokter itu kaget, semuanya tidak pernah menyangka kalau mereka akan dilupakan oleh jihoon. kaki soonyoung terasa lemas, dia bingung harus bagaimana.

waktu itu di sore hari dengan awan yang terlihat begitu jelas dari dalam mobil, soonyoung harus merelakan jihoon untuk yang kedua kalinya. sekarang meskipun awan tidak terlihat, ada tembok dan langit-langit bangunan yang menghalanginya, dan soonyoung masih harus merelakan. rela dilupakan oleh jihoon, jihoon kehilangan ingtan tentang dirinya. masa mereka kuliah delapan tahun lalu, ketika mereka berpacaran, ketika mereka bertengkar tentang hal konyol yang soonyoung lakukan, ketika mereka bertemu lagi delapan tahun setelah berpisah, ketika mereka memulai lagi hubungan itu dengan penuh harapan, ketika jihoon bahagia bisa diterima oleh lala, ketika mereka harus berpisah lagi, ketika soonyoung bersujud dihadapan jihoon dan meminta maaf—jihoon melupakan semuanya.

ada lala, yang juga harus rela karena kenangannya yang singkat dan berharga dengan jihoon tidak bisa jihoon ingat lagi. lala bingung akan hal apa yang akan membuat dirinya bisa berada di dekat jihoon kalau bukan karena kenangannya waktu kecil.

lalu jeonghan dan jisoo, yang hatinya terasa begitu sakit karena mereka juga tidak diingat oleh sahabatnya sendiri. yang selalu mereka anggap sebagai adik, yang selalu ingin mereka lindungi meskipun jihoon kadang tidak mau.

“aku … bakal buat ka cil ingat aku lagi, aku janji … jadi ka cil jangan khawatir okey?” lala kembali menggenggam tangan jihoon

“papi juga, jangan khawatir” lala melihat ke arah soonyoung dan soonyoung mengangguk.

mereka berusaha menenangkan diri, jeonghan dan jisoo yang perlahan tenang karena melihat lala yang terus berpikiran positif. mereka bertiga duduk di samping kasur jihoon. sedangkan soonyoung duduk di sofa.

“aku lala, aku suka manggil kamu kak cil, soalnya itu panggilan sayang dari aku sama papi aku, kalau ini berdua temen kak cil, namanya om jeonghan dan om jisoo”

“dan nama asli kamu adalah jihoon” tambah jisoo.

lalu jihoon menoleh, melihat ke arah soonyoung, seperti dia sedang bertanya siapa nama orang yang sedang duduk di sofa itu.

“kwon soonyoung, papinya lala” kata soonyoung dengan spontan ketika jihoon melihatnya.

“papi itu calon suami kak cil, terus lala jadi calon anak kak cil hehe” jihoon terlihat bingung, dia beberapa kali melihat soonyoung, tapi yang dilihat hanya mengalihkan pandangannya supaya tidak menatap mata jihoon.

“nanti aku kasih tahu pelan-pelan deh ya kak cil, kalau kak cil udah di rumah sama aku sama papi, nanti tiap hari bakal aku ceritain satu persatu” jihoon mengangguk.

“jihoon mau tinggal sama mereka?” tanya jeonghan .

dan jihoon kembali terlihat bingung, tidak ada yang bisa menebak apa yang sedang jihoon pikirkan sekarang, sedari tadi pun jihoon tidak terlalu banyak merespon. pertama karena dia bingung, kedua karena dia juga masih merasa capek.

“aku kangen banget sama ka cil, papi mungkin masih bingung juga dan malu buat ngomong sama kak cil, tapi lala maunya kak cil sama kita aja, kita satu rumah, nanti lala janji bakal nurutin semua perkataan kak cil, lala bakal jadi anak yang baik” lala menyampaikan apa yang ia inginkan, lala berpikir ini adalah kesempatannya, takut kalau jihoon akan dibawa pulang dan dirawat oleh jeonghan atau jisoo.

“ya ka cil? sama lala sama papi”

soonyoung yang diam saja juga ikut berharap, dalam hatinya dia berdo’a semoga jihoon mau ikut dengan dirinya, semoga dia bisa merawat jihoon dnegan benar, bisa membuat jihoon nyaman di rumahnya.

dan ketika jihoon mengangguk memberikan respon pada pertakaan lala, soonyoung sangat laga, lala pun sama bahkan ia sampai menangis.

“lala, sayang banget sama ka cil”

melihat lala yang menangis, jihoon mengambil tangan lala dan menggenggamnya, dia bilang “jangan nangis” tapi lala menangis karena senang, bukan karena frustasi lagi tidak bisa menemukan jihoon.


sudah minggu ketiga jihoon berada di rumah soonyoung, setiap harinya ia selalu ditemani oleh lala. lala memutuskan untuk homeschooling, supaya dia bisa bersama jihoon setiap saat. ketika belajar dimulai jihoon selalu ada disamping lala, selesai belajar mereka selalu bermain keluar entah itu ke kafe jisoo atau ke rumah jeonghan. dan malamnya mereka akan dijemput oleh soonyoung.

untuk soonyoung sendiri dia masih kaku berada di dekat jihoon, setiap hari interaksinya masih sekedar menyapa dan makan bersama, mereka belum sempat membicarakan hal-hal yang penting karena mengingat kesehatan jihoon juga, soonyoung hanya ingin menjelaskan semuanya kalau jihoon sudah sepenuhnya sehat.

meskipun jihoon belum mengingat apapun, dia selalu mau untuk kembali bisa mengingat kenangannya, dia selalu senang ketika bisa mendengarkan cerita lala tentag bagaimana dulu hubungannya dengan soonyoung.

kadang ketika menceritakan semua itu, lala suka tiba-tiba menangis, sedih mengingat jihoon bisa melupakannya dan sekarang jihoon jadi tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya sendiri. sedih juga karena lala tahu hal seperti apa yang sudah jihoon lewati.

beberapa kali jihoon pernah kesakitan, telinganya terasa berdengung ketika dia mendengar lala memanggilnya dengan sebutan ‘kak cil’ kadang jihoon malah mendengar suara anak kecil, yang sepertinya adalah suara lala dulu yang dia ingat.

malam senin, lala sedang duduk di ruang tengah dengan soonyoung. jihoon masih di kamar tadi katanya dia akan menyusul.

“la, panggilin kita makan malem”

“papi aja sana yang panggil kak cil, kenapa sih papi gak mau ngomong sama kak cil?”

“bukan gak mau ngomong, tapi bingung mau ngobrol apaan, kan sama papi gak kenal”

“ya makanya papi ajak ngobrol terus ceritain tentang papi sama kak cil, emangnya papi gak mau apa liat ka cil inget lagi sama papi? kalau kak cil lupa terus sama papi gimana coba?”

“sedih sih, tapi … bukannya lebih baik ya kalau dia gak ingat sama papi”

“papi? ngomong apaan sih”

“papi udah ngasih kenangan buruk la, kamu juga tahu ka cil kaya gimana delapan tahun kebelakang, gimana dia menderitanya karena papi”

“bukan salah papi, jangan nyalahin diri sendiri, nanti lala nyalahin diri sendiri juga”

soonyoung diam, demi apapun soonyoung senang ketika jihoon bangun. dia juga sedikit lega karena jihoon tidak mengingat kenangan tentang dirinya, soonyoung pikir jihoon akan lebih merasa baikan dan menjalankan hidup dengan lebih baik kalau dia melupakan kenangan buruk yang pernah jihoon alami.

“ka cil, pasti bakal maafin kita papi. ka cil juga pasti tahu kalau semua itu bukan salah kita atau salah ka cil” soonyoung hanya mengangguk.

“sekarang papi ke kamar ka cil terus ajak dia makan malam, lala tunggu disini”

“okey la”

“semangat papi”

sebenarnya ini bukan yang pertama kalinya soonyoung berbicara dengan jihoon. waktu itu pernah beberapa kali tapi memang cuman sebentar, ketika jihoon dan lala mengobrol, soonyoung ikut mendengarkan. saat lala bilang kalau ada tempat yang ingin lala, jihoon dan soonyoung kunjungi bersama-sama, jihoon bertanya kemana, dan soonyoung menjawabnya. dia bilang “boscha” dan jihoon kembali bertanya “itu dimana? kenapa kesana?”, lala malah yang menjawab dengan antusias, katanya “karena itu tempat kalian jadian, waktu papi dan ka cil masih kuliah”.

bukannya soonyoung tidak mau untuk menceritakan semua ceirta dia dan jihoon, tapi soonyoung masih sangat berhati-hati, takut kalau dia malah akan menyakiti jihoon lagi, mengungkit kenangan buruk jihoon merupakan pilihan terburuk yang harus soonyoung lakukan.

soonyoung mengetuk pintu kamar jihoon, lalu dia membukanya perlahan. jihoon sedang duduk di atas kasur, memperhatikan soonyoung yang berdiri di depan pintu.

“makan malem cil”

“oh okey” jawab jihoon.

dan seperti biasanya, mereka makan malam dengan lala yang terus-terusan berbicara dan bercanda dengan jihoon sedangkan soonyoung hanya mendengarkan dan ikut tertawa akan apa yang sedang mereka bicarakan.

seharusnya ini menjadi momen yang sangat soonyoung inginkan, tetapi dengan keadaan jihoon dan juga tentang pengetahuannya mengenai jihoon selama delapan tahun kebalakang, tidak semata-mata momen yang sedang dia alami saat ini menjadi hal yang paling membahagiakan dalam hidup soonyoung. akan berbeda konteksnya ketika mereka kembali dengan cara baik-baik tanpa harus ada rasa penyesalan akan delapan tahun yang telah jihoon atau soonyoung lewati, seandainya soonyoung bisa menemukan jihoon sebelum jihoon pergi ke rumah sakit berkali-kali.

“kata lala, kamu suka jahil sama aku. tapi aku ngerasanya ko kamu kaku banget ya?” tanya jihoon kepada soonyoung, lala baru saja pergi ke kamarnya karena mau mengerjakan tugas dan soonyoung hanya menatap jihoon tanpa menjawab pertanyaannya.

“lala udah banyak cerita, tapi kamu gak ada cerita sama aku”

“nanti aja” jawab soonyoung

“kapan? aku lebih baik nerima semua informasi dalam satu waktu dan membiasakan diri secara perlahan”

“bingung harus mulai darimana” soonyoung menyimpan gelas yang sedari tadi ia pegang. minumannya sudah habis.

“cerita dari pertama kita ketemu, kenapa kita berpisah, gimana kita ketemu lagi, dan pisah lagi. semuanya, yang kamu tahu”

soonyoung menceritakan awal mula pertemuan mereka dengan detail, bagaimana soonyoung bertindak ketika masa ospek jihoon dan bagaimana dia menembak jihoon di boscha. lalu soonyoung menceritakan semua keseharian yang mereka lalui selama pacaran, masalah apa yang mereka hadapi saat itu dan tentang mereka yang memutuskan untuk berpisah karena soonyoung sudah dijodohkan.

“kasihan banget ya, kita” kata jihoon dan soonyoung hanya tertawa miris.

tidak berhenti, soonyoung kembali melanjutkan ceritanya, tentang pernikahannya dengan cici dan bagaimana dia bisa memiliki lala dan juga kenapa pada akhirnya soonyoung dan cici memutuskan untuk berpisah. alasan kenapa lala ikut dengan soonyoung dan alasan kenapa soonyoung kembali ke jakarta.

“kalau kata lo sih waktu itu, selama delapan tahun kita pisah lo gak punya pacar lain cil, lo nungguin gue. pas awal ketemu juga lo yang nge-gas banget mau balikan”

“oh … jadi kamu memang pantas buat ditungguin gitu ya?”

“ya gak tau juga”

“aku cuman mau mastiin, jadi kamu beneran sayang banget sama aku? atau … enggak?”

“lo gak perlu ngeraguin hal itu sebenernya, cuman kisah kita ini bikin gue bingung juga. coba lo pikir sendiri deh, katanya sayang pake banget tapi orangnya gue sakitin terus”

“bukannya setiap kita berpisah, semuanya keputusan kita berdua ya?”

“iya … tapi semua masalahnya berasal dari gue”

“kalau lala denger kamu ngomong kaya gitu, dia sedih terus nyalahin dirinya sendiri lagi. lala bilang kenapa kita gak tungguin lala besar dan tanyain hal yang membuat kita berpisah itu ke lala, lala bilang kenapa kita gak dengerin pendapat dia dulu. jadi kenapa kita memutuskan buat udahan dengan begitu mudah? padahal kata lala dia sendiri gak mau ditinggalin”

“gue gak mau ambil risiko, gue takut lala jadi bahan ejekan teman-temannya disekolah, gue gak yakin sama orang-orang disekitar lala. udah pernah bilang sih dulu cuman gue mau minta maaf lagi karena udah milih baut enggak ngambil risikio itu”

jihoon mengangguk, mencoba memahami apa yang sebenernya mungkin dulu dia paham betul dengan situasi seperti ini, tapi sekarang dia hanya bisa mengandalkan ‘kata lala, kata ka jeonghan dan kata ka jisoo’.

“gak aneh kalau aku sayang banget”

“hm?” tanya soonyoung

“kamu jadi sosok papi yang baik buat lala, kamu bertanggung jawab buat anak kamu. pantesan aku suka banget sama kamu”

setelah semua kejadian yang menimpa dan setelah waktu yang mereka lewati tanpa saling menyebut nama masing-masing, soonyoung masih ingat dengan perkataan jihoon dimobil waktu mereka memutuskan untuk berpisah delapan tahun lalu “i love you more ka” kata-kata yang tidak bisa soonyoung terima, soonyoung ingin kalau jihoon bisa mengakatan kata-kata itu kepada orang lain, bukan pada dirinya.

soonyoung mendekatkan kursinya, ia duduk persis di samping jihoon. perlahan mengambil tangan jihoon, membalikannya sehingga memperlihatkan bekas luka ditangan jihoon. soonyoung memegangnya, mengelus lembut goresan hitam yang terpampang jelas di kulit putih jihoon.

“bukti kalau … lo udah menderita karena gue cil … gue bahkan bersyukur ketika lo gak inget sama gue, lo gak inget sama masa sulitnya hidup lo gara-gara gue, gue gak papa dilupain asal lo nya gak sedih, gak kesakitan lagi” ucap soonyoung, tatapannya masih tertuju kepada tangan jihoon.

jihoon yang dari tadi memperhatikan soonyoung, ketika jihoon sadar kalau soonyoung sudah meneteskan air mata, jihoon mengelus kepala orang yang lebih tua darinya itu.

“kamu tau, waktu pertama aku bangun, aku liat ada lala, ka jeonghan dan ka jisoo. aku bingung, terlalu banyak muka baru dan aku gak tau mereka siapa. tapi, ketika aku liat kamu berdiri di belakang di samping dokter, aku ngerasa lega banget. gak tau kenapa, padahal aku juga gak inget kamu siapa, tapi aku ngerasanya seneng bisa liat kamu di ruangan itu”

untuk pertamakalinya soonyoung melihat tepat ke mata jihoon. melihat apakah jihoon benar-benar mengatakan sesuatu yang membuat soonyoung ingin kembali memperbaiki semuanya dan terus bersama dengan jihoon.

“kalau kamu ngerasa bersalah, harusnya kamu buat aku nyaman tinggal di sini, dibaik-baikin akunya, di jagain, dibuat seneng, bukannya gitu?”

soonyoung mengangguk dengan yakin, kalau itu yang jihoon mau maka akan soonyoung lakukan. sekarang lala sudah tahu, bahkan lala lebih memilih untuk homeschooling karena ingin merawat jihoon.

“meskipun aku gak inget, tapi perasaan aku selalu tertuju sama kamu. kaya aneh aja kalau sama kamu itu, selalu ada yang tiba-tiba bisa bikin aku ngerasa sedih, kadang kalau liat kamu aja aku tiba-tiba senyum”

seharusnya, untuk kali ini tidak ada lagi yang perlu soonyoung takuti, dia tidak perlu memperdulikan lagi mengenai omongan orang lain, lala sendiri yang meyakinkan kalau lala akan baik-baik saja. soonyoung harusnya lega karena lala sebegitu sayangnya dengan jihoon.

“aku udah lihat pertanyaan dan surat lala buat aku, setelah ngeliat itu, aku merasa semakin disayang. dari semua tulisan lala, aku bisa tahu kalau lala kangen banget sama aku. semua pertanyaannya yang tidak bisa aku jawab, bahkan ketika aku bilang aku gak bisa jawab pun lala malah bilang ‘gak papa ka cil, yang penting ka cil udah sama lala, nanti kalau udah ingat aja baru dijawab’ kamu udah ngebesarin anak yang baik”

“berarti udah baca tulisan lala yang terakhir? dia bilang mau berhenti nulis sampai ka cil bisa jawab semua pertanyaan dan baca semua tulisan-tulisannya”

“udah”

“terus?”

“kata lala, gak usah dijawab sekarang, katanya nanti aja kalau ka cil udah yakin sama papi”

“okey”

di dalam buku tulisan-tulisan lala itu, halaman pertama adalah tulisan lala ketika lala baru bisa menulis dan halaman terakhir adalah ketika lala sudah tahu semuanya alasan kenapa jihoon meninggalkan dirinya. oleh karena itu lala menulis ‘ka cil, aku bakal cari ka cil, kalau udah ketemu, ka cil mau gak jadi papi lala yang ke dua?” dan lala menempelkan sticker emot tersenyum di atas kertas lembar terakhir yang ia coretkan pertanyaan itu.

“dokter bilang lo selalu minum obat tidur, tapi semenjak kesini gak pernah minum obat tidur. tiap malem bisa tidur kan? gak papa kan?” tanya soonyoung.

“bisa ko, gak papa. cuman suka tiba-tiba pusing kalau dipaksain harus inget sesuatu”

“jangan dipaksain kalau gitu”

“iya”

“makasih ya cil, udah bertahan sampai sekarang”

jihoon menggigit bibir bawahnya, entahlah antara hatinya yang terasa menghangat dan sedikit sakit ketika ia mendengar perkataan soonyoung. kalau jihoon tidak hilang ingatan, apa yang akan dia lakukan ketika mendengar perkataan soonyoung, jihoon sendiri penasaran akan memberikan reaksi seperti apa ketika ia dan soonyoung bertemu lagi, akan menjadi seperti apa ketika jihoon dan lala kembali bisa mengobrol dan menghabiskan banyak waktu lagi.

satu hal yang jihoon yakini kalau, dia yang lupa akan semua kenangan dan jihoon yang ingat akan semuanya pun akan merasa sangat bahagia ketika melihat semua tulisan yang lala buat. jihoon yakin, kalau dia akan tetap kembali kepada orang-orang yang menunggunya dan kepada orang-orang yang mencarinya.

“gue boleh peluk?”

jihoon mengangguk, merentangkan tangannya, mempersilahkan soonyoung memeluknya.

“maaf ya cil” kata soonyoung dan jihoon memeluk soonyoung lebih erat.

“ciee udah peluk-pelukan aja” kata lala yang baru saja datang, dia berniat mau mengambil cemilan untuk dibawa ke kamar sambil mengerjakan tugas.

“please, baik-baik aja setelah ini okay? sesuai janji lala, lala bakal jadi anak yang baik, nih habis ini lala ke kamar lagi mau lanjutin ngerjain tugas”

“semangat ngerjain tugasnya ya” kata jihoon, sedangkan soonnyoung hanya tersenyum dari tadi, dia terlalu senang karena secara perlahan semua masalahnya bisa ia selesaikan, dengan bantuan lala tentu saja.

hati jihoon masih mengingatnya, soonyoung mungkin menjadi orang yang paling beruntung ketika ia tidak dilupakan seutuhnya oleh jihoon. semua yang soonyoung lakukan memiliki efeknya tersendiri kepada jihoon begitupun sebaliknya. keputusan lala untuk membawa jihoon ke rumah adalah sebuah permulaan dari kebahagiaan mereka. semuanya akan membaik. masa depan akan berpihak kepada mereka bertiga.

lala pernah bilang, untuk tidak terlalu menghawatirkan masa depan “papi harus fokus sama apa yang ada di hadapan papi saat ini, jangan sampai terlalu khawatir sama masa depan sampai melupakan orang yang sedang ada dipelukan papi, plus kalau memutuskan sesuatu itu tolong diskusi dulu sama lala” dan waktu itu soonyoung hanya bisa tertawa mendengarkan ocehan dari anaknya sendiri, tapi sekarang soonyoung bisa mengerti. kalau lala menyuruhnya untuk fokus pada hubungannya dengan jihoon, apa lagi yang bisa dia lakukan ketika lala sendiri yang selalu mendukung setiap langkahnya untuk kembali dengan jihoon.

rencana soonyoung adalah, setelah menceritakan semuanya kepada jihoon. soonyoung hanya akan menemani jihoon, menuruti semua kemauan jihoon, mengantar jihoon melakukan terapi dan sebagainya. sisanya biarkan semesta lagi yang bertindak, kali ini jalannya sudah dipermudah, karena lala selalu siap menghentikan langkah jihoon jika jihoon ingin pergi lagi.

tentang mingyu dan jeonghan.

malam ini, setelah dikejutkan dengan kabar bahwa papah menjahili mingyu dengan bilang kalau papah tidak mau mingyu menjadi menantunya karena alasan perbedaan yang sebenernya sudah pernah kita semua bicarakan.

mingyu yang tadi sempat menangis di depan rumah dan ketahuan sama papah jadi merasa malu sendiri, sampai tidak mau keluar lagi dari kamar. sekarang dia sedang tertidur dengan gemasnya, masih dengan posisi yang sama. yaitu, memeluk-ku seperti guling.

tertidur dalam dekapan mingyu selalu menjadi kegiatan yang menenangkan bagiku. kalau sedang bersama seperti sekarang, mingyu akan mengalah dan mengikuti kebiasaan tidurku yang harus mematikan lampu. sebagai gantinya aku memasang lampu tidur yang memiliki pencahayaan tidak begitu terang, khusus untuk mingyu.

dua jam sudah aku memerhatikan mingyu, dengan kepala yang masih sedikit pusing. niat hati mau keluar dari kamar dan mengambil minum. tapi tidak jadi, karena pelukan mingyu ini terlalu kencang sampai-sampai aku cuman bisa menggerakan tangan kanan untuk mengambil minyak kayu putih di atas nakas.

“lagi tidur tapi meluknya masih kuat banget, heran deh” protesku dengan pelan.

setelah mengoleskan minyak kayu putih dilanjutkan dengan agenda memjiat kening sendiri—karena, ada pacar tapi malah tidur dengan pulas. tapi tidak apa-apa, kalau dia ada di sini setidaknya ada hal lucu yang bisa dilihatin. mulutnya yang sedikit terbuka ketika tidur, misalnya.

setiap melihat mingyu yang seperti itu, selalu mengingatkan aku kepada awal pertama kita bertemu. lucu seperti puppy, mukanya polos tapi ternyata ini anak jauh banget dari kata polos. sikapnya yang kadang-kadang suka berubah jadi a total childish, sampai sikapnya yang dewasa ketika menghadapi permasalahan dan perbedaan diantara kita.

kalau diingat-ingat lagi, aku dan mingyu sudah melewati banyak hal. ada beberapa hal yang didiskusikan ketika ingin memulai hubungan ini. ada sesuatu yang kami berdua sudah sepakati, sesuatu yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui oleh orang lain. hingga dua tahun kemudian, mungkin ada beberapa orang yang mencium sedikit baunya secara tidak sengaja, seperti chan dan juga seungkwan. lalu bagaimana dengan sahabatku, seungcheol. dia pernah mencoba mengorek informasi dari temannya ini, tetapi tidak berhasil.

sampai akhirnya, seungcheol melihat tweet mingyu yang memanggilku dengan panggilan ‘yang’. waktu itu seungcheol langsung menanyakan dimana keberadaanku—tentu saja aku sudah pulang karena saat kejadian tersebut aku melihat mingyu dan jihoon bermesraan. bermesraan disini konteksnya adalah pegangan tangan di ruang panitia dan pelukan.

dari sanalah hubungan kita mulai diketahui oleh seungcheol, seungcheol tidak banyak bertanya, dia sahabat aku jadi sudah tahu kalau sahabatnya ini sedang tidak mau diganggu.

ternyata, seungcheol mengintrogasi mingyu sebagai gantinya. karena si adek bongsor kesayangan jeonghan tidak memberikan cerita lengkap kepada seungcheol, sehingga beberapa waktu setelah itu mau tidak mau, aku kena bom pertanyaan juga.

dari beberapa pertanyaan seungcheol waktu itu, membuat aku jadi ingat kembali dengan bagaimana cara kim mingyu menjadi orang yang dengan konyolnya masuk ke dalam hidup seorang yoon jeonghan. dari awal sampai sekarang mingyu selalu menjadi cute puppy, clumsy dan juga orang yang paling selfless yang aku kenal.

“kan dulu waktu kita makan di kantin, mereka lagi pada ospek kumpul di tengah lapangan. kelompoknya mingyu ini paling mepet ke arah kantin. terus ada anak di depan dia ngangkat tangan kenceng banget sampai nabok wajah mingyu yang lagi berdiri dibelakangnya. habis itu aku katawa ngakak, dia langsung noleh, nyadar diketawain, merhatiin aku bentar sambil cemberut habis itu bilang ‘sakit muka gue kena tabok, malah diketawain’ sambil nunjuk-nunjuk mukanya, dan setelah itu kalau ketemu lagi dia rajin memberi tahu kalau dia beberpa kali kena tabok” mengingat apa yang aku ceritakan kepada seungcheol membuat aku tersenyum sendiri sambil liatin mingyu yang sudah mulai mengeluarkan suara kasar alias dia sudah mulai ngorok.

pertemuan pertama aku dan mingyu memang se-random itu, pun dengan pertemuan kedua dan ketiga. hanya dengan bekal aku ke kantin dan mingyu masih di lapangan memperhatikan panitia ospek—yang entah sedang menyampaikan apa, selalu meluangkan waktu untuk sekedar melihat ke arah kantin dan berbicara sebentar. kata-kata khas dari mingyu waktu itu adalah “resiko orang tinggi, ya kan? makanya kena tabok sama ditandain nih gue sama panitia”

mingyu selalu punya caranya sendiri untuk menyampaikan apa yang sedang ia rasakan saat itu dengan singkat, karena pertemuan kita memang selalu unexpected dalan waktu paling lama 10 menitan. hingga akhirnya, saat ospek memasuki hari terakhir.

masih ingat dengan jelas apa yang dia katakan dan lakukan.

“jam 4 masih di kampus?” tanyanya waktu itu sambil senyum-senyum tidak jelas dan aku balas dengan gelengan kepala. setelah itu, seolah-olah sedang berpikir mingyu mengerutkan dahinya, bola matanya melirik ke atas.

“ada acara? sama pacarnya ya?” kim mingyu dan jurus buayanya.

“gak ada acara dan gak ada pacar” waktu itu aku cuman bisa menjawab seperti halnya memakan umpan dari sang buaya.

percakapan kita dilakukan tanpa suara, saling membaca gerak gerik dari mulut masing-masing.

“oh, kelas terakhir jam berapa?”

“sampai jam tiga sore”

“tungguin gue sampai jam 4 di kantin mau? nanti gue samperin kalau ospek udah selesai”

bingo, yoon jeonghan masuk ke dalam perangkap kim mingyu. saat itu aku mengatakan ‘iya, boleh’, entahlah mungkin karena rasa penasaran akan apa yang akan adek tingkat itu katakan nanti atau karena rasa ketertarikan aku sama adek tingkat yang membuat kata-kata ‘iya’ itu muncul dengan cepat, bahkan tanpa dipikirkan terlebih dahulu.

kalau sekarang aku pikirkan lagi, mungkin tidak semuanya perangkap kim mingyu, karena aku sendiri yang memancingnya untuk datang.

Dan dari dulu kim mingyu selalu menepati janjinya, meskipun telat. setelah satu jam lebih beberapa menit menunggu. akhirnya dia datang, setelah hitam putih, pakai sepatu pentopel, dan rambut pendek tidak ada poni. mingyu berjalan dengan cepat ke arah ku sambil tersenyum.

“hehe makasih udah nungguin” katanya

pada pertemuan pertama yang sudah dijadwalkan tanpa kesengejaan ini, aku dan mingyu tidak terlalu banyak berbicara. kantin satu jam lagi tutup, jadi pertemuan ini dirancang untuk mengobrol dan bertemu secara singkat tapi lebih panjang durasinya dari yang sebelum-sebelumnya.

“nama gue kim mingyu, lo?”

“yoon jeonghan”

“oh okey, gue bawa motor. gue anterin baliknya boleh?”

muka jadi panas sendiri dan aku tidak bisa untuk tidak tersenyum ketika mengingat momen awal pertemuan dengan mingyu. dia terdengar seperti orang yang paling percaya diri ketika mengajak aku pulang bersama, kenyataannya mukanya merah banget dan selama perjalanan dia hanya diam. aku tahu waktu itu dia gugup, begitupun denganku. Kita sama saja, tapi keberanian dan keinginan untuk lebih dekat mengalahkan rasa grogi. kim mingyu yang ingin mendekati yoon jeonghan, pun sebaliknya.

“sekarang udah gak punya malu sama sekali” tanganku tidak berhenti mengelus kepala mingyu. kasian beberapa lama sebelum ke rumah pasti kurang tidur karena mikirin caranya supaya papah mau mingyu jadi mantunya lagi.

dan selalu begini, ketika melihat mingyu sedang tertidur hal yang pasti dan sudah jelas akan aku lakukan adalah menciumi hidungnya. untuk hari ini tidak tau kenapa dan entah dorongan dari mana, seakan tidak puas dengan hanya mencium hidung orang yang sedang tidur nyenyak dibawahku ini— dengan cekikikan karena menganggap yang akan aku lakukan terhadap mingyu saat ini adalah tingkah yang paling konyol. saat ini aku sedang menggigit pelan hidungnya. beralih dari hidung, pikiranku terus mengatakan untuk menggigit bibir mingyu saat itu juga. aku cium sebentar bibir bagian bawah mingyu lalu aku gigit pelan-pelan.

“yang?” tanyanya, padahal udah sepelan mungkin gigitnya tapi masih aja kebangun.

“ko gigitin bibir aku?” tanyanya lagi dan aku tidak menjawab pertanyaan mingyu, hanya suara ketawa pelan yang terus terdengar karena jujur tadi konyol banget.

“tadi mau ambil minum, tapi susah mau berdiri sama kamu dipelukin” alasan macam apa ini yoon jeonghan.

“terus jadinya malah merhatiin aku yang lagi tidur? habis itu gemes sendiri sampe gigitin semuka-muka?” ini memang mingyu jago nebak atau dia pura-pura tidur sih dari tadi.

“hehe iya”

“hobi baru kamu? gigit kim mingyu”

“can’t help it, you’re cute” seneng dia kalau dibilang lucu sama aku.

“iya deh, masih pusing? mau aku ambilin minum?” tuh kan, jadi baik. Yang penting dibilang lucu aja, nanti dia jadi super super super baik dan perhatian.

“kalau boleh”

“okey tunggu sebentar”

lima menit kemudian, mingyu datang dengan membawa air minum. mingyu selalu menjadi orang yang memanjakan aku, apalagi kalau lagi berdua seperti ini. kalau aku bicara ini sebelum ketahuan sama jihoon, mungkin akan berbeda ceritanya, pasti jadi cerita sedih. karena waktu itu, mingyu selalu bertindak acuh, meminimalisir semua bentuk kasih sayangnya untuk pacarnya sendiri karena ada jihoon.

“tadi tiba-tiba aku ngebayangin muka kamu waktu pertama kita ketemu”

“ya allah yang, muka kucel lagi ospek masih aja diinget-inget”

mungkin bagi mingyu, momen pertemuan pertama itu sangat memalukan, karena dia sedang berada dalam fase harus menuruti setiap perkataan yang diperintahkan oleh para seniornya, dan mingyu sangat tidak menyukai masa-masa penindasan itu.

“masih sakit gak kepalanya?”

“sedikit”

“yaudah sini aku pijitin”

dengan senang hati aku langsung memejamkan mata menikmati pijatan dari mingyu yang lumayan bisa membuat rasa sakit di kepala sedikit hilang.

tidak perlu diragukan lagi, setiap kali bersama dengan mingyu rasa disayangnya itu semakin menjadi. seperti sekarang misalnya, aku tahu dia sudah ngantuk dan mau tidur. tapi dia masih mau memaksakan untuk terjaga menemani aku yang susah tidur.

“kamu inget gak sih? dulu sebelum jadian aku pernah benci banget sama kamu”

“inget, sumpah aku udah merasa gagal waktu itu. mana kamu masang muka datar lagi tanpa ekspresi”

“aku cuman kaget, terus kecewa. siapa coba yang gak kecewa ketika orang yang katanya lagi ngedeketin selama dua bulan lebih dan tiba-tiba aku liat orang itu pegangan tangan sama cowok lain di depan banyak orang, salah satunya ada aku di sana. mana pas aku lihat orangnya malah diam aja, gak ngelepas itu genggaman tangan”

“padahal itu aku udah mau ngelepas, udah mau lari ke kamu ngejelasin, tapi gak bisa”

“iya gak papa, untung kamu malamnya ke rumah dan ngejelasin. kalau enggak, aku bakal terus mikir ‘oh ni anak main-main doang kali ya, wajar sih baru peralihan dari SMA ke-kuliah. mungkin masih mau main-main’ aku udah ditahap pasrah kalau ternyata kamu cuman bercandaan doang sama aku, ya tapi tetep sakit hati sih”

Faktanya adalah setelah melihat mingyu dan jihoon untuk pertama kalinya, aku seharian bad mood dan merasa kesal ke semua orang, mau marah-marah terus sampai aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan diam di kamar sambil merutuki mingyu.

“setelah aku ngejelasin dan kamu nerima penjelasan aku, nerima keadaan aku. malam itu juga aku langsung mikir ‘wah ni orang harus jadi jodoh gue, gak akan bisa gue kalau bukan sama ni orang’ makanya beberapa hari setelah itu aku tembak kan?”

“jujur aku gak mau inget-inget lagi waktu kita jadian sumpah”

“kenapa emang? lucu tau yang hehehe”

menurutku tidak ada yang lucu karena, aku malu. mungkin karena aku merasa seperti bukan diriku yang sekarang. tidak menyesal, mana bisa menyesal karena jadian sama kim mingyu. cuman, malunya itu loh. seorang jeonghan bisa ngotot dan nge-gas, tanpa basa-basi, seperti orang yang tidak punya kesabaran, ditambah lagi dengan kode-kodean minta ditembak saat itu juga, malu banget pokoknya.

tiga hari setelah mingyu menjelaskan keadaannya tentang dia dan jihoon, aku mulai menerima ajakan mingyu untuk main ke rumahnya dan hal yang memalukan itu dimulai.

mingyu bilang dia punya alasan untuk ‘nembak’ aku secepat itu, tapi selain dari alasannya sendiri aku juga memberikan faktor paling kuat kenapa mingyu ceppat-cepat mau menjalin hubungan. singkat cerita, aku senang dan lega ketika mingyu menjelaskan tentang hubungannya dengan jihoon, pikirku saat itu ‘oh berarti dia selama ini beneran dong ngedeketinnya’ terus saking senengnya aku cuman mikirin ‘jadiannya kapan ya, kan udah rela malem-malem ke rumah cuman buat ngejelasin hubungannya sama jihoon biar aku gak salah paham’ dengan pemikiran—yang bisa disebut bodoh itu aku memancing mingyu terus.

“aku gak suka sama orang yang lambat, kalau udah tau tujuan harusnya lakukan apa yang menjadi tujuan itu bukan malah lama di jalannya. nanti keburu bosen” kataku waktu itu dan ya, dua hari setelah itu mingyu menyatakan perasaannya.

senang, tentu saja. akhirnya hubungan kita ada kemajuan, tapi ternyata mingyu meminta untuk menjalani backstreet relationship. awalnya tidak apa-apa toh aku juga bukan tipe yang mengumbar hubungan di publik terus-terusan. tapi jujur, aku tidak menyangka kalau akan selama ini, dua tahun lebih.

“lucu ternyata kamu kepancing gitu sama omongan aku?”

“lucu, soalnya aku jadi tahu kalau kamu emang suka sama aku, jadi aku gas aja lah waktu itu”

“ya kan emang suka kim mingyu”

“aku masih inget banget, waktu aku gugup nyatain perasaan aku ke kamu. kamu malah gak ngedip-ngedip ngeliatain aku dan kaya pengen cepet-cepet jawab padahal aku ngomong aja waktu itu ragu-ragu takut salah pemilihan katanya. udah capek-capek kan dua hari tuh habis di kode sama kamu aku mikirin kata-kata yang pas buat nyatain perasaan, sampe latihan berkali-kali ternyata kamu maunya cuman aku ngomong ‘mau gak jadi pacar aku’ gitu doang ya”

“hehe aku beneran cuman nungguin kalimat itu keluar dari mulut kamu”

“iya sampai kalimatnya belum selesai aja udah di jawab … ‘kamu, mau gak jadi pa-‘ terus langsung disela ‘mau’ hahaha”

“soalnya keburu udah tau ujungnya mau bilang apa dan akunya keburu seneng, terlalu excited

“menggebu-gebu banget berarti yang kamu waktu itu”

“ya gitu deh”

“kalau sekarang gimana? masih menggebu-gebu gak sama aku?”

“ya enggak lah sekarang udah beda, udah fokusnya mempertahanin hubungan kita”

“tapi senengkan sama aku selama ini?”

“kemaren selama diam-diam pacarannya ya gak terlalu seneng, sedih liat kamu lebih mentingin jihoon, sedih karena aku gak bisa pacaran dengan bebas, sedih karena aku ngerasanya jadi yang ke dua”

kalau diberikan pertanyaan seperti itu jawaban aku akan selalu sama, mingyu juga harusnya tahu bagaimana selamana ini aku menghadapi hal-hal yang tidak mau aku lihat dan rasakan. perbincangan malam ini akan berlanjut menuju momen yang tidak terlalu aku suka untuk diceritakan. bukan karena aku tidak mau mengungkit kebersamaan aku dan perjuangan kita untuk sampai dititik sekarang, cuman kadang kalau diingat-ingat lagi masih suka kesal dan sedih sendiri.

“maaf udah bikin kamu ngerasa kaya gitu” minggu mengecup beberapa kali kepalaku, sebenarnya memang aku tidak mau mengungkit lagi masalah dua tahun kebelakang ini, tapi mungkin mingyu juga harus tahu apa yang aku rasain bukan hanya dari penglihatan dia tapi dari sudut pandangku sendiri.

“kamu juga kesusahan selama dua tahun itu, it’s okay gyu makasih pada akhirnya kamu benerin nepatin janji kamu ke aku”

“tapi aku mau tetep minta maaf udh bikin kamu ngerasa kaya gitu, yang”

“iyaaaa” aku cuman bisa menangkup kedua pipi mingyu sambil mencubitnya pelan, menghilangkan sedikit rasa tidak nyaman ketika kembali membahas tentang hubungan kita sebelumnya.

bahkan ketika ingin menceritakan semuanya pun, aku tahu kalau mingyu akan tambah merasa bersalah, karena memang aku menceritakan semua perasaan yang aku rasakan dari kita memulai hubungan sampai saat kita sudah bebas pacaran tanpa perlu sembunyi-sembunyi lagi dari orang lain. bagaimana aku setiap hari harus sabar melihat dekatnya mingyu dengan jihoon—yang sebenarnya waktu itu terlalu berlebihan kalau dikatakan hubungan mereka hanya sebatas sahabat saja. bahkan bukan hanya tentang kesabaran, melainkan perasaan tidak pantas buat mingyu, beberapa kali selalu berpikiran apakah mungkin mingyu malu buat mengakui aku sebagai pacarnya. perasaan tidak diterima oleh pacar sendiri, perasaan yang tidak di akui.

aku insecure selama dua tahun lebih dan satu-satunya hal yang bisa membuat aku bertahan adalah janji mingyu dan mungkin pemikiran aku sendiri yang selalu mengatakan untuk terus percaya dan menunggu mingyu menepati janjinya. untungnya aku percaya kepada orang yang tepat, meskipun lama dan progres mencapai tujuannya lamban tidak secepat ketika menyatakan perasaan, setidaknya aku masih di sisi mingyu sampai ia benar-benar berani mengatakan kalau ‘jeonghan adalah pacar gue’.

kalau bisa dibilang, aku sendiri tidak bisa menghadapi sikap jihoon saat itu, aku cuman bisa diam dan memendam apa saja yang aku rasakan, karena bingung, aku terlalu bingung untuk menghadapi jihoon dan aku tidak tahu harus bagaimana ketika berhadapan dengan orang yang merasa kalau mingyu itu adalah miliknya. pada akhirnya aku tetap sakit hati dan nangis tiap malem berharap mingyu bisa lebih cepat membuka rahasianya kepada jihoon.

mau langsung bertindak tapi aku tahu kalau jihoon merupakan sosok yang berharga dalam kehidupan mingyu, jadi aku tidak bisa gegabah. selama aku melihat interaksi antara mingyu dan jihoon, selama itu juga aku hanya bisa mengandalkan kata-kata mingyu, janjinya mingyu, mengingat momen yang membuat aku senang ketika bersama mingyu.

“kamu sabar banget, makasih udah sayang sama aku sebegitunya. udah mau ngelewatin momen terberat kamu dan aku sadar kalau aku udah nyakitin perasaan kamu, maaf ya yang”

saat hubungan aku dan mingyu masih tersembunyi dari penglihatan dan pendengeran jihoon. meskipun beberapa waktu kemudian tetap ketahuan juga, aku sempat dituduh mempunyai motif mengambil kebahagiaan mingyu setelah itu aku renggut dan akan meninggalkan luka kepada mingyu, padahal kenyataannya waktu itu supaya bisa disebut ‘bahagia’ dengan mingyu saja belum, bagaimana aku bisa merebutnya.

situasi itu beberapa kali memunculkan keinginan untuk menyerah, ketika aku sadar kalau aku bukan prioritas utamanya mingyu, kalau aku hanya— seperti selingan dalam hidup mingyu, ketika mingyu yang masih saja diam di tempat belum maju melangkah untuk menepati janjinya.

momen yang memicu aku untuk menyerah saat itu juga meskipun tidak aku lakukan adalah ketika seungcheol mengetahui hubungan kami dan mingyu masih belum berani mengatakan apapun kepada jihoon. seperti semua yang aku tunggu selama ini tidak akan pernah menjadi kenyataan, mingyu tetap mementingkan jihoon. makanya waktu itu aku pernah bilang kalau aku akan menjaga perasaan aku sendiri dan silahkan mingyu menjaga perasaan jihoon.

karena titik terberat dalam hubungan sembunyi-sembunyi ini adalah ketika aku menyadari kalau ternyata aku sudah lelah menunggu dan sudah cukup merasa sabar. kalau saja saat itu aku tetap mempertahankan keinginan aku untuk menyerah dan melepaskan mingyu, mungkin hubungan aku dan mingyu sudah tidak akan bisa diselamatkan.

tapi tetap, aku luluh lagi. memang dari lubuk hati pun aku tahu kalau mingyu sedang menunggu momen yang tepat dan dengan melihat keadaan jihoon pun harusnya aku paham meskipun rasa kecewa masih tetap ada.

“maaf kalau aku egois pertahanin kamu kemaren, soalnya aku sayangnya cuman sama kamu” katanya, mingyu ini memang perasa, dia bisa menangis dengan hanya mendengarkan cerita tentang aku yang kesusahan, seperti sekarang misalnya.

mingyu yang juga manja dan aku tahu kalau dia sayang sama aku, setelah semua hal yang kita lewati, kata maaf yang selalu dia ucapkan, membuat aku menjadikan masa lalu sebagai kenangan yang aku jadikan untuk memperkuat hubungan serta sebagai patokan kalau kita bisa menghadapi apapun, masalah seberat apapun dan selama apapun.

“aku juga sayangnya cuman sama kamu.”

setelah hari ini, mingyu harusnya bersyukur lagi karena punya pacar seperti aku. karena aku akan selalu mendukung dia, aku sabar ketika menghadapi setiap kelakuan aneh dan menyebalkannya, aku percaya sama mingyu bukan hanya sekedar kata-kata saja tapi aku benar-benar menyimpan kepercayaanku kepadanya, dengan semua yang aku miliki itu sudah cukup untuk membuat mingyu bahagia. dan aku yakin, kalau mingyu akan membahagiakan aku dengan cara yang sama.

second decision.

waktu terus berjalan, dua minggu, satu bulan, dua bulan dan jihoon masih suka menerima video call dari lala. frekuensinya tidak sebanyak ketika jihoon dan soonyoung masih bersama, tetapi satu minggu dua kali adalah angka paling sedikit jihoon mengangkat panggilan video call dari lala.

jihoon dan lala memang tidak memiliki hal yang membuat mereka berdua menjadi canggung, di sini permasalahannya adalah ketika jihoon mau tidak mau ia bisa melihat soonyoung yang sedang menemani lala dan soonyoung pun mau tidak mau akan mendengarkan suara jihoon yang sedang asik mengobrol dengan anaknya.

kalau dulu soonyoung akan diam-diam mencuri waktu video call lala supaya ia bisa mengobrol dengan jihoon, sekarang bahkan ketika lala bilang “papi mau bicala sama ka cil?” soonyoung hanya menggelengkan kepalanya dengan beralasan sudah malam, kakak cil mau istirahat.

pada awalnya soonyoung selalu menolak keinginan lala untuk melakukan video call, atau bahkan sekedar telfon dengan jihoon. rasa bersalahnya kepada jihoon belum selesai dan ia harus sudah menghadapi jihoon lagi. tapi soonyoung tidak bisa menolak ketika lala—hari demi hari terus meminta untuk bisa berbicara dengan jihoon, ingin melakukan video call dengan jihoon. sampai di suatu malam ketika soonyoung sudah lelah menolak dan lala juga sudah lelah meminta.

“papi, mau video ka cil” katanya sambal menangis, lala sudah sesenggukan ketika soonyoung tidak pernah mengabulkan permintaannya. dan dimulai dari malam itu pula, lala dapat menelfon lagi dan selalu soonyoung izinkan. soonyoung tidak mungkin membiarkan lala menangis lagi, padahal rasa sungkan setiap menelfon jihoon itu sangat membuncah. dia malu tapi bingung karena itu yang lala mau.

hidup mereka berdua harus terus berjalan, soonyoung dengan pekerjaannya dan juga menjadi orang tua yang baik bagi lala. jihoon yang pekerjaannya ia rasa semakin berat dan juga pikirannya yang masih berputar disekitar seseorang yang bernama kwon soonyoung, ketika jihoon berusaha untuk melakukan kegiatan sehari-harinya tanpa adanya gangguan, ketika dia ingin bersikap biasa saja, ada lala yang selalu mengembalikan kenangan-kenangannya dengan soonyoung.

hari itu setelah seharian jihoon digempur dengan pekerjaannya, manajernya yang tidak lain dan tidak bukan seungcheol terus membuat jihoon merasa risih, lalu ketika ia pulang ia disuguhkan dengan panggilan video call dari lala. jihoon masih menatap layar handphonenya, malam itu ia merasa terlalu berat untuk mengangkat video call dari lala. mengingat hal-hal yang beberapa hari belakang ini selalu jihoon pikirkan, membuat air matanya tidak bisa ia tahan lagi untuk keluar, satu titik terjatuh di layar handphonenya yang masih menunjukan ka soonyoung is calling.

satu panggilan tidak terjawab

dua panggilan tidak terjawab

“capek, ya tuhan”

seberapa lelahnya hari ini untuk jihoon, bahkan setelah tadi ia menutup pintunya, jihoon masih disana berjongkok sambil menggenggam handphonenya yang terus berdering. jihoon pikir, setelah dia ikhlas dengan apa yang terjadi kepadanya semua akan lebih ringan tapi nyatanya semuanya masih tetap terasa menyakitkan dan jihoon sudah tidak sanggup.

awalnya jihoon mengira tidak akan apa-apa, awalnya jihoon pikir semuanya akan tetap sama dan dia mampu menjalani ini tanpa ada hubungan apapun dengan soonyoung. pada awalnya, jihoon yakin dengan perkataannya sendiri kalau dia akan bahagia dengan caranya sendiri. lalu bahagia yang seperti apa yang jihoon maksud ketika jihoon hanya merasakan tekanan dan hatinya selalu sesak.

setiap malam, ia selalu berharap kalau hari esok semua sesak dihatinya itu hilang, tapi ketika panggilan dari lala muncul dan ketika panggilan itu selesai, jihoon malah merasakan sesak itu dua kali lipat dari sebelumnya. terus bertambah, sampai jihoon sadar kalau dia tidak mungkin seperti ini terus, tidak mungkin berada di situasi yang membuatnya untuk bernafas saja kesulitan.

[lala, kakak mandi dulu sebentar ya]

voice note itu jihoon kirim dan lala menjawab dengan voice note juga, suara lala, semua tentang lala. selalu lucu dan mengegmaskan dimata jihoon, tapi untuk sekarang dengan kegemasan lala saja jihoon merasa tersakiti.

jihoon, tersenyum. memaksakan senyumnya ketika lala kembali menghubunginya dua puluh menit setelah tadi mengirimkan voice note. jihoon bahkan hanya mengganti bajunya, mencucui muka sehingga terlihat sudah mandi.

“kakak ciiil, lala kangen” suara yang disebrang sana terdengar oleh jihoon, ia tersenyum, hatinya masih tak bisa merasakan apapun, pikirannya terus berkelana mencari jalan keluar.

“sama, kakak juga”

lala tersenyum—senyum yang nyata dengan kebahagiaan, ia sedang duduk di samping papinya, jihoon bisa melihat itu. yang dibicarakan antara lala dan jihoon adalah tentang bagaimana lala menjalani harinya di sekolah, lala dengan antusias selalu menceritakan semuanya kepada jihoon, tidak bisa jihoon pungkiri kalau dia juga merasa senang ketika lala membanggakan jihoon kepada teman-temannya di sekolah, seolah-olah jihoon menjadi orang yang cukup penting dalam kehidupan lala sampai-sampai lala tidak pernah lupa menceritakan tentang jihoon.

“terus meleka bilang, meleka juga mau punya kak cil. tapi lala gak mau kasih ka cil ke temen-temen lala, pokoknya ka cil punya lala aja”

kalau jihoon bisa langsung memutuskan video call itu, dia akan langsung memutuskannya saat itu juga. perasaannya jadi ragu, ketika jihoon juga sudah menganggap lala sebagai bagian dari hidupnya, ia juga terlanjur sayang kepada anak dari orang yang ia sayang pula. tapi keadaan selalu membuat jihoon harus berpisah dengan orang-orang yang ia sayangi.

semua persiapan untuk kabur dari belenggu delapan tahun mencintai seorang kwon soonyoung sudah matang, jihoon siap untuk pergi. malam ini, setelah panggilan dengan lala selesai. rasa lelah, kecewa dan muak dengan keadaannya yang harus merasakan siksaan kehilangan delapan tahun yang lalu, jihoon rasakan lagi. dia mau kabur, kabur dari kwon soonyoung.

“tadi lala gambal lagi, ka cil mau liat?”

“boleh”

“lala ambil dulu ya”

lala menyimpan handphonenya disamping soonyoung, sehingga soonyoung bisa melihat dengan jelas wajah jihoon. ketika soonyoung mengambil handphonenya, karena harus mengikuti lala. wajahnya terlihat di layar handphone jihoon.

soonyoung mengubah tampilan kameranya, memperlihatkan lala yang sedang berjalan menuju kamarnya sendiri. mau tidak mau, soonyoung masih bisa melihat wajah jihoon. ketika soonyoung sibuk merekam lala yang sedang membuka tas nya. soonyoung melihat jihoon yang sedang tersenyum tapi disana juga soonyoung lihat kalau ada air mata di pipi jihoon.

“jangan nangis” soonyoung mendekatkan handphonenya dan mengatakan itu dengan pelan supaya lala tidak dengar, tapi masih bisa jihoon dengar dengan jelas lalu jihoon hanya bisa mengangguk.

tawa dan senyum yang jihoon palsukan berakhir ketika lala perlahan tertidur saat mendengarkan ia bercerita, setelah tadi mereka asik berbincang mengenai gambar yang lala buat. jihoon sempat mengambil screenshot, ini sebagai kenang-kenangan dengan lala.

jihoon, sempat diberikan dua pilihan antara rasa sakit dan orang yang memberikan rasa sakit itu. jihoon memilih untuk melupakan rasa sakitnya dan mencoba bersikap biasa terhadap orang yang menjadi penyebabnya. jihoon melupakan satu fakta kalau dengan keberadaan orang itu ia masih bisa merasakan sakit yang sudah ia lupakan. oleh karenanya, belakang ini ia memikirkan bagaimana caranya untuk menyudahi hal-hal yang membuatnya ‘merasa tersakiti’.

“kayanya 8 tahun ini, udah cukup buat aku menjadikan kamu sebagai pusat kehidupan aku. jadi maaf kalau aku terdengar egois buat ninggalin lala, tapi … aku mau punya hidupku sendiri, aku mau hidupku ini berpusat sama diriku bukan buat kamu lagi”

soonyoung seharusnya mengerti, seharusnya dia memahami keadaan jihoon yang sudah menunggunya selama delapan tahun, lalu diberikan harapan untuk masa depan bersamanya tapi gagal lagi. soonyoung harusnya paham kalau lala bukan tanggung jawab jihoon tetapi seutuhnya adalah tanggung jawab dia. harusnya jihoon tidak perlu khawatir terhadap lala karena setelah mereka berpisah semuanya dikembalikan kepada soonyoung.

“aku minta tolong, tolong berhenti ngehubungin aku dengan alasan apapun”

dan harusnya soonyoung mengiyakan apapun kemauan jihoon, karena pada akhirnya soonyoung harus ingat suatu hal bahwa mereka sudah berpisah. hak jihoon untuk menjauh, dan saat itu soonyoung hanya bisa mengiyakan dengan penuh keraguan.


setiap detik terdengar dengan jelas oleh soonyoung seolah-olah ada jam yang berada disamping telinganya yang selalu mengingatkan kalau waktu terus berjalan tanpa ada jeda berhenti, seperti biasanya.

pekerjaan, lala dan jihoon yang sudah menghilang. semua kontaknya sudah jihoon block, tidak ada celah untuk soonyoung bisa menghubungi jihoon meskipun menggunakan lala sebagai alasannya. satu bulan pertama soonyoung lewati dengan sangat berat, lala yang terus merengek, menangis ketika meminta untuk video call dengan jihoon sudah tidak bisa soonyoung kabulkan lagi. bahkan ketika lala melakukan video call dengan cici yang lala ceritakan adalah bagaimana dia tidak bisa melakukan hal yang sama kepada jihoon, bagaimana lala kecewa dengan soonyoung yang selalu mengatakan ‘tidak boleh’ ketika lala meminta untuk—setidaknya menelfon saja.

cici memang sudah memahami situasi ini dari lama, bahkan dari pertama kali lala menangis di telfon karena tidak dibolehkan berbicara dengan jihoon oleh soonyoung, cici tahu, apa yang terjadi antara soonyoung dan jihoon.

soonyoung sempat ragu dengan keputusannya. ingat. awalnya dia memutuskan berpisah dengan jihoon beralasan supaya lala bahagia dan nyaman hidup di dunia ini. tapi yang terjadi adalah, tiap malam soonyoung mendengar lala menanyakan nama jihoon, menangis minta untuk bertemu dengan jihoon. dan soonyoung bingung, apalagi yang harus dia lakukan sekarang.

bahkan ketika dia memisahkan antara lala dengan perasannya pun, soonyoung masih ragu dengan keputusannya. karena soonyoung sama, selama delapan tahun itu dia masih memikirkan jihoon, lalu ketika dia kembali bersama jihoon dia sudah membayangkan masa depan yang sama dengan yang jihoon bayangkan.

keraguannya semakin bertambah ketika ia dari awal bahkan sampai sekarangpun tidak mau melepas jihoon, pun lala yang tidak mau ditinggalkan dan terus mencari jihoon. semua asumsinya tentang kebahagiaan lala pun buyar, apakah ini sudah menjadi jalan yang tepat atau bukan, apakah sekarang dengan keadaan lala yang seperti ini dia sudah menjadi seorang papi yang bisa lala andalkan.

“papi … satu kali … lala ma-mau panggil kak cil” anak kecil itu menangis di depan soonyoung, meminta lagi keinginannya yang sudah lama tidak pernah soonyoung kabulkan.

“temen lala bilang … lala ditinggalin kak cil … lala gak … gak mau ditinggalin kak cil”

“papi” lala mendekat kepada soonyoung yang sedang duduk didepannya, ia memegang tangan soonyoung, air matanya masih mengalir, lala menangis, matanya masih menatap soonyoung penuh harapan.

Hati soonyoung terus-terusan dihujami oleh rasa sakit dan bersalah, ketika dia juga sudah jelas menginginkan jihoon dan ketika lala dengan jelas menginginkan hal yang sama, tapi soonyoung terlalu takut dengan keadaan dan pandangan orang lain yang akan berdampak kepada lala.

“lala mau sama kak cil … papi”

tangannya masih memegang tangan soonyoung lalu soonyoung genggam balik, lala di peluk, ditenangkan supaya berhenti menangis.

“papi juga mau sama kak cil”

soonyoung dengan sadar mengatakan keinginannya kepada lala, ketika lala mengatakan hal yang sama, soonyoung masih ragu karena lala masih terlalu kecil untuk mengerti kondisi yang sesungguhnya seperti apa. disisi lain, dia juga bisa merasakan kalau lala tidak mau berpisah dengan jihoon.

mungkin besok dia akan mencari cara, untuk malam ini soonyoung sudah yakin kalau lala tidak mau ditinggalkan oleh jihoon, kalau lala dan dirinya lebih memilih ada jihoon dalam hidup mereka. dan soonyoung sadar, untuk yang kesekian kalinya setelah kemarin terkubur oleh rasa insecure dan ketakutan akan masa depan, soonyoung kembali disadarkan kalau dia tidak mau ditinggalkan dan meninggalkan jihoon untuk kesekian kalinya.


soonyoung sudah menggenggam keputusannya dengan kuat dalam setiap langkah ia mencari jihoon. setelah lebih dari satu bulan yang lalu soonyoung mendengarkan permintaan jihoon untuk tidak menghubunginya lagi. putus kontak, tidak tahu jihoon sekarang dimana, apartemennya sudah kosong, jeonghan maupun jisoo tidak ada yang bisa diajak kerjasama.

tiga hari sudah soonyoung lewati tanpa hasil apapun, rasa malu sudah ia lupakan, menanyakan jihoon kepada teman-temannya dan juga kepada seungcheol. mantan atasan jihoon pun tidak tahu, yang dia tahu kalau jihoon sudah resign dari kantor tiga minggu yang lalu.

hari ini masih bukan hari keberuntungan soonyoung, setelah tadi dia selesai mengurus perpindahan sekretarisnya yaitu wonwoo dan berhadapan dengan sekretaris baru yang masih membutuhkan adaptasi, sempat membuat soonyoung pusing seharian. ketika soonyoung pulang ke rumah ada lala yang kembali menanyakan kapan ia bisa segera bertemu dengan jihoon.

“belum ketemu sama kak cil nya, lala sabar ya, nanti kalau papi udah ketemu sama kak cil, papi ajak lala buat ketemu kak cil”

pelan, soonyoung menjelaskan kepada anaknya bahwa keberadaan jihoon masih belum ia ketahui. sangat beruntung seorang kwon soonyoung ketika ia mempunyai anak yang lumayan pengertian ketika diberi penjelasan, lala hanya mengangguk meskipun raut mukanya tidak berbohong kalau dia kecewa karena masih tidak bisa berbicara dengan jihoon.

lalu dua malam berikutnya ketika lala kembali bertanya dan soonyoung masih belum menemukan petunjuk apapun tentang jihoon.

“kalau nanti kita udah ketemu kak cil, papi cuman mau ngasih tau lala kalau papi bakal sama kakak cil terus”

“lala boleh ikut?”

“sama lala juga, jadi kita bertiga. lala gak papa kalau kaya gitu?”

“iya, lala sama ka cil bisa ketemu tiap hali?”

“iya”

“hehe lala nanti bakal seneng telus tiap hali”

sayangnya, soonyoung masih belum menemukan jihoon sampai satu minggu sudah ia lewati. ada hal yang bisa ia lakukan, sudah ia pikirkan tadi malam. setelah menitipkan lala kepada bibi di rumah dan bilang kalau dia akan pulang malam. setelah pulang kerja soonyoung bukannya pulang ke rumah tapi ia langsung pergi ke bandung. dengan harapan, mungkin jihoon akan pergi ke bandung ke rumah orang tuanya.

jam tujuh malam, soonyoung sudah sampai di cimahi. dia lupa, rumah jihoon dimana, warnanya apa, nomer berapa. ia tanya kepada seokmin dan jun, mereka pun lupa. sialnya, malam itu bandung hujan deras, pandangannya dari kaca ke jalan terhalangi oleh air hujan, pandangannya dari mata menuju ke kaca mobil yang ia tatap terhalangi oleh air matanya sendiri.

hanya dengan mengandalakan gps, malam itu soonyoung berkelana, mencari rumah jihoon dari ujung sampai ke ujung, soonyoung masih lupa dimana rumahnya atau mungkin memang suasana kota sudah berubah, ada yang ditambahkan dan ada yang dikurangi sehingga ingatan soonyoung tentang rumah itu menjadi buyar.

sampai soonyoung melihat tanda kalau dirinya sudah terlalu jauh mencari, sampai ke ujung bandung, sampai ke cibiru lalu ke jatinangor, soonyoung lupa dengan nama daerahnya.

untungnya malam itu ia melihat beberapa pengendara motor berteduh, soonyoung menghampiri mereka, ia keluar dari mobil, menanyakan tentang daerah yang sedang ia berusaha ingat itu.

‘’kalau gak salah sih daerahnya dekat dari jatinangor atau cibiru ini pak, cuman saya lupa dimananya tapi yang saya inget perumahannya harus ngelewati mall dulu”

ubertos lain a?” (ubertos bukan?”)

“bukan pak, itu ujung berung kan ya? tadi sudah kelewat. dulu belum ada juga sih pak kalau yang itu”

“MIM sugan?” (MIM kali ya?)

“iya tah deket lumayan a dari cibiru, jalan seokarno hatta” kata salah satu orang yang disana

“dibelakang mall nya ada perumahan ya pak?” tanya soonyoung lagi, yang dia ingat cuman itu, karena dulu dia juga bisa dihitung jari ketika mengantarkan jihoon pulang ke rumahnya kalau lagi libur semester.

“ada, margahayu raya coba cek aja a perumahan yang itu”

soonyoung pun berterimakasih kepada mereka yang sudah membantu, meskipun belum yakin, ia tetap menuju jalan yang tadi disebutkan.

jam sembilan malam, dia sudah berada di margahayu raya, soonyoung mencari rumah, tapi dia malah merasa asing dengan dearah ini. sepertinya bukan di daerah ini rumah jihoon berada. dengan keadaan baju yang sudah basah, karena ia beberapa kali keluar lagi dari mobil, bertanya lagi tapi tetap nihil, waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. soonyoung memutuskan untuk pulang ke jakarta.

soonyoung sampai di jakarta pada pukul dua belas malam, ia langsung tertidur karena merasa sangat lelah. hari berikutnya ia sudah mendapatkan informasi dari seokmin kalau rumah jihoon itu memang ada di margahayu raya. soonyoung berpikir kalau ia akan pergi keesokan harinya, semoga tidak hujan lagi supaya proses mencari rumah jihoon akan lebih mudah baginya.

dan dihari berikutnya, setelah kembali izin kepada lala. soonyoung pergi ke bandung untuk yang ke dua kalinya, sial, bandung masih hujan. pukul delapan malam, soonyoung sudah tiba di daerah yang kemarin ia datangi. menanyakan keberadaan rumah jihoon kepada orang-orang disekitar.

“rumah bapak lee? yang anaknya kerja di jakarta ya?” kali ini soonyoung bertanya kepada orang yang tepat.

“iya bu” jawab soonyoung, ia berhenti di warung yang masih buka.

“da atuh kalau gak salah mah udah pindah mereka teh a, coba tanya aja ke penghuni barunya, siapa tau mereka tau pindahnya kemana”

soonyoung sudah kehilangan harapan, rasanya sudah lelah, tapi dia masih mau bertanya kepada pemilk baru dari rumah itu, harapan terakhirnya.

sampailah soonyoung didepan rumah yang dulunya keluarga jihoon tempati. ia memencet bel, menunggu ada orang keluar. dengan harapan palsunya, soonyoung berharap kalau yang keluar itu salah satu dari keluarga jihoon, tapi memang benar kata ibu warung tadi kalau rumah ini sudah ada pemilik lain.

“cari siapa a?”

“lee jihoon pak”

“oh penghuni lama rumah ini ya? udah pindah a”

“bapak tahu tidak ya pindahnya kemana?”

“aduh, kurang tahu saya, udah 4 tahun lalu a”

malam itu soonyoung pulang lagi ke jakarta dengan perasaan yang hampa, sambil menelfon cici dan bercerita kalau dia sudah tidak tahu lagi harus mencari jihoon kemana, dia sudah janji kepada lala, soonyoung juga ingin berbicara dengan jihoon, meluruskan keputusannya sekali lagi.


satu minggu jihoon lalui untuk beradaptasi dengan dengan tempat baru. dua minggu jihoon putuskan untuk segera mempersiapkan cv nya lagi, ia berencana untuk bekerja jika sudah satu bulan ia berada di malang, meskipun tabungannya masih banyak tapi jihoon tidak mungkin hanya berdiam diri di apartemen yang baru saja ia sewa.

tiga minggu ia lewati, jihoon mendatangi saudaranya. hanya sekedar mengunjungi, sebentar sekitar satu jam lalu pergi lagi. tipikal seorang lee jihoon yang tidak terlalu dekat dengan keluarganya. orang tuanya masih di bandung, ketika tahu jihoon akan pindah pun mereka tidak ada yang protes. karena memang mereka tidak sedekat itu.

hari rabu, sekitar pukul tiga sore, jihoon masuk ke dalam coffee shop. setelah memesan minuman, ia duduk dan mengambil handphonenya.

“apa ka han?” jihoon mengangkat telfon dari jeonghan, apartemen di malang disiapkan oleh jeonghan. jisoo juga tahu tentang kepergian jihoon ke malang. mereka tidak berbicara kepada siapapun, bahkan jisoo berjanji untuk tidak membocorkan ini kepada jun sekalipun. intinya yang tahu hanya jeonghan, jisoo dan keluarga jihoon.

“lagi dimana? sama siapa?”

café, sendiri ka, tadi aku habis dari rumah saudara yang ada di malang”

“oh okeey, gimana di sana? apartemennya nyaman kan?”

“lebih tenang dari pada jakarta hehe, enak ko ka, aku di sini makan teratur, mulai bulan depan aku mau lamar kerjaan”

“jadi beneran mau menetap di sana lama?”

“mungkin”

perbincangan dengan jeonghan dan jisoo selalu menjadi kegiatan rutin bagi jihoon, dulu waktu di jakarta mungkin tidak sesering sekarang. baru tiga minggu jihoon di malang, jeonghan dan jisoo masih belum terbiasa dengan jarak yang begitu jauh sehingga mereka hanya bisa melakukan telfon dan video call. jisoo kadang menelfon jihoon di malam hari dan jeonghan sesukanya dia.

sedang asik bercerita dengan jeonghan sambil meminum minumannya, jihoon dikagetkan dengan seseorang yang baru saja masuk ke dalam café itu dan langsung mendekatinya.

“jihoon?” tanya wanita itu ketika mendekat. jihoon mematikan telfonnya dengan jeonghan. dia kaget, sangat.

“oh? cici?”

lalu cici duduk di depan jihoon yang masih terkaget-kaget dengan keberadaan cici.

“kamu selama ini di malang? ya tuhan jihoon”

“cici ko ada di sini? bukannya surabaya ya?”

“aku kesini dua minggu sekali, kantor klien ku ada di sebrang café ini”

“oh” jihoon mengangguk, sebenarnya dia masih kaget, loh ko bisa bertemu dengan cici. dia pikir malang adalah tempat yang aman dari mereka semua yang sedang jihoon hindari.

perbincangan basa-basi, saling menanyakan kabar, cici menanyakan alasan jihoon kenapa tidak bisa dihubungi dan disinilah jihoon kembali harus mengungkit permasalahan yang sedang ia coba lupakan.

“aku tahu dari soonyoung, baru malam kemarin dia nangis-nangis di telfon sambil bilang ‘aku capek ci, gak ketemu’ … dia nyari kamu jihoon sampai ke bandung, dua kali ke bandung pulang jam dua belas malam ke jakarta tapi nihil gak dapat kabar”

“kenapa harus dicari, aku kan sudah bilang waktu itu sama ka soonyoung supaya gak hubungin aku lagi dengan alasan apapun”

“aduh jihoon, kasihan loh soonyoung nya udah nyari kamu kesusahan pula, dia sampai kecapean dan gak masuk kerja”

“kalau khawatir kenapa gak cici aja yang ke jakarta”

“jihoon?”

“kamu masih sayang kan sama dia?” tanya jihoon kepada cici, matanya menatap cici tapi tatapannya terlihat kosong, hitam, seperti orang yang kehilangan seluruh harapannya dan tidak perduli lagi dengan apapun yang akan terjadi.

“udah gak ada jihoon, perasaan itu di aku udah gak ada. bahkan sebelum kita cerai pun udah gak ada”

“udah gak ada? berarti pernah ada?”

“waktu hamil, mungkin waktu itu yang membuat aku ngerasa sayang banget sama soonyoung, karena dia memperlakukan aku dengan baik. mungkin waktu itu juga bawaan lala kali ya. tapi aku selalu di sadarkan sama sikapnya dia kalau ini itu gak mungkin terbalaskan sampai kapan pun, dan itu terbukti”

jihoon diam dan cici hanya memandanginya.

“jihoon, soonyoung itu selalu nyeritain tentang kamu, matanya selalu berbinar-binar ketika ngomongin keahlian kamu, kepintaran kamu. terus habis itu dia suka tiba-tiba sedih, katanya kangen tapi gak tau harus gimana. dari dulu, perasaannya dan kasih sayangnya selalu buat kamu. kamu tahu kenapa aku dukung-dukung aja ketika soonyoung mau balikan sama kamu? bukan berarti aku gak mikirin lala tapi aku tahu seberapa sayangnya dia sama kamu”

“tapi cici juga harusnya udah tahu alasan apa yang membuat kita memutuskan untuk pisah”

“iya, paham. terimakasih udah mementingkan lala dibanding perasaan kalian. tapi kamu tau tidak? kenapa lala terbiasa dengan absennya aku sebagai maminya sendiri?” jihoon menggelengkan kepalanya.

“dari dulu lala lebih dekat dengan papinya, ketika aku super sibuk bahkan ketika lala baru berumur tiga bulan aku memutuskan untuk bekerja, sebagai anak tunggal pemilik perusahaan mau tidak mau mau, suka tidak suka, soonyoung yang masih belum paham tentang perusahaan yang aku pegang saat itu memutuskan untuk cuti dan ketika cutinya habis dia selalu pulang tepat waktu, banyak menghabiskan waktu dengan lala. jadi lala pada dasarnya memang sudah terbiasa dengan ketidakhadiran aku. pernah gak lala waktu video call sama kamu, terus dia curhat kangen sama maminya?”

“enggak pernah ci”

“nah … terus lala ketika pindah ke jakarta ketemu kamu, yang bisa dia tanya-tanya, yang bisa dia ceritain tentang kehidupannya di sekolah, yang bisa dia banggain ke temen-temennya, yang bisa lala andalkan ketika lala tidak bisa mengatakan beberapa hal kepada soonyoung dia bilangnya sama kamu”

“terus aku harus gimana?”

“waktu aku video call, soonyoung lagi tiduran ditemenin lala. aku beneran sedih banget, aku gak nyalahin kamu. tapi aku berharap kamu ada di sana. soonyoung itu kalau lagi biasa aja suka picky makan nya apalagi kalau sakit dan kamu yang paham dia kaya gimana, lala waktu bicara sama aku malah nangis, yang dia tanyain pun kamu ‘&mami, tau ka cil dimana? papi udah cape nyarinya, tapi lala masih mau ketemu*’ … lala masih kecil, sesayang itu dia sama kamu dan malah kamu tinggalin”

jihoon tidak memiliki niat untuk memberikan kesulitan kepada mereka berdua, kepada lala dan juga soonyoung. niat jihoon cuman satu, dia cuman mau terbebas dari ketidaknyamanannya. setelah mendengar perkataan cici, kenapa jadi dia yang merasa bersalah, jihoon sudah yakin kalau dia tidak memiliki tanggung jawab apapun kepada lala dan soonyoung. hidup mereka sudah beralih menjadi tanggung jawab masing-masing. jihoon bertanggung jawab atas perasaan dan hidupnya, soonyoung bertanggung jawab atas lala dan juga hidupnya.

“aku rasa, soonyoung sudah punya keputusan lain dan dia sudah yakin dengan rencananya yang melibatkan kamu, karena kita sudah berbicara banyak, aku dan soonyoung sudah mengobrol untuk masa depan lala sesuai dengan yang lala inginkan”

“aku udah gak punya harapan apapun, aku udah nyaman sendiri. semoga ka soonyoung dan juga lala bisa menjalani hidup mereka dengan nyaman secepatnya … secepatnya bisa terbiasa tanpa aku seperti aku yang sedang membiasakan diri tanpa mereka”

tindakan jihoon, sudah direncanakan dan dipikirkan. tidak ada kata kembali ke dalam kesengsaran. jihoon ingin memenuhi janjinya kepada soonyoung dan kepada dirinya, ketika jihoon bilang kalau ia akan bahagia dengan jalannya sendiri, dengan caranya sendiri dan mungkin beginilah cara jihoon.


cici dengan segala kekurangannya, ia masih ingin melihat anaknya bahagia meskipun bukan dia yang memberikan kebahagiaan itu. sudah tiga hari setelah bertemu dengan jihoon dan tidak ada satu malam pun yang cici lewatkan untuk merenung. dilema antara memberitahu soonyoung tentang keberadaan jihoon atau tidak.

malang memang luas, tapi mantan istri soonyoung itu mengira kalau jihoon tinggal di daerah café yang menjadi tempat mereka bertemu, tempat dimana takdir kembali mempermainkan kisah seorang lee jihoon.

dan lagi, keinginan cici untuk memberitahu soonyoung selalu diuji dan didukung oleh lala yang setiap melakukan video call anaknya itu selalu bebricara mengenai jihoon, tidak jauh-jauh dari menanyakan keberadaan jihoon.

dengan segala pertimbangannya, ketika cici mulai egois demi lala. sabtu malam, cici memberitahu kalau ia sudah bertemu dengan jihoon di malang. lala sangat senang begitupun dengan soonyoung. cici menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan jihoon. sehabis bercerita cici menyuruh soonyoung untuk datang ke malang, membawa lala dan bertemu dengan jihoon.

“kayanya aku tahu jihoon tinggal dimana, soalnya waktu kita pulang bareng jihoon cuman jalan ke area apartemen deket café yang di depan kantor klien ku itu”

untuk soonyoung sendiri ini kabar yang dia tunggu-tunggu, dia sudah menyiapkan semuanya, dibantu oleh cici. hanya tinggal jihoonnya saja yang belum ketemu. mungkin besok atau lusa, setelah mendapatkan tiket pesawat soonyoung akan berangkat bersama lala untuk menjemput jihoon.


ada lala yang semangat, soonyoung yang sedikit was-was. mereka berdua sudah berada di kota malang. tadi sempat ketemu cici sebentar setelah itu mereka beristirahat di hotel yang tidak jauh dari tempat café yang waktu itu cici ceritakan.

“aku udah minta mba waiters-nya buat hubungin aku kalau ada jihoon ke café mereka” kata cici sebelum ia melepas soonyoung dan lala pergi ke hotel.

dan ya, ketika jam 5 sore soonyoung mendapatkan kabar dari cici kalau jihoon sedang berada di café itu, biasanya jihoon cuman sebentar, membeli minuman lalu pergi. kecuali kalau ada telfon dadakan dari jeonghan maka dia akan diam dulu.

masih dengan harapannya, lala dan juga soonyoung pergi menuju café itu. tidak ada persiapan istimewa yang soonyoung lakukan selain rencananya yang sudah terdengar meyakinkan dan siap untuk dilaksanakan.

ketika soonyoung diam saja, lala meronta minta turun. kaki kecilnya itu melangkah dengan cepat, menuju orang yang selama ini ia cari. lala tidak menggubris perkataan soonyoung yang menyuruhnya untuk tidak berlari, ia terus berlari ingin segera sampai kepelukan jihoon yang sedang kaget karena melihat mereka ada di hadapannya.

bahkan ketika lala terjatuh, badannya tersungkur, kalau anak lain mungkin akan memutuskan untuk menangis dan merengek sambil memegang pipinya yang terbentur ke aspal, tapi lala tidak. dia berdiri dan tetap berlari menghampiri jihoon.

ketika lala jatuh, jihoon baru tersadarkan. dia pun menghampiri lala dengan cepat, menjatuhkan minumannya yang baru saja ia beli dari café.

lala bertemu dengan orang yang bisa membuatnya tertawa ketika sedih, orang yang selalu mendengarkan ceritanya dengan senyuman dan lala suka akan hal itu, orang yang selalu bisa menjawab semua pertanyaan lala, yang selalu menanyakan ‘’lala gimana tadi sekolahnya?”, “lala seneng?”, “tadi waktu sekolah ada yang bikin sedih? kenapa?” semua pertanyaan itu yang lala butuhkan, kehangatan jihoon kepadanya yang membuat lala tidak mau kehilangan sosok jihoon ini dalam hidupnya.

“lala, bakal jadi anak baik … gak mau ditinggal pelgi”

jihoon membawa lala masuk ke dala café, mendudukan lala di kursi lalu jihoon meminta kotak p3k kepada pegawai café. membersihkan pipi lala yang tergores sehingga mengeluarkan sedikit darah. lala hanya diam, menangis, tangannya masih memegangi kemeja jihoon.

soonyoung masuk ke dalam café, menyusul lala dan juga jihoon.

“berdarah gak?” tanya soonyoung

“sedikit, ini lagi aku bersihin dulu”

soonyoung mengusap kepala lala, mengambil kursi supaya jihoon bisa duduk ketika sedang membersihkan luka lala. soonyoung sendiri malah berdiri menunggu jihoon selesai.

“pipi tembemnya jadi merah, lain kali jalannya pelan-pelan ya biar ga jatuh” kata jihoon

lala yang baru saja selesai diobati langsung mendekat dan memeluk jihoon lagi. mereka keluar dari café itu, berjalan dengan lala yang masih digendongan jihoon.

“hotel mana? atau di rumah cici?”

“hotel yang itu” kata soonyoung sambil menunjuk satu hotel yang berada di dekat café.

sampai di depan kamar nomer 342. jihoon sempat ingin melepaskan lala, menurunkannya tapi lala tidak mau, dia malah semakin erat memeluk leher jihoon. seakan melarang jihoon untuk tidak pergi dan melepaskannya lagi.

jihoon pun ikut masuk ke dalam kamar hotel, duduk di sofa masih dengan lala yang tidak mau melepaskan pelukannya.

“tadi minuman kakak, masih baru malah kebuang” jihoon mengelus punggung lala.

“hehe … kalena lala jatuh ya?”

“iya, kakak kaget”

soonyoung menyimpan tiga botol minuman di atas meja. ia duduk di sofa lain dan berhadapan dengan jihoon yang sedang bercanda dengan lala.

“ada kerjaan disini?” soonyoung menjawab dengan gelengan kepala dan jihoon paham akan sesuatu.

“oh, dikasih tau cici?”

lalu soonyoung mengangguk. seketika soonyoung merasa lebih tenang dari sebelumnya, seperti bebannya sedikit terangkat ketika lala ada dipangkuan jihoon. Soonyoung menyenderkan badannya di sofa, memperhatikan jihoon dan juga lala dengan tatapan yang—sejujurnya soonyoung ini sudah sangat lelah, dia cuman mau merasakan tidur dengan tenang lagi.

“kalau capek, tidur ka” lala yang mendengar perkataan jihoon itu langsung melihat ke arah papinya. ia turun dari pangkuan jihoon dan menghampiri soonyoung.

lala menangkup kedua pipi soonyoung, mengecup kening orang tuanya itu lalu tersenyum dan dia mengucapkan sesuatu yang membuat jihoon merasa sangat disayang oleh lala.

“papi … telimakaci … lala ketemu kak cil hehe” dan soonyoung memeluk lala, mengecup kening lala balik dan melepaskannya lagi karena lala sudah mau berpindah ke pangkuan jihoon.

selama jihoon di dalam kamar hotel, ia mendengarkan banyak cerita dari lala, tentang bagaimana lala merasa sedih karena ditinggalkan olehnya, tentang lala yang suka ditinggal sampai malam karena papinya mencari jihoon terus-terusan dan lagi, jihoon cuman bisa tersenyum miris mendengarkan cerita lala, ia peluk lala dan mengucapkan kata maaf.

setelah melihat jihoon bersama lala, soonyoung dengan berani menyampaikan rencananya kepada jihoon. ia menjelaskan tentang rencananya untuk tinggal di luar negri bersama lala dan juga jihoon. tentang pekerjaannya yang berpindah lokasi, meskipun tidak bekerja di perusahaan cici lagi tapi soonyoung mendapatkan pekerjaan itu dari temannya cici.

soonyoung menceritakan kalau lala setuju dengan semua rencananya, karena soonyoung membuat rencana ini berdasarkan permintaan lala juga. beberapa kali soonyoung meyakinkan lala apakah tidak apa kalau dia bersama dengan jihoon, dan lala selalu mengatakan tidak apa-apa.

“kamu gak mikirin gimana cici? dia mau ketemu sama anaknya jauh”

“kita udah ngomongin ini cil, mau dimana? pilihannya banyak selain inggris, cuman kalau kerjaan emang adanya disana”

“kasian lala, nanti dia kangen sama cici terus kalau mau ketemu susah, aku gak mau nanti malah ada masalah lagi”

“ya lo tanya lala dah cil, dia maunya gimana. lo jelasin, terus tanya dia”

“dia masih kecil ka”

“tapi dia tau apa yang dia mau”

“enggak, aku … udah gak mau berharap sama kamu lagi, sama keadaan kita”

“cil”

“itu … lala mau … nanti satu lumah … lala … papa cil gitu manggilnya”

soonyoung bahkan kaget sendiri ketika lala ikut berbicara, meyakinkan jihoon yang sedang tidak mau berada diantara mereka.

“lala … mau tinggal sama yang sayang sama lala … mau sama kak cil, please”

“terus nanti jauh sama mami lalanya gimana?”

“gak papa, mami telpon aja bisa … mami sibuk … lala gak suka”

malam itu jihoon yang terpaksa harus menginap di hotel masih belum meberikan jawaban atas ajakan soonyoung dan juga lala. tapi sudah jelas kalau jihoon tidak setakut sebelumnya untuk bersama mereka. mungkin ini jawaban dari semesta, mungkin semesta tidak akan menyakiti jihoon untuk kali ini. mungkin jihoon akan mencoba satu kali lagi dan berharap semuanya akan indah sesuai dengan apa yang dia inginkan.


dua bulan setelah kejadian membujuk jihoon di malang. jihoon ikut kembali ke jakarta bersama soonyoung dan juga lala. tinggal di rumah soonyoung untuk sementara, karena dalam kurun waktu satu bulan lagi mereka akan pindah ke negara yang jihoon pilih.

semuanya sudah rampung, visa dan juga rumah serta pekerjaan jihoon dan juga soonyoung. mereka hanya tinggal berangkat.

“cil mau ke rumah orang tua lo dulu?”

“gak usah ka, aku udah kasih tau ko. lagian mereka gak terlalu tertarik juga sama kehidupan aku, semenjak aku lulus kuliah kan hidup aku terserah aku”

“lah nanti kalau pas nikahan gak bakal diundang? mau izin dulu kali gue sama orang tua lo”

“kalau kamu mau yaudah ayo ke rumah dulu”

setelah hari sabtu dan minggu mereka habiskan menginap di rumah orang tua soonyoung untuk berpamitan karena mereka akan segara berangkat, hari berikutnya soonyoung, lala dan jihoon pergi ke rumah jihoon yang berada di bandung.

“waktu itu gue cari-cari rumah lo gak ketemu, ternyata pindahnya kesini”

sama dengan orang tua soonyoung yang sudah tidak mau ikut campur dengan urusan anaknya, keluarga jihoon pun mengiyakan apa yang jihoon dan soonyoung sampaikan. untung ada lala, dia selalu yang menjadi obat anti canggung untuk soonyoung maupun jihoon. karena lala selalu ceria di depan orang tua jihoon sehingga orang tua jihoon pun menyambut lala dengan baik.


“ayo siap-siap kita ke taman” ajak jihoon kepada lala, padahal lala tadi sangat excited untuk pergi karena ini pertamakalinya mereka akan keluar dari rumah baru mereka.

“papi cepet ganti baju” lala menarik tangan soonyoung untuk segera mengganti pakaiannya karena dari tadi soonyoung malah tiduran sambil nonton tv di ruang tengah.

“ka, aku sama lala udah siap loh”

“males cil gue … asli mending tiduran”

“lala, kelitikin papi kamu sana sampai pipis di celana”

lala sudah duduk di atas perut soonyoung siap untuk menggelitiki papinya.

“hahaha aduh iya la, bentar ini papi bangun asli bangun ini mau bangun”

kehidupan mereka di tempat yang baru, suasana yang baru, sesuai dengan kemauan mereka bertiga. untuk menjadi satu keluarga kecil yang bisa membahagiakan lala dan juga mereka berdua sebagai pasangan. sebab tidak ada yang tidak mungkin, ketika sudah mempunyai rencana dibarengi dengan usaha, seperti yang soonyoung dan jihoon lakukan.

—kalau ini kebahagiaan kami, maka biarkan seperti ini tuhan—

⚠️ : homophobic, broken home, toxic parents.

jihoon tahu, setiap langkah yang dia ambil ketika keluar dari kantornya terasa sepuluh kali lipat lebih berat dan melelahkan dibanding biasanya. ada tali kasat mata yang mengikat pergelangan kaki jihoon, menyuruhnya untuk diam, tapi keberanian jihoon mengatakan untuk menghadapi apapun yang akan dia hadapi dan disinilah jihoon sekarang, melihat ke arah soonyoung yang sedang menunggunya di luar mobil sambil berdiri memainkan handphone.

langkahnya semakin berat, senyumnya ia paksakan. jihoon ini bukan akhir duniamu, pikirnya.

tidak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan dari kantor jihoon menuju rumah jeonghan, mereka tidak membutuhkan basa basi lagi, biarkan keheningan menemani perjalanan mereka. bukan untuk saling mengabaikan, bukan berarti saling tidak perduli dengan kehadiran masing-masing, bukan berarti soonyoung atau jihoon tidak perduli lagi.

mereka membiarkan isi kepalanya berpikir, tentang kata apa yang akan nanti mereka ucapkan, tentang hal apa yang akan menjadi keputusan terakhir dari hubungan mereka. tentang bagaimana jihoon menanti jawabannya sonyoung dari pesan yang tidak soonyoung balas, tentang bagaimana soonyoung merasa begitu bersalahnya kepada jihoon.

isi kepala soonyoung sudah muak dengan kata-kata positif yang dia terapkan, semuanya tidak berguna, karena bukan itu yang dia butuhkan dan bukan itu yang harusnya ia pikirkan.

“diparkir sini aja ka, agak mepet ke depan pagarnya”

“okey”

“mau jawab pertanyaan aku di sini? atau di dalam rumah ka han?”

“sini aja cil”

entah untuk yang keberapa kalinya, mereka menghebuskan nafas panjang tapi masih belum ada yang berani memulai untuk berbicara. kali ini soonyoung si pemberi keputusan, yang akan memberikan kepastian untuk mereka.

jihoon yang sedang menunggupun, mempunyai andil besar dalam keputusan soonyoung karena jihoon yang memberikan keberanian untuk soonyoung kembali memilih.

kepada apapun yang menahan suara soonyoung, enyahlah karena dia sudah lelah dengan isi pikirannya yang tidak disuarakan. baru beberapa menit dia sudah gila, pikirannya semakin kacau. darimana dia harus memulai.

take your time ka, aku tunguin” kata jihoon, jihoon sadar kalau soonyoung sedang memilah perkatannya. ketika soonyoung mengacak-ngacak rambutnya sendiri, menatap jihoon sebentar lalu berpaling lagi, jihoon tahu kalau soonyoung pun sedang dilema. atau mungkin dia sudah punya jawaban tapi susah untuk mengungkapkan.

“sumpah” kata soonyoung, bukannya melanjutkan perkataannya ia malah menunduk menutupi mukanya, memijat keningnya yang saat ini terasa pening.

“gue, bakal ngelakuin apapun yang bisa bikin lo bahagia cil, sumpah”

“apapun yang lo mau, sumpah, apapun cil”

hal yang membuat jihoon menangis, bukan karena perkataan soonyoung. tapi karena saat ini ia melihat soonyoung yang terlihat sangat frustasi, berbicara penuh dengan tekanan, sedari tadi soonyoung masih sibuk berusaha untuk menghentikan tangisnya agar bisa berbicara dengan jihoon, dan itu yang membuat hati jihoon tersakiti.

“lo tuh, gak bisa diginiin— hidup loh tuh—harusnya gak gini”

soonyoung memberanikan diri melihat jihoon. ketika mata mereka saling bertemu dan soonyoung sadar kalau bukan cuman dia yang meneteskan air mata.

“gak gini sumpah”

“enggak gak gini”

soonyoung beberapa kali mengucapkan dua hal tersebut, makna yang sama, tidak menerima apa yang sedang ia lalui. karena rencana awal soonyoung maupun jihoon, bukan untuk saling berhadapan di dalam mobil di depan rumah jeonghan membicarakan tentang hal yang tidak akan pernah mau mereka bahas sebelumnya. rencana awal mereka hanya menghubungkan keinginan satu sama lain, bahagia. hanya itu.

“ka, aku akan terima apapun keputusan kamu. seperti yang aku bilang tadi, mau ambil risiko sama aku atau enggak juga gak papa, karena aku tau, keputusan kamu yang terbaik buat lala. jadi gak papa, karena aku juga mau yang terbaik buat lala”

soonyoung meraih tangan jihoon, mencium tangan jihoon lalu memeluk tubuh jihoon. kalau semua bentuk apresiasi bisa soonyoung lakukan detik itu juga sudah soonyoung lakukan. jihoon yang baik, jihoon yang sayang dengan dirinya, jihoon yang mementingkan lala, jihoon yang—kalau soonyoung diberi kesempatan, diberi izin oleh semesta, dia akan memberikan apapun bentuk apresiasi yang jihoon layak terima karena ucapan terimakasih, ucapan kalau jihoon kamu terlalu baik pun tidak pernah cukup bagi soonyoung.

mereka saling memeluk, menenangkan satu sama lain, biarkan air mata mereka keluar sampai kering dipipi dengan sendirinya, sampai mereka tenang dan siap melanjutkan pembicaraan.

“dulu gue memutuskan buat cerai salah satu alasannya adalah kenyamanan lala, gue gak mau nyakitin lala, gue sama cici dulu sempat ada di fase sering memperdebatkan hal kecil, sering berantem diam-diam. gue sama cici setuju, kalau kita gak mau lala ngerasain apa yang kita rasain. ngedengerin orang tua berantem, dirumah tapi gak nyaman, tiap hari cuman bisa tutup telinga penasaran kenapa mereka berantem terus, tiap hari ngedenger barang pecah, tiap hari denger kata-kata kasar, tiap hari denger mereka yang saling nyalahin, mau pergi dari rumah tapi gak punya apa-apa—“

soonyoung memegang tangan jihoon, menatap jihoon lagi.

“dan gue gak mau lala ngerasain itu cil”

jihoon mengangguk, dalam pikirannya yang sedang sibuk itu, terselip kalau jihoon pun merasa kagum dengan cara soonyoung melindungi lala dari kemungkinan apapun dan hal terburuk yang pernah soonyoung rasakan, ia jadikan pelajaran dan ia terapkan dalam hidupnya untuk membuat lala nyaman dengan yang namanya rumah.

“waktu pertamakalinya gue denger suara tangis lala, gue janji sama diri gue sendiri kalau gue gak bakal kaya orang tua gue yang gak pernah sekalipun mikirin perasaan anaknya, gue gak akan kaya mereka yang bisanya cuman nuntut doang dan gue—gak akan ngebiarin siapapun nyakitin lala, gue—“

soonyoung berhenti lagi, bahkan dengan mendengarkan apa yang soonyoung katakan membuat jihoon meneteskan air matanya yang bahkan bekas aliran air mata di pipinya masih belum kering.

“gue, gak akan pernah mau ambil risiko yang bisa mengganggu kebahagian dan kenyamanan lala...gue minta maaf cil”

soonyoung menggenggam tangan jihoon erat, mendekatkan tangan jihoon pada wajahnya ia membungkuk dihadapan jihoon, seolah meminta ampun atas apa yang ia ucapkan dan semua perbuatannya.

hal yang paling menakjubkan dari seorang lee jihoon adalah, ketika dia mendengarkan semua perkataan soonyoung, ketika dia mengangguk memberikan persetujuan kepada apapun yang soonyoung katakan. ketika dia sekarang ikut membungkuk memeluk kepala soonyoung dan mengelusnya pelan.

“kamu, jadi ayah yang baik. aku bangga banget ka”

bahkan suara tangisan soonyoung bisa terdengar dengan jelas.

“aku sedih karena hubungan kita harus udahan lagi, tapi aku dukung keputusan kamu—“

“—i love you more, ka”

“jangan gitu cil, gue mohon jangan kaya gitu“

rasa bersalah, kecewa dengan keadaan,desakan dari keputusan yang sudah dibuat. soonyoung bisa apalagi. sekarang ia hanya perlu meminta jihoon untuk lebih bahagia, bisa bahagia dengan orang lain, menjalani hidupnya dengan baik.

“aku punya cara aku sendiri buat jalanin hidup aku, aku bisa bahagia tanpa harus kamu suruh aku lupain kamu atau aku cari orang lain sebagai pengganti kamu, aku janji aku akan baik-baik aja”

dan tidak ada lagi yang bisa soonyoung lakukan selain percaya dengan perkataan jihoon. ketika tidak ada lagi yang bisa mereka katakan, ketika soonyoung masih memegang tangan jihoon dengan erat, ketika semuanya sudah jelas kalau tidak ada harapan untuk mereka berdua.


jihoon mengirim pesan kepada jeonghan, setelah tadi ia dan soonyoung menenagkan diri, jihoon memutuskan untuk mengakhiri pertemuannya hari ini dengan soonyoung.

“udah bilang ke jeonghan?”

“udah ka, aku masuk ke rumah ya”

soonyoung ikut turun, jeonghan masih belum terlihat. soonyoung manfaatkan keadaan itu untuk dia kembali berbicara dengan jihoon. hal pertama yang soonyoung lakukan adalah ia pegang tangan jihoon lagi, soonyoung tidak akan pernah bosen dengan kegiatan memegang tangan jihoon ini, bahkan dia bisa melakukannya seharian.

kedua, soonyoung berlutut di depan jihoon. ini adalah hal yang ingin soonyoung lakukan sedari tadi. cara meminta maaf seperti apa yang bisa soonyoung lakukan supaya bisa menghilangkan rasa bersalahnya kepada jihoon.

“ka, jangan kaya gini”

jihoon berusaha membangunkan soonyoung.

“gue minta maaf cil, gue gak bisa apa-apa lagi”

“gak papa ka, ayo bangun”

jeonghan berdiri tidak jauh dari posisi soonyoung dan jihoon, dia terdiam, kaget melihat keadaan yang sedang dia saksikan, dia melihat jihoon yang baru saja memeluk soonyoung dan terus-terusan mengatakan ‘gak papa’. dengan dia tidak mendekat, sepertinya jeonghan paham, jeonghan memilih untuk diam menungu jihoon selesai bicara dengan soonyoung.

ketika soonyoung sudah bangun lagi, ketika jihoon lagi dan lagi menghapus air mata soonyoung. jeonghan menghampiri mereka. soonyoung melihat jeonghan datang, merasa kalau waktunya sudah habis sampai disini. soonyoung mencium kening jihoon, memeluk yang lebih muda.

“cil yang kuat ya”

jihoon mengangguk, soonyoung sempat berpamitan dengan jeonghan, lalu dia masuk ke dalam mobil.

selama soonyoung belum berangkat, jihoon masih melihat ke arah soonyoung. perkataan soonyoung tadi, entah kenapa malah membuat hatinya menjadi lebih sakit dari sebelumnya. ‘cil yang kuat’ katanya, seperti jihoon baru saja disadarkan kalau dia dan soonyoung sudah berakhir untuk yang kedua kalinya.

ketika jihoon sudah tidak sanggup melihat soonyoung, ia membalikan badannya dan memeluk joenghan. perlahan jeonghan mengajak jihoon ke dalam rumahnya dan ketika jeonghan membuka pintu rumahnya, soonyoung baru bisa pergi.


tadi jihoon sudah bilang, kalau dia mau langsung tidur di kamar jeonghan, yang punya kamar tidak protes, ia membiarkan jihoon tertidur atau mungkin sedang menangis malam ini.

di sisi lain, ada soonyoung yang juga baru sampai. dia menanyakan keberadaan lala pada bibi, katanya lala sudah tidur karena nunggu papinya pulang kelamaan. soonyoung menuju kamar lala, duduk disamping lala yang sedang tertidur.

“lala anak baik, papi sayang sama lala”

kalau lala gampang terbangun mungkin dia sudah terbangun ketika soonyoung memegang tangan lala, suara tangis soonyoung yang bisa terdengar dengan jelas, atau ketika soonyoung terus mengecup kepala lala.

untuk kali ini, bukan pikiran yang positif yang bisa mereka terapkan, antara jihoon dan juga soonyoung, mereka memilih hati yang bisa menerima.

acceptance

untuk segala hal yang sudah mereka lalui, untuk semua usaha yang sudah mereka lakukan. ini akhir untuk hubungan mereka dan mereka hanya bisa menerimanya.


hai, terimakasih sudah mengikuti loslaten sampai selesai, sudah mengikuti projek terlama aku sampai selesai. it was hard buat aku juga untuk menyelesaikan loslaten, tapi akhirnya selesai juga. sekali lagi, terimakasih banyak teman-teman untuk semua qrt dan dukungan yang kalian berikan.

—lily

soonyoung maupun jihoon, sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. sudah berpakaian rapih, jihon juga sudah memakai baju kerjanya yang sengaja disimpan di lemari soonyoung. satu kali lagi jihoon merapikan bajunya dan mereka siap untuk membuka pintu kamar.

“ayo ka” ajak jihoon, tapi soonyoung masih diam. duduk di atas kasur masih dengan tangan yang terus memegang handphonenya. matanya tidak pernah berhenti menatap jihoon, memperhatikan setiap pergerakan jihoon.

“ayo” ajak jihoon lagi, dan ketika jihoon mendekat memegang tangan soonyoung, yang lebih tua malah tetap diam. kepalanya menunduk, tatapannya fokus kepada tangan jihoon yang saat ini sedang memegang tangannya.

jihoon juga memutuskan untuk diam sebentar tidak memaksakan soonyoung untuk cepat-cepat berdiri dan keluar dari kamar. jihoon juga sedang dalam keadaan yang sama. rasanya kalau keluar dari kamar, semuanya akan menjadi lebih berantakan. mungkin jihoon atau soonyoung bisa melihat dan sadar apa itu realita yang sedang mereka berdua hadapi.

jihoon menggigit bibir bawahnya ketika ia merasakan air mata soonyoung yang jatuh tepat di atas kulit tangannya. bukan karena jihoon yang sudah terbiasa dengan rasa seperti ini, tapi dia masih sadar, pikirannya masih tertuju kepada meja makan dan kepada lala juga cici yang sedang menunggu mereka berdua. sehingga jihoon, menangkup kedua pipi soonyoung, tersenyum kepada soonyoung, menghapus air mata soonyoung.

hanya jihoon yang sedari tadi bergerak. soonyoung sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. pikirannya sudah tidak fokus, semuanya terasa hilang begitu saja.

dengan tangan jihoon yang masih menangkup wajah soonyoung, jihoon mendekatkan wajah mereka, menatap mata soonyoung dengan jarak yang begitu dekat, mencium kening yang lebih tua lalu kembali menatap matanya.

“gue gak sanggup cil” kata soonyoung.

“aku gak tau sih konteksnya ini sama dengan yang ada dipikiran aku atau enggak tapi, iya gak papa ka, kita bisa nyerah atau kita bisa maju, kita bisa ambil risiko atau engga juga gak papa”

soonyoung detik itu juga merasakan rasa sayangnya kepada jihoon menjadi berkali-kali lipat. kalau ada banyak hal yang bisa dia lakukan untuk jihoon, maka akan dia lakukan, kalau dengan memberikan bunga atau memberikan apapun yang jihoon suka setiap jamnya sebagai bentuk menunjukan rasa sayangnya kepada jihoon dengan senang hati dia akan melakukannya, kalau ada cara lain yang bisa membuat dia menunjukan semua rasanya itu, dengan semua waktu yang dia punya, semua kemampuan yang dia bisa, soonyoung akan melakukan semuanya.

seandainya kalau soonyoung bisa.


soonyoung memakan sarapannya dengan cepat, tidak banyak berbicara, menjawab pertanyaan cici dengan seperlunya, dia hanya mencium kening lala satu kali lalu pergi meninggalkan mereka yang masih menikmati sarapan pagi itu.

sedangkan jihoon, dia masih mengobrol dengan cici, sempat bermain dengan lala sebentar sebelum dia juga menyusul soonyoung keluar.

di dalam mobil sepi, soonyoung tidak berbicara begitupun jihoon. soonyoung hanya mengantarkan jihoon ke kantornya lalu dia pergi menuju ke kantornya.

berbeda dengan delapan tahun lalu, ketika soonyoung memiliki pemikiran konyolnya untuk kawin lari. saat ini, dia sadar kalau mereka sudah dewasa, tidak bisa kabur meskipun ingin, tidak bisa menjauh meskipun dia mati-matian mau melupakan pesan tadi pagi yang dia baca, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi selain bertahan, bertahan di tali kewarasan yang semakin menipis. akibat yang mereka dapatkan ketika menjadi orang dewasa.

jeonghan mengakui, kalau orang yang selalu jisoo cari ketika ada masalah adalah jun. sudah jeonghan duga kalau jisoo lebih memilih bersama jun atau sekedar bertelfonan dengan jun dibanding dengan dirinya. alasannya sudah jelas, kalau jun selalu menghadapi jisoo dengan sabar, memberikan saran dengan kata-kata yang tidak menyakiti jisoo, sangat berkebalikan dengan jeonghan yang selalu blak-blakan, membicarakan apapun yang ada dikepalanya tidak perduli itu menyakitkan atau tidak, selama nanti akhirnya jisoo akan tersadar dengan kata-katanya.

malam tiga agustus, di luar sedang hujan. setelah jeonghan memutuskan untuk datang ke rumah seokmin, ia memastikan dulu kalau mingyu akan ikut. seokmin sebenarnya tidak akan melakukan hal-hal yang ekstrim kepada jeonghan, cuman jeonghan jadi risih ketika hanya berdua saja dengan seokmin, meskipun status mereka adalah teman.

mingyu keluar dari mobilnya yang ia parkirkan di samping mobil jeonghan. di sana ada jeonghan yang sedang berdiri sambil menatapnya sinis.

“lama banget sih lo, habis kemana dulu?”

“rumah gue mayan jauh kali per, lo lagian kenapa kagak masuk?”

“dibilang gak mau kalau sendirian”

mingyu tertawa, lalu mengajak jeonghan untuk masuk ke dalam rumah seokmin. hal pertama yang mereka lihat ketika mereka masuk ke ruang tamu rumah seokmin adalah banyaknya minuman di atas meja yang sudah seokmin sediakan.

“mau pesta minum apa mau ngajak gue mati sih ini?” celetuk jeonghan

“duduk lur” jawab seokmin tanpa membalas ocehan jeonghan.

mingyu dan jeonghan duduk di sofa, sedari tadi seokmin sudah duduk dengan lemas, males-malesan. tadi jeonghan menyeret mingyu untuk duduk diantara dirinya dan seokmin. tiga orang ini, sedang menghadapi permasalahan yang sama, tentang hati mereka meskipun kadarnya mungkin berbeda-beda.

mingyu mengambil satu botol, membukanya dan memberikan botol minuman itu kepada seokmin. ia melakukan hal yang sama tapi botol kali ini untuk dirinya sendiri.

“jangan mabok banget ya lo berdua, gue males ngurusnya” jeonghan yang belum meminum satu teguk pun langsung tidak minat ketika melihat seokmin yang langsung menghabiskan setengah botol dengan cepat dan jeonghan tau kalau seokmin ini cepat mabuk.

mingyu menyimpan botolnya yang sudah hampir habis, memperhatikan seokmin yang mulai bertingkah aneh.

“dih segitu doang mabok anjir ni orang”

“yaudah biarin, wajar aja sih dia mau mabok soalnya ngerasa kehilangan jisoo kan?”

“dia yang ngajak putus dia yang kelimpungan, orang aneh” mingyu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya

“lo tau gak sih, si seokmin ini sama jisoo selalu dimaafin kalau ngelakuin kesalahan, jadi kaya udah mikir ‘ah jisoo gak bakal ninggalin gue meskipun gue aneh-aneh juga’ itu terjadi selama sepuluh tahun mereka pacaran makanya pas jisoo ngeiyain ajakan putus baru kerasa kali sama dia, ditinggalin sama jisoo gimana”

“bisa balikan lagi gak tuh mereka?”

“mana gue tau” jawab jeonghan

“oy lo mau balikan lagi gak sama mantan lo?” tanya mingyu kepada seokmin, yang tentu saja tidak dibalas, karena setelah sibuk mengoceh seokmin terdiam, menatap langit-langit rumahnya.

“sedih ke bandung gak jadi, mau ke bandung”

“ya gagal lah anjir, lo putus sama pacar lo, gue ditinggalin sama gebetan gue, gak tau nih si caper apa kabar lo sama gebetan lo?”

“apa sih lo ming, ngatain gue caper mulu”

“ah lo berdua berisik anjir, gue mau tidur aja lah pusing pala gue. bawa gue ke kasur cepet” kata seokmin, ia merentangkan tangannya meminta seseorang untuk menggendongnya.

“sana han, gendong tuh lo kan kuat”

“lo aja gue males, capek”

dan perkataan jeonghan seperti perintah yang tidak bisa mingyu bantah, mingyu membawa seokmin menuju kamar, menggendongnya dengan males-malesan. sedangkan jeonghan hanya tertawa melihat penderitaan mingyu.

“terus sekarang kita mau ngapain?” tanya mingyu ketika dia sudah kembali duduk di samping jeonghan.

“gila aja belum ada tiga puluh menit udah tepar tu orang” lanjutnya.

“mau balik?” tanya jeonghan

“hujan anjir han, males banget gue baru nyampe juga”

“lo tuh umur berapa sih? manggil gue han doang”

“lo seumuran bang dud kan? lebih muda gue sih”

“sama jihoon juga lebih mudan lo?”

“dia umur berapa emang?”

“28 kalau gak salah, pokonya beda dua tahun dari gue”

“oh iya berarti gue masih lebih muda”

“emang anak jaman sekarang tuh akhlaknya nihil”

“pantesan ditinggalin sama gebetan aja sedih, kaya yang gak bisa nyari lagi” lanjut jeonghan.

“ya sedih aja anjir serasa dicampakan, emang lo gak sedih dicampakan gebetan lo?”

“biasa aja, kalau dia gak mau yaudah gak usah dibawa ribet. nanti juga gue yakin bakal nemu yang mau sama gue tanpa guenya yang ngejar-ngejar dia”

“widih, emang pemikiran orang tua beda ya”

“ih anjing kim mingyu”

“hahaha kasar anjing”

“alasannya kenapa katanya?”

“dia tuh suka sama si bang dud, tadi juga dia bilang mau ngeluarin uneg-uneg ke jihoon nah gue gak tau deh apaan. tapi katanya sih gak akan ganguin hubungan mereka”

“lah sumpah? ini si seungcheol juga kan sukanya sama jihoon”

“hahaha ngakak aja apa kita han?”

“ini dari tadi juga udah ngakak mulu lo kim mingyu”

“ngakak karena miris bangsat banget dah hidup gue”

“tapi itu yakin gak bakal bikin jihoon sedih kan?” tanya jeonghan.

“ya mana gue tau, gue di block”

“semoga dia gak aneh-aneh deh”

“kayanya sih ya, dia bukan tipe yang aneh-aneh dan bakal gangguin hubungan orang. dia mutusin kontak dari gue dan ngejauh dari gue juga mungkin banyak alasannya. iya gak sih? kek gak mungkin aja orang tiba-tiba memutuskan buat ngejauh padahal kita udah sempet jalan”

“mungkin lo tidak memenuhi standar buat jadi pacar dia”

“emang iya”

jeonghan terbahak-bahak, kalau sama mingyu memang paling asik ketika menertawakan masalah yang sedang mereka hadapi.

“ngakak banget gue gak kuat kim mingyu”

“sini gue ajak lo kekaca yang gede tuh, ngaco ayo anjir ngaca”

saat itu juga mingyu benar-benar mengajak jeonghan untuk berdiri didepan kaca yang ada di kamar seokmin.

“nih ngaca”

“anjing ih lo beneran nyeret gue”

mereka terus tertawa, menertawakan lelucon yang mereka berdua ciptakan sendiri. lalu ada jeda beberapa lama, ketika mereka berdua terdiam. mingyu yang memperhatikan jeonghan dari cermin begitupun dengan jeonghan yang memperhatikan mingyu dari cermin.

“gini deh, jangan terlalu dipusingin. mereka yang gak mau sama kita itu karena mereka gak bisa ngeliat sisi terbaik dari kita ming. bahkan setelah kita berusaha sebaik mungkin pun didepan mereka, mereka tetep gak bisa ngeliat itu. kalau menurut gue yaudah lah, hidup lo masih panjang, kalau jodoh ya nanti ketemu lagi, kalau enggak nanti juga bakal ada orang yang bisa ngeliat sisi baik dan sempurnanya lo. lo masih muda, percaya deh sama gue masih banyak yang bisa lo lakuin selain cinta-cintaan ini”

“beuh dapet nasehat nih gue?”

“gue beneran mingyu”

“haha iya han, makasih ya”

mereka kembali ke ruang tamu, duduk di sofa tadi. mingyu jadi banyak bercerita kepada jeonghan, dari mulai rencana dia untuk kuliah ke luar negri karena mingyu males untuk bekerja. lalu mingyu dengan tidak tahu dirinya meminta jeonghan untuk membantu dia dalam proses daftar, mencari rumah atau apartemen, yang entah negri mana yang akan mingyu tuju. malam itu mereka habiskan dengan rencana kasar yang mingyu buat.

“han?”

“ha?”

“kalau kuliah gue udah selesai dan gue balik ke sini lagi”

“belum juga daftar anjir udah mikirin lulus aja”

“dengerin dulu napa”

“yaudah iya apa?”

“kalau nanti tiga tahun apa dua tahun sih s2? pokoknya kalau gue balik lagi dan lo masih sendiri, kita jaidan aja apa han?”

“maaf ming, gue tahun depan juga bakal nikah, kalau nungguin lo balik gue keburu tua anjir, ditambah gue gak tau otak lo itu encer apa kagak, kalau lo bodoh kuliah lo bisa lama”

“hahaha anjir lah han”

hubungan seperti apa sih yang sedang dialami oleh jisoo dan seokmin. mereka pada dasarnya takut kehilangan, bukan karena hati dan kasih sayangnya yang masih enggan untuk membiarkan mereka berpisah tapi karena bingung tentang presensi. kalau mereka pisah, apakah akan ada yang sesabar jisoo atau apakah akan ada yang bisa menahan keras kepalanya jisoo seperti seokmin?

setiap hari selama sepuluh tahun selalu ada jisoo di hari-hari seokmin, begitupun sebaliknya. rela tidak ya, waktu sudah terlalu lama mereka habiskan sebagai sepasang kekasih. hubungan yang tidak ada kemajuan, diam ditempat seolah-olah satu diantara mereka ada yang memaksa memegang kencang satu tangan dan ragu untuk melangkahkan hubungannya.

hari terus berlalu, tapi pandangan mereka tentang hal-hal kecil semakin berbeda. semakin banyak hal yang mereka bicarakan tapi tidak ada yang mau mengerti dan berujung dengan ketidakcocokan.

malam ketika seokmin membalas pesan jisoo, terpikir olehnya kalau selama ini ia selalu memiliki pemikiran yang positif tentang hubungannya, tapi ternyata dia hanya memaksakan. jisoo yang sayang dengan lamanya waktu bersama mereka, jisoo yang merasa kalau kekasihnya akan berubah, ia selalu memberikan kesempatan kedua tapi kekasihnya sampai sekarang tidak berubah.

dan malam itu, ketika seokmin memutuskan untuk membalas pesan jisoo, terpikir oleh seokmin kalau dirinya merasa sudah lelah, dengan kepura-puraannya selalu bersikap baik di depan jisoo, yang di depan jisoo ia selalu cengengesan. dia, seokmin. selalu tertekan dengan tuntutan jisoo dengan pemikiran jisoo yang kadang tidak sesuai dengan pikirannya sendiri. seokmin yang takut kehilangan jisoo karena ia sudah terbiasa dengan presensi jisoo dan seokmin akui kalau jisoo sangat sabar ketika menghadapi dirinya. tapi malam itu dia lelah, tiga agustus mungkin tanggal yang tepat untuk seokmin mengutarakan perasaannya.


setelah setuju dengan apa yang tadi seokmin katakan, saat ini jisoo sedang menunggu jawaban.

tidak selama ia menunggu balasan pesan, malam ini seokmin menjawab panggilan telfon dari jisoo dengan cepat. tentu saja karena itu merupakan usulan dari dirinya.

“hallo”

“hallo”

“susah banget sih dihubungin”

“maaf, udah jangan marah-marah karena gak dibales, nanti malah ngebahas kemana-mana”

terdengar jisoo menghembuskan nafas kasar, menahan rasa kesalnya karena pesannya sudah diabaikan selama ini. tapi kata seokmin benar, kalau mereka sudah punya tujuan dalam perbincangan via telfon kali ini.

“ya tapi aku kesel, kamu coba itung sendiri berapa lama diemin aku tanpa kepastian?”

“nah sekarang aku kasih kepastian”

“gimana?”

“jujur, selama diemin kamu. aku tuh banyak mikir. dengerin ocehan si juned sama si mingyu di group, saran dari si duda juga aku dengerin, aku pikirin”

selama ini seokmin membaca dengan baik-baik saran dari teman-temannya, bahkan ketika ia dan juned sedikit bersitegang, malamnya seokmin tetap baca ulang. selama berhari-hari ia meresapi setiap kata dari teman-temannya, disambungkan dengan perasaannya sampai ia memiliki keputusan yang sedang ia lakukan saat ini.

“terus jadinya gimana?”

“nah, kamu selama aku diemin mikir juga gak?merenung juga gak? atau malah masih asik ngerecokin urusan orang lain?”

“dibilang udah enggak”

“ya syukur deh kalau udah engga”

“lagian, aku ngedeketin jihoon sama seungcheol kan awalnya gara gara kamu, biar kalau jihoon punya pacar kamu gak genit ke dia lagi”

“duh ke aku lagi, ke aku lagi”

“emang”

kalau ditanya, permasalah mereka ini munculnya dari mana. banyak. pada awalnya mereka selalu mengabaikan hal-hal kecil, mengabaikan bagaimana sikap seokmin terhadap orang lain, mengabaikan jisoo yang terus-terusan mengurusi percintaan orang lain. lupa dengan hubungan sendiri yang semakin melemah ikatannya.

“aku kemaren diem, terus sekarang udah ngerasa apa yang aku pikirin udah pakem udah fix, jadi mau ngomong sekarang aja”

“gak mau ketemu? mau ditelfon aja?”

“gak, disini aja”

lalu jisoo terdiam, dia tidak membalas ucapan seokmin. jisoo sudah punya firasat, sudah menebak-nebak hal apa yang akan seokmin katakan.

“aku capek”

“capek gimana?”

“jujur aku tuh sekarang capek. kaya capek banget ketika dikekang gak boleh ini gak boleh itu”

“emang ngekang gimana?”

“ya apa-apa yang aku anggap bercandaan itu kamu anggap seriusan”

“itu bukan ngekang namanya, tapi aku merasa memang itu bukan bercandaan”

“nah, gitu. ngerasa gak sih kita kaya udah gak nyambung”

mereka ini, tidak sadar kalau punya kesalahan masing-masing yang harus diperbaiki. fokusnya sudah keperasaan lelah, capek, ingin dimengerti tapi tidak mau mengerti.

“kamu ngerasanya kaya gitu?” tanya jisoo

“iya”

“jadi maunya gimana?”

“kita udahan aja, maaf jisoo”

“yakin?”

“jujur aku udah capek karena di kekang terus dan aku juga yakin kamu juga capek kan coba ngertiin aku terus?”

“iya”

hening, diantara mereka. saat itu seokmin juga sedikit kaget, hatinya mulai terasa ngilu ketika jisoo dengan mudah mengatakan iya.

“aku, menikmati waktu saat kita bareng-bareng. jujur, aku juga sempet mikir ‘sayang gak ya kalau harus pisah sama jisoo karena udah terlalu lama bareng, aku takut ngerasa kehilangan, aku takut kesepian kalau kamu ga ada, tapi ternyata kalau dipaksain bareng malah jadi kaya gini”

“kenapa ya, omongan kamu malah kaya omongan temen-temen aku yang bilang kalau aku mempertahankan kamu itu cuman karena sayang aja sudah lama sama kamu bukan karena sayang sama kamunya”

“oh iya?” tanya seokmin

“kalau kamu mau udahan yaudah”

“yaudah gimana?”

“mungkin kita udahan aja?”

“iya jisoo, kamu ke si juned habis ini?”

“enggak tau”

“ke si juned aja, curhatin. kalau sedih biar dia temenin”

“yaudah, aku udahan telfonan nya ya, makasih buat waktunya. buat semuanya. buat kasih sayangnya selama ini”

“iya, sama-sama. aku juga ya jisoo, makasih dan maaf juga kalau aku kemarin udah nyakitin kamu dan buat kamu gak nyaman”

dan telfon dimatikan. seokmin yang langsung merasa sepi, merasa kehilangan ketika ia sendiri yang mengajukan perpisahan.

dan jisoo yang entah kenapa malah merasa bebannya lebih ringan, pikirannya lebih tenang.

ada satu kalimat yang menipu soonyoung dan mereka yang tidak tahu. awalnya dimulai dengan kata kesepian. dilanjutkan dengan kisah tiga tahun setelah soonyoung dan jihoon berpisah untuk yang pertamakalinya. ketika jihoon mengatakan kalau pacarnya (tentunya bukan soonyoung) yang sudah menjalin hubungan dengannya dari tahun 2014 pun sudah tidak bersamanya lagi. ditambah dengan penjelasan kalau mereka berpisah setelah satu tahun kepergian soonyoung. — [loslaten phase 2 narasi pertama]

kebohongan itulah yang jihoon sampaikan kepada jisoo dan juga seokmin delapan tahun yang lalu. tapi dengan berjalannya waktu, jisoo mengetahui kebeneran yang selalu jihoon tutupi, kalau jihoon tidak pernah menjadikan soonyoung sebagai selingkuhannya, kalau jihoon tidak memiliki siapapun ketika dia setuju dengan ajakan soonyoung untuk menjadi pacarnya.

kembali ke masa lalu. setidaknya beberapa kenangan itu soonyoung putar kembali dalam memorinya. soonyoung ingat-ingat, bagaimana dulu cara jihoon memperlakukan dirinya.

mungkin sekitar lima menit, setelah dia berkelana ke masa lalu yang cukup menyenangkan (baginya), soonyoung tersentak, entah oleh rasa bersalah atau karena momen 'oh jadi gitu' karena telah menemukan sesuatu yang sebelumnya dia tidak tahu.

ketika dia berdiri, membuka pintu kamarnya dengan sedikit keraguan, berharap orang yang selalu ia panggil dengan sebutan bocil itu sudah pulang karena kalau belum soonyoung akan lebih merasa bersalah telah membiarkan dia menunggu kurang lebih satu jam lamanya. tapi di sisi lain, soonyoung lebih merasa bersalah lagi kalau sampai jihoon pulang sendirian, tengah malam sedang hujan pula.

jihoon masih ada di rumahnya, di sana. soonyoung bisa melihat kepalanya, dia masih duduk di sofa. sendirian.

“wisuda ka soonyoung bisa diundur gak ya? sehari aja”

soonyoung, berhenti melangkah ketika ia mengingat kembali isi pesan dari jisoo. selama ini, yang soonyoung tahu jihoon selalu mendukungnya untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsinya, selalu menyemangati soonyoung, memberikan selamat atas kelulusan kepada soonyoung dengan kata-kata yang bijak dan soonyoung simpulkan kalau jihoon cukup kuat untuk menghadapi perpisahan mereka delapan tahun yang lalu.

seandainya soonyoung tahu, kalau setiap malam mendekati hari wisudanya, jihoon merasa putus asa. semuanya terasa terenggut seutuhnya bahkan dengan segala persiapan yang sudah jihoon lakukan, dia masih ingin memperpanjang waktu meskipun satu hari saja untuk bisa bersama soonyoung.

disela-sela pikirannya yang masih memproses informasi baru dari jisoo, soonyoung perlahan melangkah lagi, mendekat kepada jihoon yang mungkin tidak sadar dengan pergerakan soonyoung dibelakang.

hal yang pertama soonyoung lihat adalah layar handphone jihoon yang menunjukan kalau pencarian driver gagal. lalu, soonyoung sadar kalau jihoon yang sedang duduk di ruang tengah pada jam satu malam sendirian dengan AC menyala dan keadaan di luar yang masih hujan membuat jihoon terus menggerakan kakinya karena kedinginan.

“cil” panggilnya dan jihon melihat ke arah soonyoung.

jihoon tidak berbicara, dia hanya menatap soonyoung lalu beralih mengotak-ngatik handphonenya lagi.

“gak ada yang ambil, mungkin karena hujan dan udah malem. aku ikut di sini dulu sampai jam 5, mungkin nanti ada yang ambil” jihoon berbicara dengan lancar, seperti biasa. tipikal seorang lee jihoon yang selalu terlihat kuat. meskipun, malam ini dia sudah tidak se-kuat delapan tahun lalu karena ketika dia berbicara ada tangan yang mengusap air matanya sendiri.

“cil. sumpah. maaf” soonyoung duduk di lantai, melepaskan handphone dari tangan jihoon dan ia genggam tangan jihoon sebagai gantinya.

“aku juga minta maaf” jihoon menatap soonyoung.

“karena, aku takut kamu tinggalin lagi. sampai tadi aku juga gak sadar udah bawa-bawa cici, padahal cici selalu dukung hubungan kita. gak tau aku cuman —”

soonyoung duduk di sampingnya dan memeluk jihoon, yang sedang dipeluk tidak melanjutkan perkatannya. merasakan rasa bersalah dari soonyoung membuat jihoon juga ikut berpikir tentang apa yang telah ia katakan tadi.

“maaf cil”

hanya kata itu yang dapat soonyoung ucapkan ketika ia memeluk jihoon, mengelus pelan kepalanya. saling menenangkan satu sama lain, karena mereka tahu bahwa satu jam yang lalu mereka sedang emosi, egonya sudah siap menghancurkan setiap harapan yang mereka bangun.

setelah soonyoung sudah merasa dirinya cukup tenang. ia mengajak jihoon untuk tidur di kamarnya. selama berjalan ke kamar, soonyoung tidak mau melepaskan tangan jihoon.

“tidur” katanya mempersilahkan jihoon berbaring.

ini tidak sedingin di ruang tengah, duduk di sofa, sendirian.

lalu mereka sudah berbaring di atas kasur, masih saling menggenggam. banyak hal yang ingin disampaikan, banyak hal yang ingin mereka luruskan.

“gue, terlalu cemburuan. gue minta maaf cil, bisa-bisanya gue malah ninggalin lo pas tengah malem dalam keadaan ujan. gue terlalu kebawa sama omongan seungcheol”

“aku percaya sama kamu ko ka, seratus persen, seutuhnya. tadi aku juga malah ikut-ikutan panasin kamu, bawa-bawa cici sama lala, aku juga salah. aku cuman—”

“takut ditinggalin gue lagi?” tanya soonyoung

dan jihoon mengangguk, mengiyakan apa yang soonyoung pertanyakan.

“gue juga sama cil, makanya gue kesel banget sama si seungcheol, please kalau ada apa-apa cerita ke gue jangan ke si seungcheol, kalau dia tanya-tanya lagi tentang hubungan kita jangan dijawab aja. gue kesel banget sumpah sama tu orang”

“okey”

“nanti ngomong apa lagi yang lo gak suka, pelan-pelan. biar gue juga usahain ngikutin maunya lo”

“okey, aku sebenernya ngerti sih sama hubungan baik kamu dan cici, tapi tadi gak tau, aku juga jadi aneh sendiri”

“gak papa, berantem pertama kita”

“iya”

bahkan setelah mereka meminta maaf pun, jihoon dan soonyoung masih merasa tidak tenang. semuanya sudah saling mengerti, tapi ketakutan mereka masih ada.

semakin dewasa bukannya semakin mudah menjalani kehidupan percintaan, bagi mereka malah semakin rumit. terlalu banyak 'orang lain' yang ikut serta sebagai bahan pertimbangan dan mereka semua orang yang cukup penting, mereka memiliki peranan yang kuat dalam kehidupan masing-masing. karena kehidupan soonyoung dan jihoon sudah pernah berjalan secara masing-masing dalam jangka waktu yang lama.

“lo suka banget ya cil sama gue?”

“iya, emang bodoh si jihoon ini”

“gue juga suka banget sama lo, beneran dah, makasih ya cil dan maaf kalau gue cuman bisanya kaya gini doang”

jihoon bahkan selalu menganggap kalau soonyoung sudah lebih, lebih dari cukup dari apa yang dia inginkan untuk ada dihidupnya. untuk menjadi orang yang akan selalu jihoon nanti-nanti untuk menghabiskan setiap ulang tahunya.

dan kalau kata soonyoung, jihoon itu orang yang akan selalu dia inginkan untuk ada menamaninya ketika natal, ketika ia berdo'a dan ketika ia menjemput lala dari sekolah.

impian mereka tentang satu sama lain, hanya ingin ditemani dan menemani.

jakarta sedang hujan. tadi sempat memesan taxi dari aplikasi tapi prosesnya lama karena susah untuk mendapatkan driver, ada faktor hujan dan sekarang sudah menunjukan jam delapan malam.

cici beberapa kali menanyakan posisi aku sudah sampai mana, nyatanya aku masih menunggu taxi di depan apartemen. selama setengah jam aku menunggu, ada rasa ragu untuk datang ke rumah ka soonyoung. entahlah, mungkin karena ini pertama kalinya akan bertemu dengan cici atau mungkin ini pertama kali juga aku akan melihat interaksi antara cici, ka soonyoung dan lala.

bahkan, ketika aku sudah berada di dalam mobil, perasaan ragu ini semakin terasa. kalau diingat lagi, aku bukan tipe orang yang gampang berbaur. perasaan ini semakin kelabakaan tapi sudah setengah jalan.

meskipun sebegitu ragunya, mobil ini sudah sampai di depan rumah ka soonyoung. tidak diberikan jeda untuk berpikir, aku langsung keluar dari mobil karena ada ka soonyoung yang sudah menunggu sambil membawa payung.

dia mendekat, mengajak aku ke dalam rumah. tapi terlihat dari raut wajahnya, ka soonyoung masih kesal. isi pikiranku penuh dengan kata-kata “maklumin, dia lagi salah paham, nanti kalau sudah dijelaskan dia akan mengerti dan kembali bersikap seperti biasa lagi”.

masuk ke dalam rumah, bergantian dengan suara hujan aku bisa mendengar dengan jelas suara tertawa lala, aku ikut tersenyum ketika mendengar suara yang menggemaskan itu. lalu, ketika aku sudah sampai di ruang tamu, aku bisa melihat ada lala dan cici yang sedang duduk di sofa, sambil bercanda dan saling memeluk satu sama lain.

“kakak ciiiil” sambut lala, ketika ia meliat aku yang baru saja datang.

“hai jihoon, seneng deh bisa ketemu” kata cici, ini dia mantan ka soonyoung, ternyata parasnya cantik sekali, anggun dan senyumnya manis, matanya persis seperti lala, mereka sangat mirip.

ka soonyoung menghampiri lala, ia duduk di samping cici.

“lala, suka main baleng ka cil tau mi hehe”

“iya ya, kakak baik ya sama lala?”

“baik lala suka kalau main lama sama ka cil hehe”

lala, terimakasih sudah menyanjung dan sedikit mengurangi kecanggungan diantara orang dewasa ini. meskipun setelah itu aku hanya bisa tertawa sebentar lalu diam lagi.

dalam waktu bersamaan, pemandangan yang jelas terpampang dihadapanku membuat hati terasa hangat tapi sedikit terasa ngilu. karena tanpa harus dibayangkan pun, semua orang akan tahu perasaan seperti apa ketika menghadapi suasana dimana dengan jelas aku bisa menyaksikan bagaimana cara ka soonyoung berbicara dengan cici, bagaimana tangan cici dengan spontan mengelus rambut lala begitupun dengan ka soonyoung, bagaiamana mereka bertiga asik berbicara dan bertukar cerita tentang hal yang tidak aku mengerti.

moment yang aku punya menjadi terasa seperti sebuah kehaluan, ketika di sofa yang baru beberapa malam yang lalu aku duduki dengan lala dipangkuanku dan ka soonyoung yang memperhatikan kami. sekarang sudah tidak begitu lagi, karena ka soonyoung, cici dan lala duduk di satu sofa yang sama, sedangkan aku di sofa yang berbeda.

jadi penasaran, tentang perlakuan. bagaimana kalau saat ini aku dan ka soonyoung sedang dalam keadaan baik-baik saja, apakah perlakuannya kepadaku ketika ada cici akan berbeda?

waktu terus berjalan, suara hujan dan canda tawa mereka masih terdengar, tapi aku semakin merasa sendirian.

ka soonyoung tidak berbicara lagi denganku, cici pun sama. karena cici sedang fokus dengan lala, mereka berdua sedang menumpahkan rasa rindunya. jadi aku tidak bisa protes ketika cici tadi hanya sekedar menyapa seadanya.

outsider, mereka seolah-olah menjadikan kata itu yang bisa mendeskripsikan bagaimana keadaan aku saat ini, meskipun mereka tidak bermaksud tapi hanya kata itu yang bisa menjelaskan.

“udah jam setengah sepuluh, lala tidur yu sama mami”

tidak terasa sudah hampir satu jam, aku menjadi pemerhati aktifitas mereka bertiga.

“jihoon, maaf ya, aku yakin kamu ngerti. sekarang kalian boleh ngobrol berdua, aku sama lala mau tidur duluan”

dan ya, cici peka dengan keadaan, cici juga mungkin paham kenapa sedari tadi ka soonyoung begitu diam. mereka sudah hidup bersama selama delapan tahun, tidak mungkin cici tidak memahami gerak gerik dari mantan suaminya itu.

“jadi mau bicara sekarang?”

“yaudah apaan?”

“okey, maaf kalau aku kelihatannya malah curhat ke mas seungcheol dan ngomongin kamu. tapi yang tadi dia kirim itu kalimatnya gak diselesaikan. seolah-olah aku gak nganggep kamu, padahal aku bilang kalau kamu itu lebih dari sekedar teman atau pacar buat aku. terus kalau di baca lagi seolah-olah aku curhat sama dia, enggak ka, aku cuman jawab pertanyaan dia”

dia diam, aku menjelaskan tidak melihat ke arah matanya karena sedari tadi ka soonyoung hanya menunduk.

“lihat aku dulu, jangan nunduk terus”

“jujur, gue males cil ngomongin ini sumpah”

“ya terus kamu mau salah paham aja gitu sama aku tanpa mau dengerin penjelasan?”

“ya lo udah cerita juga sama si seungcheol cil”

“kalau aku cerita sama dia emang kenapa ka? kan aku udah bilang kalau aku cuman menjawab pertanyaan dari dia”

“tapi dia tau apa yang gue gak tau cil dan gue gak suka”

sorot matanya, masih menunjukan kalau ka soonyoung sedang susah untuk diajak bicara, delapan tahun yang lalu dia memang selalu seperti ini ketika merasa cemburu, sudah janji tidak akan emosi juga tetap saja sifatnya yang lama susah untuk dihilangkan.

tapi ketika ada jeda, ketika tidak ada yang berbicara, sorot matanya melemah, terlihat kelelahan. hari ini mungkin menjadi hari yang melelahkan untuknya, meladeni mas seungcheol, pikiran yang terus-terusan negatif dan menjemput cici, energinya sudah terkuras habis bahkan sebelum kita mulai berdiskusi.

“terus lo gak percaya sama gue itu gimana?”

“udah aku bilang ka, semua yang mas seungcheol katakan itu dia potong-potong”

dalam keadaan seperti ini, setelah kerja seharian, tadi perasaan sempat ragu, bahkan menjadi outsider. akupun merasa sudah lelah.

“lo tau gak sih yang bikin gue kesel banget, ya itu, lo main cerita-cerita aja ke si seungcheol. padahal lo tau dia suka sama lo, kalau dia nangkepnya lo ngasih sinyal buat dia maju gimana?”

“ka, aku tau kamu lagi capek hari ini, akupun sama. bisa gak jangan emosi? dipikir dulu apa yang tadi aku bilang”

“gue bingung deh cil sama lo, kemaren lo bilang sama gue jangan insecure terus tiba-tiba lo bikin gue insecure dengan bilang ke atasan lo kalau lo gak percaya sama gue”

“ka, enggak kaya gitu— “

“ya terus gimana?”

jujur, ini sangat melelahkan. dia yang semakin ngotot dan aku juga semakin kehabisan kata-kata dan energi untuk sekedar memberikan penjelasan.

kalau bisa mengulang waktu, mungkin lebih baik tadi tidak usah jadi datang ke rumah ka soonyoung. cukup diam di kamar apartemen, bertanya-tanya apa yang sedang ka soonyoung, lala dan juga cici lakukan.

“aku bilang, kalau aku gak percaya sama semesta yang selalu memperlakukan aku dan hubunganku dengan kamu secara tidak baik, tapi aku sadar, ternyata memang benar kalau aku juga belum bisa percaya sama kamu seratus persen. bagaimana aku bisa percaya sama kamu? ketika kamu malah membawa mantan istri ke rumah? padahal kamu sudah punya aku? terdengar egois kah?”

“terus gue harus biarin cici nginep di hotel dan bawa lala gitu? padahal dia bisa aja kangen-kangenan sama lala di rumah biar lebih leluasa”

“iya, mungkin baiknya seperti itu”

“kalau kaya gitu, lo beneran egois lee jihoon”

“gimana aku bisa percaya, ketika kamu sama cici sudah punya lala dan kalian pernah melakukan 'itu' terus sekarang kalian satu rumah”

“jihoon, kalau cici denger gimana? dia bisa sakit hati denger perkataan lo”

“jadi apa yang membuat kamu lebih menghawatirkan perasaan cici yang jelas-jelas perkataan aku aja gak akan kedengeran karena kamar tamu jauh dari sini ketimbang aku yang bisa mendengar kamu secara jelas?”

“kita lagi ngomongin seungcheol, kenapa tiba-tiba ke cici?”

“karena kamu ngomongin tentang yang kamu gak suka, aku juga lagi ngomongin apa yang aku tidak suka”

“lo gak suka liat lala seneng karena ketemu sama maminya apa gimana?”

“jangan ngebalik-balikin suatu makna ka, bukan kaya gitu. kamu ngerasa gak? tadi kamu, cici dan lala sudah menjadikan aku sebagai orang luar yang kehadirannya sedang tidak diharapkan. aku tau, kalian gak bermaksud”

“lala lagi seneng ketemu sama maminya, terus gue harus apa? maksa dia buat tetep main sama lo? atau ngusir mereka suruh ke hotel?”

dan itu terlalu kasar, mungkin aku yang mengawalinya dengan perkataan yang salah atau mungkin karena dia sudah terlanjur emosi dan tidak menerima penjelasan apapun.

tidak ingin berdebat terlalu jauh, aku memutuskan untuk diam. suara hujan masih terdengar, dan sudut pandang mataku menangkap kalau ka soonyoung sudah berdiri. dia pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. meninggalkan aku sendirian di ruang tamu yang luas.

sepertinya sudah tidak ada yang bisa aku lakukan, cukup untuk hari ini. mungkin besok aku bisa berbicara lagi dengan kepala yang lebih dingin dan hati yang lebih tenang.

hujan lebat masih belum berhenti dan sekarang sudah hampir jam sebelas malam. dalam pikiranku, aku harus pulang sekarang juga. tapi sudah lebih dari empat puluh menit dan waktu sudah menunjukan jam sebelas tiga puluh, hampir jam dua belas malam dan aku masih belum mendapatkan driver.

aku sempat membenci semesta— dan aku tidak mau merasakan hal seperti itu lagi.

kalau dulu, soonyoung selalu menjadi orang yang paling berisik ketika mereka berkumpul, selalu menjadi orang yang— kalau kata jihoon sih mulutnya cuman bisa diam kalau dia sedang makan.

sangat berbeda dengan soonyoung yang sekarang sedang berada di sampingnya, memangku lala dengan style baju kantoran karena soonyoung baru saja pulang. siapa sangka, soonyoung akan berubah menjadi sosok orang tua yang berwibawa ketika di depan anaknya.

“tadi habis main apa aja sama ka cil?” tanya nya kepada lala, jihoon hanya tersenyum, memperhatikan anak dan bapak ini bisa menjadi hobi barunya.

“habis mandi, telus tadi habis celita banyak. tadi lala udah nanyain bintang-bintang lagi” soonyoung mengusap kepala lala

“pinter anak papi” katanya

soonyoung tidak berbohong ketika dia mengatakan kalau dirinya tidak bisa berhenti tersenyum karena membayangkan jihoon yang sedang menunggunya di rumah bersama lala, tadi jihoon sendiri bisa menilai secara langsung ketika soonyoung turun dari mobil senyuman itu masih ada dan senyuman itu disebabkan oleh jihoon yang dimana membuat jihoon juga ikut tersenyum lebar ketika soonyoung menghampirinya dan diam-diam tanpa sepengatahuan lala dia mencium kening jihoon cepat-cepat.

“mau makan malam sekarang ka?” tanya jihoon

“mau mandi dulu cil, boleh gak?”

“yaudah sana mandi, sini lala sama kaka lagi papinya bau itu belum mandi”

“ciee papi” ledek soonyoung kepada jihoon

“iiih papi bau, sana mandi” lala beralih dari pangkuan soonyoung ke pangkuan jihoon sambil mendorong-dorong soonyoung supaya papinya itu cepat pergi ke kamar mandi. lagi dan lagi jihoon hanya bisa tersenyum melihat keakraban antara lala dan soonyoung.

lalu, kalau jihoon dan lala sudah berduaan mereka akan banyak membahas tentang hal-hal yang ingin lala tahu, jihoon sama sekali tidak keberatan ketika ia harus menceritakan dan menjelaskan banyak hal kepada lala, jika itu merupakan salah satu keahliannya yang lala suka, dengan senang hati jihoon akan selalu menjawab setiap pertanyaan dari lala.

tidak lama, soonyoung yang sudah selesai membersihkan diri kembali menghampiri lala dan jihoon dengan rambutnya yang masih basah dan juga handuk yang sudah basah menggantung di lehernya.

“kamu ngapain bawa handuk bekas lap badan kamu?”

“ngeringin rambut gue cil, buat apa lagi emang?”

“ganti pakai handuk yang kering ka, kalau pakai yang itu gimana mau kering rambut kamu, orang handuknya aja udah basah”

lagi, soonyoung dibuat tersenyum oleh jihoon, tapi barusan soonyoung sedikit was-was takut kalau jihoonnya marah, karena seharian ini sepertinya jihoon sedikit emosian, makanya soonyoung langsung pergi ke kamarnya mencari handuk yang masih kering.

untuk yang kedua kalinya soonyoung menghampiri jihoon dan juga lala. kali ini tidak ada lagi hal yang jihoon protes, soonyoung bahkan menghebuskan nafas panjang saking leganya ketika jihoon mengajak mereka bertiga untuk makan malam.

“papi gak suka banyaaak makanan, gak suka ini, gak suka itu, semuanya papi pilih-pilih, kalau sama mami, papi selalu dimalahin” lala mengomel ketika soonyoung memilah-milah makanan yang akan dia makan. ini yang anak yang mana sih, pikir jihoon.

malam itu, soonyoung benar-benar menikmati makan malamnya. terlepas dari panasnya group chat yang tadi siang sempat membuat kepalanya pening, sekarang soonyoung malah dibuat senyum terus menerus dengan hanya melihat interaksi antara lala dan jihoon.

lala yang suka bercerita tentang banyak hal dan jihoon yang selalu mendengarkan dengan antusias, di sini soonyoung sadar kalau terkadang ketika dia lelah, dia suka mengabaikan lala ketika bercerita dan hanya memberikan reaksi yang sepertinya tidak sesuai dengan reaksi yang ingin lala terima.

“okay, sekarang makannya dilanjut ya, nanti kalau sudah makan lala boleh cerita lagi”

“okey, kakak cil” katanya menurut

— setelah selesai makan malam, mereka kembali menuju ruang tamu. waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, sudah satu jam setelah mereka makan dan lala harusnya sudah tidur pulas di kamarnya. tapi seperti biasa, dikarenakan ada jihoon lala masih belum mengantuk, karena ia terlalu asik bermain dan berbagi cerita dengan jihoon.

“setengah jam lagi ya, habis ini tidur loh” kata soonyoung. lala sempat cemberut, tidak terima dengan perintah yang diberikan oleh papinya tersebut.

“ini bagus ka cil, lala suka” sedari tadi lala membuka buku yang dibawa oleh jihoon, tentang bintang kesukaan lala.

“sama dong, kaka juga suka sama yang ini”

“yeaay” lala semakin betah saja bermain dengan jihoon.

lalu apa yang dilakukan oleh soonyoung, ketika jihoon dan lala asik mengobrol atau bermain. tentunya soonyoung ada di sana juga, tapi dia hanya memperhatikan, ikut tertawa ketika lala dan jihoon tertawa, atau sekedar diam-diam menjahili jihoon, entah itu menjahili jihoon dengan cara membekap mulut jihoon ketika jihoon sedang bercerita kepada lala lalu di protes oleh anaknya sendiri.

“papi, jangan gitu” katanya

setelah itu jihoon memukul tangan soonyoung, tapi yang dipukul tangannya hanya tertawa tanpa dosa, atau ketika lala sedang fokus melihat buku, dan ketika jihoon menyenderkan badannya ke kursi, soonyoung diam-diam mencium kepala jihoon— posisinya adalah lala dan jihoon duduk di karpet dan soonyoung di kursi— yang lagi-lagi jihoon berikan pukulan.

— “aku pulang ya” kata jihoon, ketika ia keluar dari kamar lala.

“lala udah tidur?” tanya soonyoung

“udah ka”

“yaudah yuk”

jihoon mengambil tas, ia merapihkan bajunya dan bersiap untuk pulang.

“mau kemana cil?” tanya soonyoung

“pulang”

“dih, gak boleh”

“loh ka” jihoon hanya bisa terdiam ketika soonyoung malah melepaskan tasnya.

soonyoung menarik jihoon untuk masuk ke kamarnya, lalu soonyoung mengunci pintu kamar dan ia langsung berlari menuju kasur sambil cekikian.

“sini cil hahaha”

“aku gak bawa baju ganti loh ka” jihoon berjalan menghampiri soonyoung yang sudah rebahan di atas kasur. mendengar perkataan jihoon, soonyoung langsung mencari baju dan memberikannya kepada jihoon, setelah itu soonyoung mendorong jihoon ke kamar mandi.

ketika jihoon sudah mengganti bajunya, soonyoung memberikan sikat gigi yang baru saja ia ambil dari lemari, memberikannya kepada jihoon lalu tersenyum seakan-akan ini adalah kemenangannya. jihoon tidak bisa menolak lagi.

“dimana ini consent-nya” jihoon meletakan sikat gigi dan ia berjalan keluar dari kamar mandi.

“gue gak maksa sih cil, kalau mau pulang ayo deh gue anterin”

soonyoung yang tadinya sudah senang, siap untuk tidur dengan jihoon malah harus ditampar sama kata-kata jihoon barusan. percaya atau enggak, soonyoung bener-bener gak mau membuat jihoon gak nyaman, makanya setelah mendengarkan jihoon, ia langsung berjalan ke arah pintu dan membuka kunci pintunya.

“yu” katanya lagi dengan muka memelas.

jihoon rasanya mau langsung tertawa terbahak-bahak ketika ia melihat wajah soonyoung dari yang tadinya sumringah menjadi muram.

alih-alih berjalan ke arah pintu, jihoon malah duduk di kasur menarik selimut sampai menutup seluruh kakinya.

“sini ka hahaha nginep aja deh aku, orang udah pakai baju begini, udah bersih-bersih juga”

lalu soonyoung masih dengan raut mukanya yang suram menghampiri jihoon, ia ikut duduk di samping jihoon dan memeluknya.

“maaf ya cil” katanya pelan

“iya gak papa, nanti-nanti jangan main ambil keputusan sendiri, harus dengerin apa mau aku juga, okey?”

“okey”

jihoon sadar, soonyoung yang saat ini sedang memeluknya masih diam, cemberut dan tidak melakukan hal jahil apapun. kalau dugaan jihoon benar, ini pasti karena soonyoung sedang merasa tidak enak kepada jihoon.

“gak papa loh ka, kan aku bilang supaya kamu paham maunya aku kaya gimana, jangan malah kamunya jadi diem kaya gini”

soonyoung semakin mengeratkan pelukannya.

“iya cil, tapi jujur ya, apapun ya lo ucapin tuh kadang suka nyelekit gitu, kek sakit aja hati gue padahal gue tau maksud lo kemana”

“ko bisa gitu?”

“takut bikin lo gak nyaman”

“haha enggak ko ka, gak papa udah jangan cemberut”

sebetulnya, hal yang tadi soonyoung lakukan itu seperti soonyoung delapan tahun yang lalu. yang selalu 'semaunya' dia dan kadang tidak mendengarkan perkataan jihoon, tapi untungnya delapan tahun lalu pun ia melakukannya dalam hal-hal yang baik, yang memang pada dasarnya dia cuman mau sama jihoon dan selalu sama jihoon ketika ia melakukan apapun dan dimanapun.

jihoon dan soonyoung sudah berbaring, menarik selimut untuk menutupi badan hingga ke dada mereka.

“kemaren di bandung gak kenapa-kenapa kan cil?”

padahal pertanyaan itu sudah pernah soonyoung tanyakan kepada jihoon, hampir tiap malam ketika jihoon masih di bandung. jihoon juga paham 'kenapa-kenapa' di sini maknanya ke arah mana.

“aku, ngobrol panjang sama mas seungcheol”

“oh iya? kapan?” tanya soonyoung, ia memiringkan badannya shingga bisa melihat wajah jihoon dengan jelas

“waktu hari terakhir, setelah aku ngirim kamu foto cuanki” jelas jihoon, dia juga memiringkan badannya supaya bisa melihat ekspresi soonyoung, karena jujur jihoon saat ini lebih penasaran dengan reaksi apa yang akan soonyoung berikan.

“oh” katanya, dan itu tidak sesuai dengan reaksi yang jihoon harapkan

“terus?” tanya soonyoung lagi, jihoon lega karena soonyoung ternyata penasaran.

“aku ngejelasin ke dia kalau aku gak bisa sama dia, terus ngobrolin tentang pekerjaan sedikit, sisanya ya dia aja yang banyak tanya ini itu tentang kamu, tentang ka jeonghan”

“oh gitu? gak aneh-aneh kan?”

“enggak ko, kalau aneh-aneh, aku pasti udah telefon kamu waktu itu”

“terus reaksinya gimana? waktu lo nyeritain tentang gue?”

“ya keliatan sebel, sedikit kesel juga kali ya soalnya aku nyeritain tentang gimana aku nunggu kamu, terus dia bilang ke aku kalau aku ini bodoh”

“lah si anjing bisa-bisanya ngataian lo bodoh”

soonyoung sudah mau bangun, mungkin dia mau mengambil handphone-nya tapi sama jihoon ditahan. tangannya jihoon pegang, sehingga soonyoung kembali ke posisi awalnya.

“jangan emosi, aku gak papa ko”

“ya tapi dia ngatain lo bodoh cil”

“yaudah jangan didengerin, gak papa aku tau maksudnya dia gimana ko”

“jadi lo ngerasa bodoh udah nungguin gue?”

jihoon tersenyum, ia memegang kedua pipi soonyoung mengelusnya dengan lembut secara perlahan.

“kadang, haha karena, kamu bayangin aja delapan tahun nunguin orang yang gak jelas mau balik lagi atau enggak, nungguin orang yang statusnya itu aku udah tau kalau dia udah jadi suami orang, apa itu namanya kalau bukan orang bodoh?”

“cil”

lagi, raut wajah soonyoung yang sekarang menunjukan kalau dia merasa bersalah.

“gak papa ka, kan sekarang kamu udah sama aku”

dan jihoon dengan kata-katanya yang selalu bisa mengembalikan keresahan hati soonyoung menjadi tenang lagi, meskipun soonyoung dan hatinya masih terus berbicara tentang banyaknya ketakutan.

“mau cium” katanya

entah berapa lama jihoon mengabaikan kata-kata soonyoung, ia hanya menangkup kedua pipi soonyoung sambil menatapi bibir yang lebih tua.

“cium gue cepetan cil”

dan jihoon hanya tertawa ketika soonyoung yang sudah tidak sabar ingin dicium. sedangkan jihoon masih ingin memperhatikan setiap inci muka orang yang sedang ia pegang ini.

“sabar” katanya

tapi soonyoung dengan jahilnya malah memajukan kepalanya supaya lebih dekat dengan jihoon. lagi dan lagi jihoon tertawa oleh sikap soonyoung.

jihoon dapat merasakan nafas soonyoung di permukaan kulit mukanya, tapi masih belum juga dia cium bibir soonyoung yang sudah sangat dekat dengan bibirnya itu.

beralih dari menatap bibir soonyoung, jihoon memfokuskan pandangannya pada mata yang lebih tua.

“kalau nanti ada masalah, jangan diemin aku. kita obrolin, bagaimana pun nanti keputusan akhirnya, kita harus tetap obrolin. jangan kaya ka seokmin yang ngediemin ka jisoo”

“okey”

“kalau ada apa-apa harus cerita, jangan ada yang disembunyiin. terus nanti jangan tinggalin aku lagi”

“okey cil”

“yaudah, boleh cium sekarang”

kata-kata yang sedang soonyoung tunggu akhirnya sudah ia dengar. soonyoung mencium kening jihoon sebentar. lalu beralih mencium bibirnya.

mencium bibir jihoon lagi, segera setelah soonyoung melepaskan ciuman pertamanya. ketika jihoon membuka bibirnya sedikit, soonyoung melakukan hal yang sama.

soonyoung yang sudah berada diatasnya dan tangan jihoon yang masih berada di wajah soonyoung, membuat jihoon bisa merasakan kalau wajah soonyoung semakin lama mereka berciuman semakin memanas. suara decak dari bibir mereka dan juga desahan pelan yang jihoon tahan memenuhi indera pendengaran soonyoung. sudah gila, pikirnya.

selama ini soonyoung selalu menahan dirinya, entah itu karena isi pikirannya sendiri atau pandangannya terhadap jihoon. lalu ketika jihoon yang membawanya untuk memperdalam ciuman mereka dan tidak melepaskan soonyoung barang sedetikpun, soonyoung sadar kalau jihoon pun selama ini menahan dirinya.

soonyoung melepaskan ciuman mereka, mengusap bibir jihoon.

“duh tuhan” katanya dan jihoon tertawa, ini sangat berbeda dengan ka soonyoung yang dia kenal delapan tahun yang lalu.

“cil, takut bablas gue”

“yaudah gak papa”

“tuhan” soonyoung menutup matanya.

jihoon semakin tertawa ketika ia melihat soonyoung yang sedang berusaha menjauhkan tangannya dari wajah soonyoung.

“sekali lagi, sekilas aja” kata jihoon

dan soonyoung menurutinya. ia mencium bibir jihoon sebentar. lalu dia menjauh dari jihoon. entah sudah yang keberapa kali jihoon menertawakan tingkah soonyoung, mungkin itu terlihat lucu sekarang, bagaimana soonyoung terlihat tidak mau melakukan hal lebih jauh dari ciuman, jihoon sendiri tidak berpikiran yang aneh-aneh dan ia tidak sedang menerka-nerka hal yang tidak jelas di kepalanya.

jihoon sangat tahu, kalau soonyoung mau. tapi soonyoung pernah bilang, kalau dia ingin melakukannya bersama dengan jihoon nanti, ketika semua sudah pasti dan jihoon setuju.