nyongji96

The star and its universe 15 22 1996

Hari ulang tahun Soonyoung


Kalau ada yang bertanya, hal apa saja yang berubah dari soonyoung selama kita menikah? Jawabannya tentu saja 'banyak'

Kalau misalkan harus aku jabarkan satu persatu ceritanya mungkin jadi panjang, karena memang sebanyak itu. Aku saja kadang masih suka terheran-heran, ko bisa ya?

Salah satu perubahan yang benar-benar membuat aku kaget pada awalnya adalah ketika Soonyoung lagi sakit atau lagi ulang tahun itu akan manja, manjanya yang manja banget padahal dulu sama aku suka sok paling hebat, sok jago, nyebelin pokoknya. Nah kalau sekarang, nyebelinnya sih masih tapi manjanya itu loh, melebihi manjanya Jia.

Tidak, aku tidak protes ko. Dia ini lucu kalau lagi manja, tapi kalau manjanya ngelunjak ya kesal juga ya.

Kalau dulu dia mungkin anti banget cium-cium, sekarang kebalikannya, kalau sebelum berangkat kerja tidak aku cium, dia pasti akan marah-marah.

“Apa sih lo ah ko gak cium gue? Mau berangkat kerja nih” begitulah kira-kira yang dia katakan kalau lagi marah, itu dia sambil cemberut bicaranya.

Kalau dulu dia suka berantem sama Somi, sekarang juga sama. Ditambah ada Jia, aduh aku kalau ada diantara mereka suka pusing. Berisik banget dan berantem terus.

Sebenarnya dulu juga Soonyoung sudah terlihat kalau dia mempunyai sifat yang agak manja, waktu malam pertama dia kan sakit kakinya sampai aku pijitin terus dia ngoceh, ngeluh kalau kakinya sakit, seperti anak kecil. Nah kalau sekarang seperti itu juga, misalnya kalau dia tidak sengaja menendang kaki meja atau kursi, dia akan marah-marah, ngeluarin bahasa kasar, habis itu manggil aku.

“Jihooooon, yaaaaang kaki gue sakit”

Seperti anak kecil bukan?

Banyak banget yang berubah selama kita bersama, aku selalu menyukai setiap perubahan yang kita lalui ini. Soalnya banyak sekali hal-hal menyenangkan yang terjadi.

Satu contoh lagi yang membuat aku selalu senang kalau lagi sama Soonyoung. Dia kalau lagi tidur gak pernah ngelepasin pelukannya, aku udah kaya gulingnya dia. hehehe

Seperti saat ini, Soonyoung lagi memeluk aku. Tapi dia masih tidur, sebentar lagi harusnya bangun, soalnya alarmnya sudah berbunyi.

“Yang?” tanyanya sambil mengucek-ngucek matanya. Ada satu kebiasaan yang selalu ia lakukan setelah ada Jia, yaitu kalau sudah bangun Soonyoung akan mencium kening aku terus dia jalan keluar kamar pergi ke kamarnya Jia dan cium kening Jia juga.

“Jiaaaaa mana kado buat papi?” Soonyoung menggoyang-goyangkan tubuh Jia supaya Jia bangun

“Ih papiiiii, Jia masih ngantuk lagian kan aku udah kasih kadonya ke papi tadi malem sebelum tidur”

“Oh iya Papi lupa hahahhaa yaudah deh, Jia jangan sekolah ya hari ini, nanti Papi telfon ke sekolah nya kalau ada acara keluarga”

“Asiiik beneran pi?”

“Soonyoung” Aku menyelak perbincangan mereka, ini ide dari mana tiba-tiba Jia tidak akan berangkat sekolah hari ini.

“Apa sih yang? Pokoknya hari ini Jia gak boleh sekolah, soalnya kita bakal jalan-jalan terus main deh sepuasnya”

“Asiiik... Papi aku mau ke timezone pokoknya ya”

“Gampang, terserah Jia dah mau kemana aja yang penting kita jalan”

“Kamu juga harus kerja loh?” Lagi dan lagi aku menyelak obrolan mereka. Beginilah Soonyoung kalau lagi ulang tahun, banyak tingkah.

“Ya gak akan kerja lah, yang. Sehari ini doang”

“Aku bilangin ke Ayah ya kamu malas kerja”

“Bilangin aja sana, biar gue digantiin si Uyon. Tuh si Uyon hidupnya enak banget gak ngurusin perusahaan malah jualan baju. Tiap hari rebahan tuh perutnya buncit dah bentar lagi, kak Sejin ilfeel ntar ditinggalin. Mampus”

Astaga. Habis sudah kata-kata aku, heran sendiri kok ada ya orang dengan kepribadian seperti ini.

“Ya, yang? Kita jalan hari ini please.. Gue cuti sehari doang besok gue kerja lagi”

“Yaudah iya”

Menyerah, dari dulu memang yang namanya Kwon Soonyoung itu susah dilawan.

“Hari ini makan siang di restoran favorit gue, udah gue booking tempatnya”

“Okey”


Dan disinilah kita, jam 11.45. Sedang menunggu makanan kesukaan soonyoung datang.

Jia terlihat sangat senang, begitupun dengan kita berdua.

“Jia, nanti selesai main, Papi anterin ke rumah tante somi ya? Soalnya papi ada acara sama papa pulangnya malem, takutnya kamu ngantuk kalau ikut”

“Okey Papi nanti aku nginap di rumah tante somi” Jawab Jia polos, tanpa tahu apa yang sebenernya soonyoung rencanakan.

Aku mencubit tangan soonyoung, dan dia hanya tersenyum nakal merespon dari cubitanku itu. Sudah jelas kemana nanti kita akan pergi.

Kalau di rumah suka tidak bebas, aku sebisa mungkin menahan suara ketika melakukan hal tersebut. Hanya boleh melakukan ‘itu’ ketika sudah lewat jam satu malam, Soonyoung sering protes tapi aku selalu menolak kalau sebelum jam satu malam. Alasan yang paling utama adalah takutnya Jia masih dalam fase gampang terbangun kalau sebelum jam satu malam. Soonyoung juga tidak pernah melakukannya secara kasar, karena tidak boleh terlalu berisik.

Kecuali, kalau soonyoung sudah mengajak ke tempat seperti ini, hotel. Dia akan bebas melakukan apapun, suara seperti apapun yang akan kita buat juga tidak ada yang perduli. Namanya juga di hotel, tidak ada Jia sudah sangat jelas kalau soonyoung akan melakukannya dengan sedikit 'kasar' soonyoung tidak akan menahan dirinya sendiri.

“Yang..buka baju” Katanya, soonyoung sudah bersiap membuka bajunya juga. Tadi kita sudah menitipkan Jia ke somi.

“Masih jam 7 malam, mau sekarang?”

“Mandi dulu kali yaaang, ayo bareng”

“Jangan macem-macem tapi ya kamu”

“Iya gak bakalan gua, mandi doang mandi. Kalau mau macem-macem nanti habis mandi lebih mantap kalau dikasur”

Kalau dihari ulang tahunnya ini, soonyoung selalu excited dengan hal-hal yang akan ia lakukan. Lihat saja sedari tadi Soonyoung terus cekikikan.

“yang, sini gue bersihin punggung lo” Soonyoung selalu menawarkan diri untuk membantu.

“Soonyoung, kalau kita lagi bertemu sama teman-teman kamu atau lagi kumpul acara kantor dan aku ikut, bisa tidak panggilnya jangan pakai gue-lo?”

“kenapa emang?”

“soalnya kalau ngumpul sama pasangan lain, aku tidak pernah dengar mereka pakai gue-lo”

“iri nih ceritanya?”

“Enggak gitu, tapi.....ehm yaudah deh kalau kamu gak mau”

“hahaha iya-iya nanti kalau ada kumpulan gue pakai aku-kamu deh”

“okey”

Kalau dibilang, aku iri mungkin jawabannya enggak, tapi lebih ke “kenapa ya ko beda sama pasangan lain” dan “kita bisa tidak ya kalau seperti itu juga kalau di depan umum”. Tapi namanya juga Soonyoung, kalau di umum kelakuannya A maka tidak akan jauh beda dengan dia di rumah, kecuali manjanya itu, yang selalu ia sembunyikan dari orang asing.

“gue tuh udah keburu nyaman sama gue-lo”

“iya yaudah gak papa kalau mau terus pakai itu juga”

“lo tetep jadi suami gue yang selalu gue kagumin meskipun gue keliatannya santai banget, gak pernah gue ngerendahin lo. tapi kalau dengan ngomong gue-lo didepan umum keliatannya malah gue seperti gak ngehargain lo sebagai suami gue, yaudah ntar gue pake aku-kamu deh”

“aku gak maksa loh ya”

“iya yang, makasih udah ngasih tau lo maunya gimana”

Dan dia selalu jadi yang lebih pengertian dibanding sebelumnya, perbincangan kita selalu menghasilkan sesuatu. Meskipun tidak semua perbincangan itu berjalan dengan mulus, emosinya yang masih tidak bisa ia kontrol dengan baik, kadang menimbulkan perdebatan.

Cara marahnya yang berbeda, tapi kalau dipikir-dipikir lagi ‘marah’ yang benar-benar ‘marah’nya Soonyoung itu ketika melihat aku dan Chanyeol berpelukan di depan perusahaannya beberapa tahun yang lalu.

‘Marah’ Seperti itulah yang sebisa mungkin dihindari.

Ketika Jia sudah ada, dari dia kecil sampai sekarang sudah sekolah, sepertinya tidak ada lagi ‘marah’ yang se-serius itu, bisa dibilang hubungan ini baik-baik saja.

Kalau misalkan marah yang kesal atau jadi badmood mungkin sering, kadang di depan Jia pun dia masih tidak bisa menyembunyikan kalau sedang ada masalah. Tidak bisa diajak bicara, kalau ditanya tidak menjawab kecuali kalau Jia yang tanya, keningnya mengkerut terus, tidur nya dikamar lain, selalu menghindar.

“Soonyoung?”

“Apa?” Tanyanya sambil memeluk aku dari belakang.

“Aku sangat bersyukur banget punya kamu, sampai saat ini kamu selalu ngabahagiain aku sama Jia dan aku sangat-sangat berterimakasih akan hal itu. Aku gak tau kalau gak ada kamu gimana hidup aku, mungkin akan sangat sepi tinggal di apartemen sendirian”

“Ngapa sih ah ko jadi sedih-sedihan begini, lagi telanjang juga”

“Haha enggak tau, Tiba-tiba kepikiran aja. Karena kamu lagi ulang tahun mungkin jadinya kepikiran buat ucapin makasih sebanyak-banyaknya sama kamu”

“Iya dah sama-sama”

Soonyoung ini, mau diajak romantis susah, diajak so sweet sedikit jawabannya malah begitu. Kecuali, kalau dia yang ingin melakukannya duluan, bisa jadi romantis banget dan bisa membuat aku terharu banget.

Tapi bukan hari ini, Soonyoung terlalu excited merayakan ulang tahunnya.

Dia akan memulai aksi nya dari sini, dari mulai memeluk dari belakang, mengecup setiap inci punggungku dengan pelan lalu ke leher, meninggalkan banyak jejak disana.

“dah ah ntar aja dikasur sisanya” soonyoung sedikit menjauhkan dirinya, ia mengakhiri aktifitas 'pembuka'

“Sebenernya masih ada yang mau aku bicarakan, tapi kalau udah dikasur nanti aku gak bisa ngomong sama sekali”

“Yaudah ngomong sekarang disini, apa lagi? kan tadi udah makasih-makasihannya?”

“Ada hal lain”

“Yaudah apaan? Bentar lagi tegang nih yang dibawah”

“Beberapa minggu yang lalu kita ke pemakaman karyawan kamu kan, nah aku kepikiran aja. Kalau nanti aku duluan yang pergi, kamu bakal gimana ya? Aku kan—”

“Apan sih yang ah pembahasannya”

“Kan aku cuman mau ngebahas ini karena kepikiran aja, aku sih percaya kamu pasti baik-baik aja kalau aku tinggalin. Aku juga percaya kamu bisa buat Jia bahagia dan jaga Jia terus”

“ah anjir sumpah, apaan dah ah pembahasannya” Soonyoung berdiri, ia membersihkan badannya sebentar lalu memakai handuk. Tidak berbicara lagi, ia langsung pergi dari kamar mandi.

Malam ini, harus ada proses minta maaf dulu. Tadi katanya boleh diomongin, ya aku omongin mumpung kepikiran, tapi malah marah. Harus sabar memang menghadapi orang satu ini.

“Soonyoung?”

Dan lihat, Soonyoung sudah pura-pura tidur. Kepalanya dia tutupi dengan bantal. Beginilah Soonyoung kalau marah.

“kamu marah ya?” Soonyoung masih belum menjawab, aku sudah duduk dipinggirnya.

Masih belum ada pergerakan. Maklum, sepertinya ini kali pertama kita akan membahas tentang perpisahan yang bisa saja terjadi kapanpun ketika kita siap ataupun tidak.

“Maaf kalau aku ngacauin ulang tahun kamu sama ucapan aku tadi, tiba-tiba kepikiran aja sama aku”

“Soonyoung... jangan marah”

Aku tidak tahu kalau Soonyoung akan sangat membenci topik yang tadi aku angkat untuk didiskusikan. Bahkan ketika sekarang dia sudah duduk dan kita saling menatap, dia masih belum bisa mengatakan apapun.

“i’m sorry” ulangku lagi, Ya Tuhan mukanya kasihan banget, antara nahan kesal dan sedih.

“Lo nih ya, buset dah gue udah siap-siap mau ngapa-ngapain lo, yang. Tapi lo malah ngebahas kaya gituan, di hari ulang tahun gue lagi”

“yaudah iya maaf, salah aku”

“Kalau gue tanya, gimana kalau gue mati duluan? pas lo ulang tahun, emang lo bakal seneng?”

“enggak, yaudah Soonyoung. Maafin aku”

“yaudah diem jangan pegang-pegang tangan gue”

“iya, okay”

Masalah. Diantara soonyoung yang kadang tidak konsisten dengan ucapannya beberapa detik yang lalu dengan ucapannya beberapa detik kemudian dan juga ada aku yang masih suka membuat dia tidak nyaman dengan isi pikiran dan ucapanku.

Kejadian beberapa tahun lalu, tentang kesalahan yang membuat kita berpisah sementara, meskipun kita sudah melewati puncaknya tapi di dalam setiap hubungan hal seperti ini rasanya wajar kalau terjadi lagi. Namanya juga masalah.

Masih dengan muka kesalnya, soonyoung tidak berniat untuk berbicara lebih lanjut. Dia hanya menatap tapi dengan raut muka yang cukup membuat aku tidak nyaman.

“Aku kan udah minta maaf”

Dengan tatapan yang sama tapi masih belum ada jawaban.

“Soonyoung” Ucapku sambil bergerak kembali mencoba meraih tangan orang yang aku panggil

“Apa sih” Katanya masih tidak mau aku pegang.

Kalau bicara terus, aku juga takut nanti salah mengungkapkan. Makanya aku hanya bertindak, berusaha (lagi) memegang tangan suami yang sedang marah.

“Gue bilang gak usah pegang-pegang, ih anjing maksa banget lo ya”

Diam.

Aku mendengar suatu kata yang membuat dada aku sesak, tubuh tidak bisa bergerak saking kagetnya, seorang Kwon Soonyoung tidak pernah berkata seperti itu sebelumnya.

Jujur. Kalau harus diingat lagi, Soonyoung tidak pernah mengatakan kata-kata kasar semenjak dia bilang kalau dia akan menetap lagi di apartemen beberapa tahun lalu. Dan harus diakui juga, kalau kata-kata kasar seperti itu jarang aku dengar terutama jika itu ditujukan langsung. Orang tua yang keras dan juga banyak menuntut bukan berarti mereka sering mengatakan kata-kata kasar dan juga memarahi anaknya, selama sekolah maupun di dunia kerja tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata kasar yang barusan soonyoung ucapkan kepadaku.

“kamu gak perlu ngomong ‘anjing’ ke aku loh Soonyoung, aku juga udah paham kamu gak suka, gak perlu ngomong kasar”

“ya gue kesel sama lo”

“kamu bilang anjing loh soonyoung sama aku”

“ah anjir masa gue ulang tahun malah berantem”

Siapa juga yang mau menghancurkan hari special suami. Mungkin malam ini kita berdua sedang tidak beruntung saja. Aku yang mulai dan Soonyoung yang terlanjur kesal.

Sangat disayangkan karena aku berharap soonyoung akan selalu bersikap baik meskipun aku buat dia kesal, mungkin kali ini aku yang keterlaluan atau soonyoung yang bereaksi secara berlebihan. Bukan berarti tidak mau mengalah, namanya sakit hati ya sakit hati. Tidak ada penjelasan lain.

“Aku mau pulang, mau ketemu Jia”

Soonyoung tidak mengatakan apapun, dia malah langsung mengambil barangnya yang baru tadi ia letakan dimeja kamar hotel.

Selama didalam mobil pun menuju ke rumah Somi, Soonyoung tidak berbicara, mungkin dia semakin kesal karena rencananya gagal total. Sedangkan aku, sedang sibuk menahan supaya air mata tidak keluar lagi. Kalau Soonyoung tidak menangis kenapa aku harus menangis?

Ego-nya mulai bermain dengan seenak hati, tidak tau waktu dan tempat.

“lah ko udah dijemput lagi sih gak jadi nginep?” tanya Somi ketika aku sudah sampai di depan rumahnya.

“tidak jadi, aku pulang dulu ya sama Jia makasih Somi”

“iya-iya, kalau ada apa-apa kabarin aku ya jihoon”

Mungkin Somi juga sadar, ekspresiku yang tidak mengenakan serta Soonyoung yang tidak ikut turun ketika menjemput Jia.

“Papa, kenapa?” tanya Jia

“Kangen aja sama adek, jadinya mau cepet ketemu” balas ku, ketika Jia sudah duduk dibelakang

Begitupun Jia, anak kita cukup peka. Tidak percaya dengan perkataanku, Jia langsung menghampiri Soonyoung yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam apartemen.

“papi, sepertinya malam ini aku sama papa tidur bareng. papi tidur sendiri terus besoknya harus baikan ya sama papa, gak mau tau” kata Jia sambil menggenggam tangan Soonyoung yang dibalas oleh Soonyoung hanya dengan mengelus rambut Jia pelan.

Malam ini, seperti yang tadi Jia bilang kalau papanya akan menumpang tidur di kamar Jia. Memang kalau sedang berantem seperti sekarang, aku selalu mengungsi ke kamar Jia. Memeluk adek sampai tertidur.

Sialnya, aku masih merasa bersalah sama Soonyoung. bagaimanapun juga hari ini adalah hari yang sudah ia nanti-nanti.

Sampai sekarang sudah jam 11 malam, Jia sudah tidur. Mata aku sudah tertutup, tanganku memeluk Jia, tubuh sudah siap beristirahat. Tapi, pikiran aku masih memikirkan kejadian tadi. Aku masih memikirkan hal apa saja yang aku sudah katakan dan hal apa saja yang telah aku perbuat.

Niat hati mau pergi ke kamar sebelah dan menemui Soonyoung. Tapi aku keduluan.

Soonyoung sudah disini, duduk dilantai sambil memegang tanganku.

“yang” katanya pelan

“udah tidur?”

Mendengar dia berucap selembut itu, membuat aku jadi terharu. Entah kenapa.

“yang? maaf ya, udah bikin lo nangis lagi”

katanya lagi, jujur aku makin gak sanggup buat menoleh ke arah Soonyoung, nanti kalau lihat mukanya malah jadi mau nangis.

“lo sih ah bikin gue kesel, nanya yang aneh-aneh, kalau lo minta saham kek apa kek gitu gua jabanin, asal jangan ngomongin yang begituan aja sumpah”

“Demi Tuhan yang, bukannya gak mau ngebahas tapi gue gak sanggup ngebayanginnya aja udah bikin nyesek, gak mau ditinggalin sama lo atau sama Jia”

“terus maaf tadi gue keceplosan ngomong kasar” kata soonyoung, tangannya masih memegangi tanganku.

“yang? udah tidur beneran?” tangannya berpindah, sudah tidak memegangi tanganku lagi tapi Soonyoung malah mendekat mengelus rambut dan juga membalikan badanku.

“maaf... yang” katanya ketika mata kita saling melihat satu sama lain

“gue minta maaf banget sumpah”

“aku sakit hati sama kamu dikatain anjing”

“gue gak ngatain lo anjing.. tadi keceplosan doang gue ngomong kasar”

“sama aja”

“yaudah maaf... gak mau berantem lama-lama, terus ini hari ulang tahun gue, masa kita berantem, mana gak tidur sekasur lagi ah”

Aku tersenyum sebentar, Soonyoung masih dengan pendiriannya kalau dihari ulang tahunnya, dia harus quality time sama aku.

“sini tidur”

“geser”

“ini adek tidur persis pinggir aku, gak bisa geser. kamu dipinggir adek sebelahnya lagi sana”

“gak mau, mau deket sama lo”

“kamu angkat adeknya kalau gitu biar aku tidur ditengah”

“bentar”

Dan soonyoung mengangkat Jia supaya tidur disisi kanan kasur, aku bergeser menjadi ditengah tidur diantara mereka.

“tidur” katanya sambil mengelus rambut dan menciumi keningku.

Mungkin hari ini, hari ulang tahun yang Soonyoung benci. Semua rencananya gagal dan malah jadi agenda marah-marahan.

“pindah aja yuk yang ke kamar kita”

“kasihan loh adek nanti bangun nyariin, tadi kan sebelum tidur sama aku”

“iya juga sih, yaudah lah kalau gitu besok gue libur lagi aja ya? kan hari ini gagal acaranya”

“libur apa lagi?”

“ke hotel”

“kan bisa malemnya?”

“dari jam 2 lah, ya?”

“yaudah terserah kamu deh, ini juga gara-gara aku”

“asiiik, yaudah bobok yang nyenyak malam ini, besok gummy bear time

Dan begitu ceritanya kalau misalkan kita beradu argumen dan berantem. Kadang aku yang datang ke kamar Soonyoung malam-malam untuk meminta maaf, atau seperti sekarang, Soonyoung yang datang ke kamar Jia untuk meminta maaf.

Memang tidak selamanya dan tidak semua permasalahan bisa diselesaikan dengan cara seperti ini. Ada kalanya sampai kita tidak berbicara kepada satu sama lain selama berhari-hari. Untungnya, semuanya masih bisa teratasi. Untuk saat ini, Soonyoung dan aku masih selalu berusaha untuk saling memaafkan jika kita melakukan kesalahan. Karena dalam hidup kami, apalagi hidup aku. Orang yang akan aku mati-matian pertahankan cuman Kwon Soonyoung, papinya Jia.

Somi pernah bilang “aku mau apa yang kalian berdua punya, hubungan yang kayanya seru kalau dijalanin”, nyatanya memang seru ko, tapi untuk mempunyai hubungan ’yang seperti kita’ sekarang ini banyak tidak enaknya juga. Menghadapi Soonyoung yang sikapnya masih suka tidak jelas, emosinya yang suka naik turun, susah untuk diajak berbicara serius, begitupun bagi Soonyoung, dia harus mengahdapi aku yang terlalu banyak memikirkan hal yang tidak jelas, terlalu protektif, perfectionist yang berujung membuat pusing satu keluarga, kaku dan sebagainya.

Bahkan sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya, hal apa yang membuat Soonyoung sebegitu sayangnya terhadap aku yang sikap dan kepribadiannya bertolak belakang dengan apa yang Soonyoung punya. Sedangkan menurut aku, petakilannya Soonyoung, manjanya, pemikirannya yang tidak pernah terpikirkan olehku, cara dia memperlakukan Jia, semuanya tentang Soonyoung. Sifat baiknya yang aku cintai dan sifat buruknya yang aku terima.

Selama kita tidak saling menyakiti satu sama lain, selama kita mempunyai komitmen untuk selalu bersama. Menurutku kedua hal tersebut cukup. Karena kalau berbicara tentang kebahagiaan, Soonyoung masih dan akan selalu mempunyai caranya sendiri untuk memberikan kebahagian kepada keluarganya. Pun aku mempunyai caraku sendiri untuk mengembalikan kebahagiaan yang telah ia berikan.


“intimacy, security, respect, good communication, a sense of being valued”

The things that Soonyoung and Jihoon willing to learn and develop themselves

Masih belum ada respon dari Soonyoung tentang link yang Jihoon berikan. Jihoon bingung kenapa tidak ada balasan lagi padahal tadi Soonyoung terlihat senang sebelum membaca ucapan-ucapan ulang tahun dari Jihoon.

Jihoon mulai khawatir, akhirnya ia mengirim pesan lagi. Sudah beberapa menit dari pesan itu terkirim, Soonyoung belum ada membalas pesan Jihoon. Karena Jihoon bertanya-tanya, kenapa Soonyoung tidak membalas bahkan pesan dari Jihoon saja belum ia buka, akhirnya Jihoon memutuskan untuk menelpon Soonyoung.

“Hallo Ka?”

”Cil bentar gue lagi ganti baju”

“kamu mau kemana emangnya?”

”Bentar nih gue udah mau selesai ganti bajunya”

Jihoon tidak menjawab lagi, ia menunggu Soonyoung selesai mengganti baju. Setelah beberapa menit berlalu, terdengar suara Soonyoung yang sedang menutup pintu. Jihoon juga bisa mendengar Soonyoung yang sedang berbicara dengan Bibi di rumahnya.

”Bi, nitip Lala ya, saya mau keluar sebentar. Nanti saya pulang jam 11 paling lama ya”

Soonyoung masuk ke dalam mobil dan Jihoon bisa mendengar suara mobil dinyalakan.

“Ka?”

”Oi cil, bentar”

“Mau kemana sih buru-buru banget?”

”Ke apartemen lo, kemana lagi gue malem-malem”

“Lah kamu mau ngapain?”

”Ya ketemu lo, emang ngapain lagi?”

“Gak mau ah horror”

”Horror dari mananya ketemu gue?”

“Yaudah matiin telfonnya, jangan nyetir sambil telfonan”

”Iya, lima belas menitan nyampe, tunggu di lobi”

“Okey ka”

Jihoon menuruti kemauan Soonyoung, ia tadi sempat mengganti bajunya, memakai sedikit perfume lalu turun ke bawah, diam menunggu Soonyoung di lobi. Tidak berapa lama Soonyoung pun datang.

“Malem-malem” kata Jihoon sambil berdiri menuju Soonyoung, yang dibalas dengan suara ketawa Soonyoung.

Soonyoung sudah duduk diruang tengah, begitupun dengan Jihoon.

“Cil, masakin gue dong”

“Masak apa? Aku gak ada bahan makanan”

“Apa aja terserah, mie rebus kek, telor ceplok kek”

Jihoon berdiri, ia berjalan menuju arah dapur. Sejujurnya, Jihoon ada banyak bahan makanan, saking bingungnya dia mau memberikan hadiah apa kepada Soonyoung, tadi setelah pulang dari kantor, Jihoon langsung membeli bahan makanan untuk nanti ia masak dan ia berikan kepada Soonyoung. Tapi niatnya bukan hari ini, mungkin besok ia antarkan ke rumah Soonyoung.

”untung udah beli tadi ini bahan makanan” Pikir Jihoon, karena Soonyoung tiba-tiba saja datang ke apartemennya dan meminta Jihoon untuk memasak.

“Ikut ah mau liat” kata Soonyoung, ia mengikuti Jihoon dari belakang.

“Gak boleh, diem aja duduk di sofa sambil nonton tv atau apa gitu”

“Gak mau mau liatin”

“Gak boleh kak”

“Mau liat”

Jihoon membalikan badannya melihat ke arah Soonyoung yang ternyata memang sudah mengikutinya menuju arah dapur. Soonyoung hanya tersenyum, bukannya pergi ia malah semakin mendekat ke arah Jihoon.

“Hehe cil makasih ya” katanya sambil memegang tangan Jihoon.

“buat?”

“makasih aja, atas semua hal yang udah lo lakuin buat gue”

Jihoon mengangguk, memeluk Soonyoung karena yang lebih tua sudah merentangkan tangannya. Jihoon memberikan usapan lembut kepada punggung Soonyoung dan Soonyoung yang mengelus lembut rambut Jihoon.

“makasih cil” katanya lagi dan Jihoon kembali hanya menganggukan kepalanya di dalam pelukan Soonyoung.

Kalau Jihoon bisa deskripsikan, perasaannya malam ini itu sangat senang, saking senangnya ia selalu terharu dengan segala hal yang Soonyoung lakukan. Keinginannya untuk selalu bersama Soonyoung semakin besar.

“aku mau nanya” Jihoon sedikit merenggangkan jarak dirinya dengan Soonyoung

“Kamu yakin kan gak akan balikan lagi sama cici? Maksudnya kamu sama Cici tuh deket banget, aku takut aja ketika aku udah berharap banyak, kamu malah lebih perduli sama Cici dibanding aku, bukan berarti aku ngelarang kamu buat perduli sama Cici, gimana ya.... intinya aku takut kalau kamu akhirnya gak milih aku lagi”

Soonyoung tersenyum, mendengar itu dari Jihoon langsung membuat dirinya semakin percaya diri. Soonyoung merasa kalau Jihoon benar-benar tidak main-main dengan rasa sukanya. Kemungkinan Jihoon ingin meninggalkan Soonyoung tidak terlihat sama sekali, persentase yang sangat kecil.

“Gini loh Cil, gue sedeket apapun sama Cici gak akan bisa balikan lagi, ngurus cerainya aja ribet banget kemaren, kita mikirin buat pisah juga udah lama, kalaupun semisal nanti akhirnya gue gak sama lo, gue gak akan balikan sama Cici. Yang ada disini gue yang khawatir, gue udah punya Lala dan gue gak bisa fokus 100% sama lo, yakin masih mau sama gue?”

“Iya, yang penting kamu gak punya keinginan untuk balikan sama Cici”

Soonyoung memegang kepala Jihoon “mikir dulu napa ciiiil, gemes gue”

“Ya aku udah mikir loh selama delapan tahun, kurang lama gimana lagi coba aku buat mikir”

“percaya sih gue”

“ini jadi gak sih aku masaknya, lepasin dulu”

Kalau Soonyoung itu memang darisananya jahil, bukannya menjawab apa yang Jihoon katakan ia malah semakin mempererat pelukannya kepada Jihoon. Tersenyum lagi, karena siapa sih yang tidak bahagia ketika lagi sama Jihoon. Dari dulu memang Jihoon ini seprecious itu, dimata Soonyoung, mungkin juga dimata teman-temannya.

Jihoon beberapa kali mengatakan “lepasin gak” , “kapan ini aku masaknya” dan “ih gak jadi ini mah masaknya”

Dan Soonyoung tidak mendengarkan, setelah Jihoon sudah tidak lagi mengoceh. Soonyoung mengecup pelan kening Jihoon lalu memeluknya lagi. Jihoon tidak bisa protes, ini adalah moment ternyamannya dengan Soonyoung di hari bahagianya Soonyoung.

Soonyoung menangkup kedua pipi Jihoon, melihat mata Jihoon lama, mereka saling menatap. Jihoon bisa melihat dirinya berada disudut pandang mata Soonyoung, dan dia menyukainya.

Dengan hitungan detik, Soonyoung sudah sangat dekat dengan Jihoon, sebelum bibirnya menyentuh bibir Jihoon, Soonyoung memastikan izin dari Jihoon terlebih dahulu, ia masih belum melanjutkan pergerakannya, masih menunggu Jihoon dan ketika Jihoon menutup matanya Soonyoung semakin mendekat, kurang dari 3 detik Soonyoung bisa merasakan bibir Jihoon.

Ciumannya tidak tergesa-gesa, Soonyoung menikmati setiap pergerakan yang Jihoon buat, begitupun sebaliknya. Soonyoung tahu, ini yang ia mau selama ini, memperjelas kalau dia mau Jihoon dan Jihoonpun mau dengan eksistensi dirinya. Bahkan ketika Jihoon menggigit bibir bawah milik Soonyoung, Soonyoung hanya tersenyum diantara ciuman mereka.

Tidak tahu saja perasaan Jihoon saat ini benar-benar campur aduk, antara perasaan yang kelewat senang sampai ia sendiri merasakan panas dimukanya, malu, terharu tapi dia mau. Akhirnya Soonyoungnya ada buat Jihoon, seperti dulu ketika mereka bersama, menikmati setiap ciuman yang pernah mereka lakukan. Dari ciuman yang lembut sampai yang tergesa-gesa, Jihoon masih mengingat betul semua itu.

Ketika Soonyoung memberikan jeda kepada Jihoon dan dirinya untuk bernafas, mereka kembali merasakan perasaan yang ternyata selalu ada di hati mereka masing-masing, seperti mereka kembali menjadi orang yang sama delapan tahun lalu. Saling percaya kepada satu sama lain.

Tidak dipungkiri kalau memang ada perasaan takut kehilangan lagi diantara mereka, tapi itu tidak membuat Jihoon memberhentikan kegiatannya yang sedang ia lakukan dengan Soonyoung, untuk kali ini Jihoon yang berinisiatif untuk menicum Soonyoung lagi.

Ciuman yang kedua ini tidak selembut yang pertama, sudah mulai ada unsur ketergesaan. Soonyoung juga semakin mendominasi, mengulum bibir dan menggigit bibir bawah Jihoon.

Tangan Jihoon melingkar dileher Soonyoung, sedangkan tangan Soonyoung sudah berada dipinggang Jihoon sehingga ia dengan mudah bisa manarik Jihoon lebih erat kepelukannya, tidak ada jarak sedikitpun diantara mereka.

Ada tangan Soonyoung yang semakin bergerak, tangan kiri dipinggang Jihoon dan tangan kanan sedang mengelus pelan leher Jihoon. Lagi, ketika mereka berhenti berciuman dan mengatur nafas, jeda waktu yang dibutuhkan cukup lama bagi Jihoon tapi tidak bagi Sooyoung.

Soonyoung sudah mulai menciumi Jihoon lagi, di pipi lalu ke dagu dan turun sampai ke leher yang sedikit lebih lama dari bagian yang lain.

Jihoon hanya bisa menikmati apa yang sedang Soonyoung lakukan, semakin menguatkan pegenganya kepada Soonyoung ketika Jihoon bisa merasakan Soonyoung menciuminya terlalu agresif, menimbulkan rasa sakit pada bagian leher Jihoon.

Jihoon beberapa kali kaget, untuk yang kesekian kalinya ia merasakan sakit pada lehernya, Jihoon hanya bisa mendongakan kepalanya dan tidak ingin Soonyoung berhenti.

“Ka, jangan ada bekasnya”

Soonyoung berhenti ketika mendengar perkataan Jihoon, ia seperti tersadarkan akan apa yang sedang ia lakukan.

“Yaampun maaf cil, udah merah”

“ih besok aku ke kantor loh ka”

“hehe ya maaf cil” katanya, Soonyoung meminta maaf tapi ia tetap mencium Jihoon lagi, kali ini singkat, ia hanya mengecup bibir Jihoon.

Soonyoung melepaskan Jihoon, ia meninggalkan Jihoon yang masih mengatur nafasnya. Soonyoung mengambil air minum dari dalam kulkas, ia meminumnya dan kembali menghampiri Jihoon.

“Minum nih” Soonyoung memberikan botol yang ia pegang dan ketika Jihoon meminum air itu, Soonyoung mengusap pelan leher Jihoon dan juga dagu Jihoon, membersihkan apa yang tertinggal disana.

Setelah Jihoon selesai minum, Soonyoung kembali memeluk Jihoon. Mengatakan terimakasih berkali-kali, mengatakan kalau dia malam ini sangat senang karena ada lagi Jihoon di hari ulang tahunnya, mengatakan kalau dia sangat beruntung ketika Jihoon masih menunggu dirinya.

“cil sama gue terus ya?”

“iya ka, kamu juga harus sama aku terus. Jangan tinggalin aku lagi ya?”

“okey, ikut ke rumah gue yuk? Tidur disana, gue gak bisa ninggalin Lala lama-lama”

“Terus aku ini gak jadi masak?”

“Ya masak dulu aja sekarang, masak mie rebus kan? Nanti habis makan kita ke rumah gue”

“Okey, diem jangan ganggu aku kalau gitu biar cepet selesai masaknya”

“okey okey”

Soonyoung akhirnya menunggu di meja makan, ia memperhatikan Jihoon yang sedang memasak mie rebus. Sebenarnya bukan hanya mie rebus yang Jihoon persiapkan, ia memiliki banyak bahan makanan, akhirnya sebagai pelengkap makan malam (yang kemalaman) ini, Jihoon memasak ayam goreng dan juga membuat salad.

Tadi Soonyoung sempat protes katanya Jihoon masaknya kelamaan, tapi waktu makanannya sudah jadi dia habiskan juga.

Sesuai dengan rencana mereka, Jihoon sedang memasukan bajunya kedalam tas untuk bekerja besok. Ia akan pergi ke rumah Soonyoung malam ini. Menginap semalam, tapi Jihoon maupun Soonyoung tidak berhenti tersenyum dari tadi.

“nanti tidur sama Lala bertiga atau aku tidur sendiri kamu sama Lala?”

“Lala udah tidur sendiri ko, jadi lo sama gue aja”

“Oh okey”

Tanggal 15 Juni, untuk yang pertama kalinya lagi setelah delapan tahun Jihoon bisa mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ secara langsung. Tidak Jihoon pendam lagi di diary-nya, misinya pun sudah ia lakukan, membiarkan Soonyoung membaca semua yang telah ia tulis.

Tanggal 15 juni juga, mereka bisa kembali tidur dikasur yang sama, bukan di kosan Jihoon seperti apa yang selalu mereka lakukan delapan tahun yang lalu tapi sekarang di rumah Soonyoung.

“Selamat malam, Cil”

“Selamat malam, ka”

Dan mereka tidur, Jihoon tidur didekapan Soonyoung, tangan mereka saling menggenggam.


“ Hari besok pasti akan lebih bahagia dari malam ini, semuanya akan baik-baik saja. Soalnya kamu sudah ada disamping aku” Pikir Jihoon, sebelum ia tertidur.

— loslaten

Hal pertama yang Soonyoung lakukan setelah sampai di apartemen milik Jihoon adalah meilihat keseluruh penjuru ruang milik mantan kekasihnya ini, ada kaktus kecil yang disimpan diruang tengah tepatnya dipinggir tv, ada botol minuman terletak di atas meja didepan sofa yang ternyata waktu Soonyoung cek minumannya masih ada sekitar setengahnya lagi, dipinggir tv itu ada lukisan langit yang teduh, Soonyoung mendekat untuk melihatnya, dipenjuru bawah kiri lukisan tersebut tertulis kata “for : langit keenanti, 2019”

“mau dikasih ke lala?” Soonyoung mendekat, ikut duduk dengan Jihoon yang sudah dari tadi duduk di sofa.

“udah jelek, lukisannya udah lama banget itu tahun berapa aku belinya”

“maaf udah pake nama itu tanpa izin ke lo cil”

“gak papa, aku suka kok”

Hening sebentar, Jihoon memposisikan duduknya dengan nyaman disamping Soonyoung. Melihat ke arah Soonyoung sebentar lalu tersenyum. Dalam hati, Jihoon selalu berkata 'Gila, aku seneng banget Ya Tuhan', sampai ia tidak sadar kalau ia sudah menatap Soonyoung terlalu lama.

“Jadi, mau ngobrol apa?” Soonyoung memecahkan keheningan diantara mereka, Jihoon yang disadarkan oleh suara Soonyoung langsung memikirkan pertanyaan apa atau topik perbincangan mana yang akan dia angkat terlebih dahulu.

“apa kabar?” tanyanya polos membuat Soonyoung tertawa akan pertanyaan Jihoon.

“maksudnya, selama ini kamu gimana gitu, aku tahu si kalau cici pasti ngetreat kamu dengan baik” sebenarnya pertanyaan Jihoon itu lebih ke ‘bagaimana hidup kamu tanpa aku’ tapi dia tidak mau terlalu menekankan kalau hidup Soonyoung berputar dan berpusat dinama Jihoon seorang, kalau nyatanya memang tidak benar, bahwa hidup seseorang berpusat dan berputar hanya disatu orang saja.

“ya lo tau kan, gimana gue sama orang tua gue”

Jihoon tentu saja tahu, kalau Soonyoung dengan orang tuanya tidak terlalu dekat. Perjodohan yang telah direncanakan oleh orang tua Soonyoung merupakan bentuk perintah terakhir dari orang tua Soonyoung. Jihoon tahu dengan jelas, kalau Soonyoung akan bebas dari berbagai jenis tuntutan yang selalu diberikna oleh orangtuanya ketika Soonyoung menikah.

Sesuai dengan dugaan Jihoon, kalau saat ini hidup Sonyoung sudah bebas. Perceraian yang diinginkan oleh Cici tidak akan membuat orangtua Soonyoung melakukan apapun, mereka tidak akan mampu mencegah kemauan Cici.

Dan begitulah hubungan seorang kwon Soonyoung dengan orangtuanya, tidak terlalu saling memperhatikan lagi. Penghubung mereka sekarang hanyalah Lala, selain itu tidak ada lagi.

“kalau tentang gue sama Cici, iya bener, emang dia selalu memperlakukan gue dengan baik, Ci Vel kalau diibaratkan kaya...” Soonyoung berhenti sebentar, ia melihat ke arah Jihoon.

“penolong gue banget, gue merasa beruntung pasangan yang dijodohkan sama gue itu Cici”

Jihoon menoleh, jujur dia sedikit kaget dengan perkataan Soonyoung. Yang ada dalam pikiran Jihoon selama ini kalau Soonyoung mungkin akan merasa tidak nyaman dengan pernikahannya karena berasal dari paksaan orang tua, oh atau itu mungkin hanya sekedar sugestinya terhadap dirinya sendiri supaya bisa bertahan dari keinginanya untuk menunggu Soonyoung?

“gue gak tau, gue bakal kaya gimana kalau itu bukan Cici, mungkin gue bisa kehilangan diri gue sendiri”

Soonyoung dan kalimat-kalimat yang membuat Jihoon menyesali keputusannya untuk 'mengobrol'.

'Seberharga itu ya Cici buat kamu', pikir Jihoon.Disisi lain, Jihoon mengagumi cara Cici yang bisa membuat Soonyoung merasa nyaman dan memuji Cici seperti seolah-olah kalau Soonyoung tidak bisa hidup kalau tidak bertemu dengan Cici. Jihoon hanya bisa mendengarkan, tidak mau menyela apa yang sedang Soonyoung ceritakan.

But it’s hurt

“ngerasain jatuh bangun sama Cici, sampai kita ada dititik bisa menemukan ‘seneng’nya kita sendiri. hidup gue seperti itu cil” Jihoon menganguk paham, memberikan senyuman kepada Soonyoung, senyum yang hambar, tidak ada ketulusan, Soonyoung bisa merasakan senyuman itu hanya penutup dari hati Jihoon yang –Soonyoung rasa sudah tersakiti oleh perkataannya.

Banyak yang ingin Jihoon katakan, pertanyaannya masih banyak. Tapi ada yang menahannya, kalau dia berbicara, air matanya akan jatuh. Dadanya sesak, hatinya sakit. Dia merasa cemburu, kepada orang yang sudah mempunyai status yang sama dengannya.

“hal yang selalu membuat gue sedih, cuman satu. Kalau tiap hari, keinginan gue selalu sama dan keinginan gue gak pernah tercapai. Cil... jangan sedih karena gue bilang Cici itu my best partner, jangan kecewa ketika gue bilang Cici adalah penolong gue dan jangan marah ketika gue bilang gue ngerasa beruntung bisa sama Cici..karena apapun yang berkaitan dengan perasaan yang ada dalam diri gue sampai sekarang masih dipegang sama lo. Gak pernah berubah selama delapan tahun ini”

Karena keinginan Sooyoung hanya satu, yang selalu ia sampaikan kepada Tuhannya. Ketika ia tidak bisa berkomunikasi dengan orang yang ia begitu cintai sampai ketika memikirkannya pun hatinya sakit.

Tidak ada jalan lain, ketika Soonyoung frustasi harus berkomunikasi dengan siapa kalau bukan dengan orang yang ia cintai. Oleh karena itu dia mencoba untuk selalu berkomunikasi dengan sang pecipta semua rasa. Soonyoung datang, mencoba menyampaikan keinginanya kepada Tuhan, sumber dari cinta itu sendiri.

“gue cuman mau ngomong apa yang gue rasain, tanpa ada maksud buat maksa lo ngerasain hal yang sama atau maksa lo buat balik sama gue. Cil, percaya....kalau ada orang selain Lala yang selalu gue inginkan buat ada disamping gue sampai gue mati....itu lo Cil”

22 November, selalu menjadi malam yang selalu Soonyoung tunggu-tunggu, tidak bisa mengatakan ‘selamat ulang tahun, cil’ secara langsung , Soonyoung mempunyai caranya sendiri.

Sendiri, tepat jam dua belas malam, Soonyoung melipat kedua jari tangannya, menutup mata dengan kepala menunduk kebawah.

“i’m glad to hear that”

Ada rasa takut pada diri Jihoon ketika Soonyoung dengan jelas mengatakan beberapa pujian kepada Cici, takut kalau dia sudah digantikan seutuhnya oleh orang lain, takut kalau semua sugesti yang selama ini serta sisi perspektif yang dia putuskan untuk di ambil dan diyakini pada akhirnya hanya akan membuahkan rasa kecewa.

Dan ketika Soonyoung mengatakan bahwa, Jihoon masih ada dan selalu ada dalam ruang hatinya Soonyoung, pundaknya yang tadinya tegang, tangannya yang sedari tadi meremas celananya dengan keras mulai melemas. Jihoon lega, dengan apa yang ia dengar, karena hal itu yang ia inginkan.

“dan kamu tahu, bagaimana aku dengan orangtuaku ka”

Jihon mulai bercerita, tentang bagaimana hubungannya dengan orangtua dirinya. Soonyoung sudah tahu, Jihoon pun sama tidak memiliki perubahan yang signifikan jika itu mengenai orangtuanya. Yang Soonyoung tahu kalau orangtua Jihoon tidak terlalu banyak menuntut kepada Jihoon, tapi tidak terlalu memperhatikan Jihoon juga.

“aku seneng, lihat kamu juga selama ini baik-baik aja”

Jihoon tidak berbohong ketika ia mengatakan itu, bahkan kata pertama yang muncul dalam pikirannya ketika ia bertemu dengan Soonyoung adalah ‘dia baik-baik aja’ dan dia senang dengan melihat dan mendengar fakta bahwa Soonyoung selama ini bahagia dengan mantan istri dan anaknya.

“kalau lo gimana cil? Ceritain semau lo, sepuas yang lo mau”

Jihoon, tidak akan berbagi cerita tentang perasaannya sendiri kepada orang lain, maupun itu Jeonghan atau Jisoo sekalipun. Bukan berarti Jihoon merasa menceritakan tentang perasannya kepada temannya merupakan sesuatu yang tidak berguna, bukan. Jihoon hanya merasa, satu-satunya orang yang pantas untuk bisa mendengarkan cerita tentang perasaannya adalah orang yang menjadi penyebab perasaan Jihoon merasakan sedih dan bahagia, karena itu dia hanya mau Soonyoung yang mendengarkan ceritanya.

“aku... kalau aku ‘Jihoon, jangan ceritain setiap permasalahan kamu sama orang lain, apalagi kalau tentang ka Soonyoung, takutnya pandangan orang lain dengan pandanganku berbeda, maunya aku dan maunya mereka yang hanya mendengarkan tanpa merasakan akan berbeda, kalau urusan ka Soonyoung, diam. Kalau mau nunggu, tunggu dia dalam diam, kalau mau sama yang lain, pastikan kalau orang itu akan lebih baik dari ka Soonyoung’ kata-kata itu yang selalu aku ucapkan pada diriku sendiri”

“aku selalu memberikan sugesti yang kuat kepada diriku sendiri ‘Jihoon, kamu bisa tanpa ka Soonyoung, tapi kalau ada dia hidup kamu pasti bakal lebih mudah buat dijalanin’ atau ‘Jihoon, nunggu ka Soonyoung bukan sesuatu yang salah, dia ninggalin kamu bukan karena keinginannya sendiri, dia gak pernah jahat sama kamu yang ada malah dia selalu ngebahagiain kamu selama dua tahun kamu pacaran sama ka Soonyoung, jadi....wajar kalau kamu cuman mau dia dalam hidup kamu’ lucu kan ka? Hehehe dan dengan pemikiranku yang seperti itu aku bisa melewati delapan tahun tanpa kamu, kalau kamu tanya bagaimana perasaan aku, jawabannya enggak tahu, perasaan aku tertinggal di Bandung, pada malam tanggal 2 juni tahun 2017 perasaan aku, rasa sayang aku, harapan aku, semuanya kamu bawa pergi...”

Jihoon melihat ke tv yang tidak menyala didepannya, ia menceritakan semuanya tanpa melihat Soonyoung.

“... jadi kalau ka Jisoo memaksa aku untuk menjalin hubungan dengan orang lain, aku gak bisa, aku gak mau karena akan berakhir dengan hubungan aku tidak melibatkan perasaan apapun dengan orang itu”

Tidak terasa, Jihoon merasakan air matanya mengalir begitu saja. Soonyoung tidak melakukan apapun, meskipun saat ini Soonyoung sangat ingin memeluk Jihoon dan menghapus air mata Jihoon, Soonyoung masih ingin mendengarkan cerita Jihoon, tentang apa yang Jihoon rasakan selama ini.

“mau tau yang lebih lucu gak?” tanya Jihoon kepada Soonyoung, sebelum menceritakan lebih lanjut, Jihoon mengelap air matanya, menghembuskan nafasnya dengan kasar dan ketika sudah siap untuk melanjutkan ceritanya, ia kembali menatap ke arah tv, menatap bayangan Soonyoung yang berada di layar tv.

Jihoon merasakan rasa yang aneh, biasanya ia hanya mampu bercerita dengan dirinya sendiri sambil melihat ke arah bayangannya sendiri yang terdapat di layar tv, tapi sekarang ada bayangan orang lain di tv tersebut.

“aku... makin lama bukannya makin rela, tapi aku malah makin menyesal. Hahaha lucu kan? Padahal aku liat kamu aja gak pernah, tau akun sosial media kamu aja enggak, tahu kabar kamu aja aku enggak. Tapi malah tambah nyesel. Menyesal karena ngelepas kamu ka” Jihoon melihat ke arah Soonyoung, mereka saling menatap mata satu sama lain.

“kalau aku waktu itu bilang ‘iya’ sama ajakan kamu buat kawin lari, apa hidupku bakal lebih mudah ya? Apa hidup aku bakal lebih bahagia ya? Terus aku sadar, semuanya udah telat. Kalau dulu aku tahu rasanya pisah sama kamu kaya gini, dan selama ini......” Jihoon berhenti, kata-katanya tertahan lagi.

“aku gak akan pernah bilang ‘gak mau’ atas ajakan apapun itu yang kamu tawarkan ka.. makanya aku.. kasihan sama diriku sendiri karena a-aku harus merasakan banyak kesedihan dan kesepian gara-gara perkataanku sendiri”

Tangan kiri Jihoon mengusap air matanya sendiri, tangan kananya ia gunakan untuk mengusap air mata yang ada di pipi Soonyoung.

“orang tuh kalau ninggalin pacarnya dengan alasan udah nemuin lagi yang baru, kalau kamu ninggalin aku karena memang udah waktunya buat kita pisah, kamu selalu cari cara buat hubungan kita, kamu selalu usaha supaya kita tetap sama-sama, sedangkan aku cuman diam. Kamu gak ada salah, jangan nangis Ka”

Penyebab dari semua perasaan Jihoon adalah Soonyoung, tapi penyebab dari berakhirnya hubungan mereka bukanlah Soonyoung. Waktu itu, mereka tidak mendapatkan izin dari waktu, dari orang sekitar mereka, bahkan dari semesta.

“cil... gue kira, kalaupun gue bisa ketemu sama lo lagi, lo bakal udah punya seseorang yang nemenin lo. Karena gue selalu mikir ‘siapa sih yang gak suka sama bocil pasti bakal ada lah yang ngejar dia, suka dan sayang sama dia’ gue selalu bilang itu ke diri gue sendiri. Ngeliat lo nangis kaya gini, didepan gue, jujur gue sedih, kenapa sih lo harus nungguin gue? Kenapa lo masih aja suka sama gue yang —Ya Tuhan, Cil diluar banyak yang lebih dari gue. Tapi, disisi lain gue seneng, gue seneng lo tungguin, gue seneng gak lo benci”

Aku kangen kamu

Gue kangen sama lo

Tentang kata yang belum mereka sampaikan. Katanya kata-kata itu tidak perlu disampaikan, mereka sudah mengerti dan paham dengan makna kata tersebut, tapi disini ada Jihoon yang sedari tadi mati-matian menahan mulutnya untuk tidak mengatakan kata-kata tersebut. Ada Soonyoung yang juga masih diam melihat ke arah Jihoon, menunggu apa yang akan Jihoon katakan selanjutnya.

“waktu pertama kali liat kamu, aku pikir kamu masih sama Cici. Makanya aku diam, gak langsung ajak ngobrol kamu, karena... aku tuh nungguin kamu bukan berarti aku bakal ngelakuin apapun buat bisa sama kamu. Kalau emang kamu masih sama Cici, mungkin kita gak akan ngobrol kaya sekarang ya? aku minta maaf karena Lala jadi gak bisa tinggal sama orang tuanya, tapi aku seneng kamu ke jakarta sendirian”

“kamu tahu, aku ketemu sama kamu di kafe ka Jisoo itu bukan kebetulan, aku lagi di kantor ngelihat tweet ka Jisoo, terus aku cepet-cepet keluar cari taxi supaya bisa ketemu sama kamu, pikir aku waktu itu ‘aku mau ketemu, say hi dan udah itu aja’ karena aku pikir kamu masih sama Cici. Lucu gak sih? Aku jadi impulsive banget, cuman gara-gara mau ngelihat kamu. Aku selalu ingin ngelihat kamu ka selama ini, gak mungkin aku sia-siain kesempatan buat ngeliat kamu waktu itu. Sekangen itu aku sama kamu”

Dan Jihoon mengatakannya.

“aku tahu, aku harusnya gak boleh ngomong gini tapi aku kangen sama kamu, tiap hari......Aku selalu berharap kamu datang temuin aku dan gak pergi lagi. Maaf ka, aku juga bakal bilang maaf sa-sama Cici karena udah selalu berharap kamu kembali disamping aku”

“im so s-sorry” lanjut Jihoon, ia menutup mukanya dengan tangan, air matanya sudah tidak bisa ia hentikan.

Tangisnya Jihoon sekarang, sama dengan tangisnya delapan tahun yang lalu, ketika Soonyoung meninggalkan kosannya, atau ketika ia untuk pertamakalinya merasa bahwa ternyata Soonyoung sudah banyak memberikan banyak kebahagiaan dan sekarang telah hilang. Sama dengan perasaan sedih dan rasa bersalah serta penyasalan seperti dulu, untungnya kali ini ia meluapkan kepada Soonyoung secara langsung, membagi semua rasa itu kepada orang yang tepat.

Jihoon tidak menyangka, kalau menceritakannya kepada Soonyoung akan membuatnya merasa seperti ini, rasa bersalah entah untuk siapa saja.

“cil” Soonyoung mendekati Jihoon, ia memegang tangan Jihoon lalu menurunka tangan Jihoon supaya Soonyoung bisa melihat wajah Jihoon lagi.

“cil.. gue juga kangen sama lo mau peluk”

Dan Jihoon memeluk Soonyoung dengan erat, penuh dengan rasa senang dan terharu. Soonyoung mengelus punggung Jihoon, mengucapkan syukur kepada Tuhan, karena mereka bisa merasakan keberadaan orang yang memberikan kehangatan dalam hidup mereka lagi.

comeback,i still need you Let me take your hand, i'll make it right I swear to love you all my life Hold on, I still want you — Chord Overstreet

Kita dan malam minggu; — loslaten

Di mobil itu, ada orang yang sedang merapihkan kaosnya, melihat ke kaca bagaimana keadaan rambutnya, lalu tersenyum dengan bangga merasa dirinya sudah cukup tampan untuk masuk ke dalam sebuah kafe. Sebelum keluar dari mobil, orang itu tidak lupa mengambil satu bungkus rokok yang baru saja ia beli.

“bang dud, cepetan keluar lama amat lo nyisirnya” Kata Mingyu yang sedari tadi menunggu Soonyoung keluar dari mobil. Tidak lama setelah Mingyu mengomel, Soonyoung akhirnya keluar juga dengan penampilan yang cukup simpel, ia memakai kaos hitam dengan jas berwarna hitam juga, warna kesukaannya.

“Juned mana?” tanyanya

“udah masuk dari tadi, biasa cari tempat nyaman buat si Didi” Soonyoung mengangguk, mereka berdua masuk ke dalam. Lumayan ramai, karena hari ini Jisoo memasang diskon untuk beberapa menu di kafenya, terlebih lagi ini merupakan malam minggu.

Ketika mereka masuk, Jun yang sudah duduk bersama Seokmin, Jisoo dan Jihoon melambaikan tangan kearah mereka.

Smoking area, tempat yang sengaja Jisoo pilih karena tahu kalau beberapa dari mereka ada yang merokok. Bukan sekali dua kali mereka berkumpul seperti ini, kecuali Soonyoung yang baru saja datang lagi ke lingkup kehidupan mereka.

Mingyu memberikan bunga kepada Jisoo, sebagai ucapan selamat dan juga sebagai hadiah dari tiga pria yang tidak mau ribet memikirkan hadiah apa yang harus mereka berikan kepada Jisoo. Seokmin yang datang sekitar tiga puluh menit sebelumnya, sudah memberikan bunga kepada Jisoo, Seokmin pada akhirnya membeli bunga ditempat yang berbeda dengan Mingyu.

“Bentar ya jangan dulu pada makan, masih nungguin satu orang lagi” Jisoo mengambil handphonenya, Jihoon sempat bertanya “siapa?” namun Jisoo hanya menjawab “tunggu aja”.

Soonyoung duduk disamping Jihoon, tidak ada hal yang mereka katakan, Soonyoung hanya memperhatikan perbincangan antara teman-temannya, Jihoon pun sama. Karena disana ada Seokmin yang selalu membuat perbincangan terus mengalir, ada Jun dan Mingyu yang sama-sama berisik.

Hal yang Soonyoung syukuri dari teman-temannya kali ini, mereka tidak ada yang mengungkit-ngungkit tentang Jihoon, tidak melakukan hal-hal yang jatohnya akan membuat suasana menjadi canggung antara Soonyoung dan Jihoon. Hanya tadi satu kali saja, ketika Soonyoung mau duduk, Mingyu menyuruhnya duduk disamping Jihoon, itu saja. Sisanya mereka bertingkah seperti sudah terbiasa ada Soonyoung disekitar Jihoon.

“Semuanya kenalin, ini Seungcheol” Jihoon melihat ke arah belakangnya, disana ada Jisoo yang ternyata kalimat ‘masih nungguin satu orang’ itu adalah untuk Seungcheol.

“kalian mau pisah meja aja apa gimana?” tanya Jisoo kepada Jihoon dan juga Seungcheol

Soonyoung memperhatikan mereka, Seungcheol yang terlihat senang dan Jihoon yang sedikit terlihat kesal. Disinilah untuk pertama kalinya Seokmin dan Jun yang tahu siapa itu Seungcheol, memasang wajah yang kurang nyaman juga, bukan kurang nyaman karena kebaradaan Seungcheol yang tiba-tiba menjadi tamunya Jisoo, tapi mereka tahu kalau Jisoo selama ini mencoba menjodohkan Jihoon dengan Seungcheol, Seokmin dan Jun juga tahu kalau Seungcheol memiliki ketertarikan terhadap Jihoon. Tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan, ini acaranya Jisoo, dia yang berhak mengundang siapa saja, sehingga Seokmin dan Jun hanya saling melihat satu sama lain, mereka merasa tidak enak kepada Soonyoung.

Dan disitu, ada satu orang yang mudah membaca situasi, dia yang paham makna dari perkataan Jisoo serta gerak-gerik dari orang yang baru saja datang itu. Soonyoung berdiri, ia menggeser kursinya, berdiri dihadapan Seungcheol.

“Soonyuung” katanya, lalu ia menjabat tangan Seungcheol

“lo mau duduk disini? Gue pindah kesana aja” lanjutnya lagi, Soonyoung mempersilahkan Seungcheol untuk duduk dipinggir Jihoon, dan ia berpindah duduk disamping Jun dan juga Seokmin, posisi Soonyoung dan Jihoon sekarang menjadi berhadapan.

Soonyoung bisa melihat dengan jelas bagaimana Jihoon dan Seungcheol berinteraksi, dan itu tujuannya ketika ia tadi menyuruh Seungcheol untuk duduk ditempatnya.

Jihoon tidak mengatakan apapun, hanya saja dalam pikrinannya ia terus menebak apa yang sedang Soonyoung lakukan. Ketika Soonyoung berdiri dan berjalan ke arah Jun dan Seokmin, mata Jihoon masih mengikuti pergerakan Soonyoung, sampai Soonyoung duduk pun dan pandangan mereka bertemu lagi.

“apa?” tanya Soonyoung kepada Jihoon tanpa suara dan Jihoon hanya membalasnya dengan memutarkan bola matanya, Jihoon terlihat kesal.

Disela acara makan mereka, Seokmin selalu mengganggu Soonyoung, bukan mengganggu yang membuat Soonyoung tidak nyaman, tapi Seokmin terus berbisik kepada Soonyoung.

“Dud, dia yang suka sama si bocil” dibalas dengan anggukan oleh Soonyoung

“Kenapa lu pindah kesini?” tanya Seokmin lagi

Soonyoung berbisik kepada Seokmin “pengen liat aja si bocil ngerespon apa enggak, biar keliatan jelas kalau dari sini”

Oleh karenanya, pandangan Soonyoung selalu tertuju kepada Jihoon yang saat ini terlihat risih karena Seungcheol yang memperlakukan Jihoon dengan lembut. Pemandangan didepan Soonyoung ini, sedang menunjukan Seungcheol yang selalu memperhatikan Jihoon, memberikan makanan ke piring Jihoon, bertanya hal-hal kecil kepada Jihoon, dan Jihoon hanya bisa mengucapkan terimakasih sebagai balasan dari semua tindakan Seungcheol.

“iya mas, sudah cukup, makasih” Perkataan Jihoon itu membuat Soonyoung berhenti menyuapkan makanan kemulutnya sendiri.

“mas?” tanya Soonyoung kepada Jihoon, masih tanpa suara.

“atasanku” jawab Jihoon, sama ia juga mengucapkan jawabannya tanpa suara.

Semua orang yang sedang menikmati makan malam satu meja dengan Soonyoung dan Jihoon sadar, sadar kalau Jihoon dan Soonyoung yang saling memperhatikan satu sama lain, mereka sadar kalau Soonyoung berbicara kepada Jihoon tanpa mengeluarkan suara. Seungcheol pun sadar, ia juga bisa melihat, kalau Soonyoung dan Jihoon sedang melakukan interaksi yang patut ia curigai.

Seakan tidak perduli dengan pandangan Jisoo kepada dirinya, Soonyoung masih terus menatap Jihoon yang juga dibalas oleh tatapan Jihoon, yang fokusnya masih kepada orang yang ada didepannya.

Malam ini, mereka sudah mempunyai rencana. Untuk saling terbuka dan kembali mendengar cerita dari masing-masing, yang pengalaman dan jalan hidupnya berbeda.

Soonyoung mengambil air mineral dan meminumnya, apapun kegiatan yang sedang Soonyoung lakukan, hanya tangannya yang bergerak sedangkan tatapannya masih fokus kepada Jihoon. Jihoon juga tidak mau kalah, meskipun ada Seungcheol dipinggirnya yang selalu mencoba mendapakan perhatian Jihoon, sangat tidak beruntung seorang Seungcheol malam ini, karena fokus Jihoon juga hanya tertuju untuk Soonyoung.

Tidak ada hal yang unik ataupun sesuatu yang menarik yang bisa terus-terusan diperhatikan, hanya saja dimata Jihoon, melihat Soonyoung yang saat ini sedang mengeluarkan satu batang rokok dari saku jas yang sedang Soonyoung pakai, membuat Jihoon ingin terus memperhatikan Soonyoung.

Di mata Jihoon ada hal yang berbeda dari cara Soonyoung menyalakan rokok itu, sampai Jihoon tidak mau mendengarkan perkataan orang yang berada disampingnya, semua fokusnya sedang tertuju kepada Soonyoung yang sedang menatapnya juga sambil menghembuskan asap rokok beberapa kali, tapi matanya masih tetap fokus kemata Jihoon.

Mereka yang masih tidak mau mengeluarkan suaranya ketika berbiacara.

“apa?” tanya Soonyoung dan Jihoon hanya menggelengkan kepalanya sebagai respon.

“Jihoon, masih mau makan?” itu suara Seungcheol, yang membuat Jihoon mau tidak mau harus mengalihkan fokusnya sebentar.

“enggak mas, makasih” katanya, menolak dengan lembut.

Di ujung sana, ada Sonyoung yang malah tersenyum kepada Jihoon. Soonyoung menghisap rokoknya untuk yang terakhir kali sebelum ia mematikan rokoknya tersebut. Mengeluarkan asap dari mulutnya, lalu ia senyum menyeringai kepada Jihoon.

“Ned, lo balik bisa sendiri kan?” tanya Soonyoung

“Ada urusan lo?, kalau gue sih gampang bisa sama si Mingyu juga”

“iya ada urusan” Soonyoung berdiri, ia berpamitan kepada Jisoo

“Soo gue pulang dulu ya, ada janji. Makasih makan malamnya, happy anniv buat kafe lo, sukses terus”

“okay nyong, hati-hati di jalan”

Soonyoung lalu pergi, meninggalkan Jihoon yang masih duduk disana. Dalam keadaan seperti ini, Jihoon bingung harus berbicara dengan Jisoo dulu atau tidak, ditambah lagi Soonyoung tiba-tiba saja memutuskan untuk pergi dari kafe secepat ini, Jihoon pikir mereka akan pergi setelah jam sepuluh malam ketika sudah puas merayakan hari jadinya kafe Jisoo. Tapi, Soonyoung malah sudah keluar ketika baru saja selesai makan, dan sekarang baru saja jam delapan malam.

“Ka Jisoo, aku juga mau pergi. Ada janji” Jihoon memilih untuk izin dulu kepada Jisoo dan ketika Jihoon hendak berdiri, tangannya ditahan oleh Seungcheol.

“Mau kemana? Saya antar?”

“Enggak usah, mas. Duluan ya” pamit Jihoon, ia tergesa-gesa berdiri dan keluar dari kafe.

“Buru-buru banget mau kemana sih?” tanya Jisoo yang ternyata mengikuti Jihoon dari belakang. Jihoon tidak menjawab, ia masih terus berjalan. Sampai akhirnya mereka berdua sampai didepan kafe, Jisoo bisa melihat Soonyoung yang sedang berdiri didepan mobilnya. Seperti sedang menunggu seseorang untuk datang kepadanya.

“Ka aku pergi dulu ya” kata Jihoon, yang langsung pergi berjalan dengan cepat ke arah Sonnyoung .

Sebelum masuk ke dalam mobil Soonyoung, Jihoon melambaikan tangannya ke arah Jisoo, tersenyum kepada Jisoo, seolah mengatakan ‘jangan khawatir, lihat...aku senang’.

Di mobil itu, Soonyoung melihat ke arah Jihoon yang baru saja duduk disampingnya. Melihat bagaimana Jihoon tersenyum kepadanya, melihat Jihoon yang tidak sabar untuk menuju ke tempat selanjutnya yang entah mau kemana, karena Soonyoung pun belum memikirkan dimana tempat yang cocok untuk mereka berdua mengobrol.

“mau kemana?” tanya Jihoon, ia baru saja memasangkan seat belt.

“gak tau, gue kan bilang ngikut aja”

“ehm, ketempat kamu atau ketempat aku?”

“hah?”

“maksudnya, ke rumah kamu atau ke apartemen aku?”

“lo maunya dimana cil?”

“apartemen aku?”

“yaudah ayo”

Dan di mobil itu, Jihoon memberikan alamat apartemennya kepada Soonyoung, mengajak orang lain selain Jisoo dan Jeonghan ke tempat paling privasi dalam hidup Jihoon. Ya, tapi ini Soonyoung, orang yang dari dulu selalu berdiam diri ditempat privasinya Jihoon, yang bahkan Soonyoung memiliki kunci kosan Jihoon sewaktu mereka masih berpacaran ketika kuliah. Untuk saat ini pun masih sama, kalau mau, Soonyoung boleh masuk dan keluar dengan bebas ke apartemen Jihoon, tidak ada yang keberatan.

pertemuan pertama —

“hari ini kita makan siang sama teman papi, lala mau kan?” tanya Soonyoung, ia sedang merapihkan rambut Lala yang tadi berantakan karena baru selesai bermain petak umpet dengan Bibi, orang yang ditugaskan untuk menjaga dan mengasuh Lala kalau Soonyoung sudah mulai bekerja lagi.

Sudah dua hari semenjak Lala sembuh dari demam, sesuai dengan rencana yang telah Soonyoung susun bahwa ia akan mendatangi cafe Jisoo bersama Lala. Soonyoung ingin segera menyelesaikan agenda ‘bertemu dan makan siang dengan teman lama’ sebelum ia kembali dipusingkan dengan urusan perusahaan.

Lala mengangguk, setuju dengan ajakan Soonyoung. Mereka sudah terbiasa bepergian berdua, sewaktu di Surabaya pun Lala lebih sering dengan pengasuh dan juga Papinya. Sedangkan Evelyn atau ci Vel, dia sangat sibuk dan itu membuatnya jarang sekali menghabiskan waktu bersama Lala. Makanya ketika ditanya “Lala mau ikut sama siapa? Ke Jakarta sama papi atau disini sama mami?” jawabannya sudah jelas, bahkan Lala hanya terdiam beberapa saat sebelum ia menjawab “mau sama papi”.

“Lala mau ganti baju dulu sama bibi”

Lala bergegas mencari bibi pengasuh, menarik tangan bibi dan membawanya ke kamar “baju yang cantik mau main kelual sama papi” katanya. Anak kecil dan kebahagiaannya ketika mau diajak pergi keluar.

Kalau kata Soonyoung, Lala itu bukan tipe anak yang pendiam tapi lebih ke tipe anak yang cerewet yang dibarengi dengan kesopanan. Cerewetnya ke hal-hal tertentu saja, misalkan kalau Soonyoung sedang meceritakan cerita sebelum tidur bukannya mengantuk, Lala malah akan bertanya tentang banyak hal. Lala gampang sekali penasaran, dia anak yang pintar beradaptasi dengan lingkungan dan gampang bersosialisasi dengan orang lain.

Ketika Lala mengganti bajunya, Soonyoung yang sudah siap, berdiri diambang pintu memperhatikan anaknya, ia selalu tersenyum karena Lala sangat menggemaskan, semua orang yang sudah tahu Lala pun sependapat dengan Soonyoung.

“yuk” Kata Lala, ia memegang tangan Soonyoung.

“ayok” Soonyoung mengelus kepala Lala sebelum mereka berjalan keluar rumah.

——

Kalau waktu kuliah, Soonyoung merupakan orang yang petakilan, banyak bercanda, setiap perkatannya juga kadang hanya akan membuat orang lain menggelengkan kepala mereka. Soonyoung yang beberapa tahun lalu, ketika bertemu dengan anak kecil mungkin akan menjahilinya sampai anak kecil itu menangis. Jun dan Seokmin yang selalu menjadi partner kegilaannya selama masa kuliah masih ingat dengan hal-hal random yang mereka lakukan, begitupun dengan Jisoo, ia mengingat banyak sekali hal yang membuatnya jengkel dengan kelakuan mereka bertiga. Dan menurut Jisoo, Soonyoung yang sekarang berada dihadapannya sangat berbeda dengan Soonyoung yang ia kenal 8 tahun lalu.

“Iya kan? Sumpah kamu beda banget. Maksudnya gimana ya, Seokmin masih sama aja perasaan suka bercandanya, Jun juga masih suka bercanda meskipun gak separah Seokmin sih”

“Ya ini, alasannya dipinggir” kata Soonyoung mengarahkan pandangannya kepada Lala dan Lala tersenyum balik kepada papinya.

“Tadinya aku berencana mau marah, tapi karena ada Lala, gak jadi deh” Jisoo berbisik

“hahaha iya jangan, nanti aja” kata Soonyoung

Setelah tadi Jisoo berkenalan dengan Lala, sekarang mereka hanya perlu menghabiskan makanan yang sudah Jisoo sediakan. Soonyoung memperlambat cara ia makan sesuai dengan kecepatan Lala mengunyah makanannya, karena Lala tidak suka kalau harus makan sendirian.

“Lala suka gak sama makanannya?” tanya Jisoo

“suka, apapun suka..asal makannya sama papi, lala suka”

Disaat itulah rasa sebal dihati Jisoo terhadap Soonyoung telah sedikit menghilang, berubah dengan rasa bangga karena Soonyoung sudah membesarkan anak dengan kepribadian yang baik. Jisoo bahkan sempat terharu, sampai ia rasanya mau menangis karena melihat temannya yang tidak pernah ia harapkan menjadi orang tua yang baik bagi anak mereka kelak ternyata malah menjadi contoh buat dirinya sendiri. Karena melihat dari sikap dan sifat Lala, sepertinya Soonyoung sudah menjadi orang tua yang baik dan disayangi oleh anaknya.

Mereka mengobrol banyak hal, diantaranya tentang hubungan Jisoo dengan Seokmin, Soonyoung sendiri kagum dengan mereka berdua karena bisa mempertahankan hubungan yang sudah lama terjalin dengan baik-baik saja. Sangat berbeda dengan dirinya, yang sudah putus dengan pacar (sewaktu kuliah)dan sudah bercerai dengan istrinya yang ia nikahi setelah ia selesai kuliah.

Jisoo ingin bertanya banyak hal, tapi ia urungkan karena ada Lala, Jisoo berpikir mungkin ia akan bertanya lain kali saja kalau bertemu lagi dengan Soonyoung.

Waktu sudah menunjukan 12.45 mereka sudah selesai makan dan sedang menikmati dessert favorite Lala yaitu pudding.

“Ka Jisoo” suara seseorang masuk ke dalam cafe.

Seseorang yang sering Jisoo lihat dan seseorang yang sangat ingin Soonyoung lihat itu masuk dengan tergesa-gesa. Lalu orang itu terdiam sejenak ketika melihat ada Soonyoung yang sedang duduk disamping Jisoo.

“Oh...Jihoon” Jisoo langsung berdiri, dia kaget tentu saja karena selama ini Jihoon tidak pernah datang ketika jam makan siang.

“Ngapain kesini?” tanyanya lagi Jihoon masih terdiam, belum menjawab pertanyaan Jisoo, matanya fokus ke orang lain. Mereka berdua dipertemukan untuk yang pertama kalinya lagi setelah bertahun-tahun, Jihoon yang kaget begitupun dengan Soonyoung. Mereka saling menatap satu sama lain, sorot matanya bertemu dengan mata yang sudah lama ingin ditemui.

“Hi” kata Jihoon, hanya kata itu yang bisa ucapkan ketika melihat Soonyoung didepannya.

“cil” dan begitupun dengan Soonyoung, hanya kata itu yang bisa ia ucapkan.

“ehm... aku tadi ada acara diluar terus aku kesini soalnya deket...” jelas Jihoon ia mengalihkan pandangannya ke arah Jisoo.

“Kakak cil?” tanya Lala, memotong penjelasan Jihoon mengenai kenapa dia bisa berada di cafenya Jisoo saat ini.

“iya?” jawab Jihoon

Soonyoung terlihat panik, dia yakin kalau Lala akan mengingat hal-hal yang telah dia katakan kepada Lala, dan Soonyoung juga yakin kalau Lala akan mulai membobardir Jihoon dengan banyak pertanyaan.

“Kakak cil, pi?” tanya Lala lagi, kali ini kepada Soonyoung. Lala tersenyum, ia terlihat sangat senang, apalagi ketika Soonyoung mengangguk, memberikan konfirmasi kalau iya itu adalah ‘kakak cil’ yang selama ini Lala tahu.

“Aku, mau pesan minuman buat dibawa ke kantor, cuman mampir sebentar ko kak” kata Jihoon, entah kalimat itu untuk siapa

“Yaudah, duduk dulu sini, sambil nunggu minumannya dibuatin” kata Jisoo

Setelah Jihoon memesan minuman, ia menghampiri Jisoo, Soonyoung dan juga Lala. Orang yang sangat antusias ketika melihat Jihoon, Lala menyambutnya dengan sangat baik. Entah kenapa, hal itu membuat Jihoon sangat senang, kehadirannya membuat Lala terlihat begitu bahagia.

Jihoon duduk bersebrangan dengan Lala, sedari tadi Lala masih terus menatapnya dengan senyuman, membuat Jihoon juga ikut tersenyum kepada anak kecil berusia lima tahun itu.

“Papi, lala mau tanya sesuatu sama kak cil... boleh?”

“pertanyaannya jangan banyak-banyak, kakaknya lagi sibuk” kata Soonyoung dan Lala mengangguk

“boleh?” tanyanya lagi, kali ini ia bertanya langsung kepada Jihoon

“boleh” jawab Jihoon

Untung ada Lala, suasananya jadi tidak secanggung yang dipikirkan oleh Jisoo. Meskipun tidak bisa dipungkiri kalau Soonyoung dan Jihoon terlihat kaku dan kurang nyaman dengan situasi seperti ini.

“kata papi, kakak cil itu pintel, kalau lala tanya apapun pasti kak cil bisa jawab gak kaya papi”

Jisoo tertawa mendengar pernyataan dari Lala, entahlah sepertinya memang ada yang lucu dengan cara Lala mengatakan hal tersebut. Di sisi lain, Soonyoung yang malu karena Lala terlalu blak-blakan, ternyata memang benar kalau anak kecil itu akan berbicara seadanya.

“memang lala mau tanya apa?” tanya Jihoon

“banyaaaak, bintang-bintang, langit, telus awannya...ehmmm matahalinya...banyak kan? Hehehe”

“Lala mau diceritain yang mana dulu?”

Lala terlihat berpikir sebentar, ia sedang memililih hal apa dulu yang mau ia dengar dari Jihoon.

“matahali?” tanyanya ragu-ragu

“Matahari?...tau gak sih la, dulu itu matahari dianggap enggak penting sama orang-orang katanya ‘ah cuman bintang kecil doang’, tapi kalau sekarang ......”

Jihoon menjelaskan tentang matahari kepada Lala dengan bahasa yang mudah dimengerti bagi anak seusianya, Lala terlihat sangat antusias, ia fokus mendengarkan setiap perkataan Jihoon. Lala juga terkadang meminta izin untuk bertanya lagi ketika Jihoon selesai menjelaskan sedikit demi sedikit hal yang baru saja Lala pelajari tersebut.

Disisi lain, Jisoo juga fokus mendengarkan dan melihat ke arah Lala, ikut tersenyum ketika Lala dan Jihoon saling tertawa karena candaan dari Jihoon. Sedangkan Soonyoung, matanya malah fokus mencari sesuatu diluar cafe, ia ingin memastikan sesuatu. Setelah beberapa hari yang lalu ia diberi nasihat oleh cici, maka dia akan memastikannya saat ini juga.

“lhaa masa gitu doang kamu udah panik, ya ditanya dulu lho. Partnernya itu partner apa? Kan partner itu banyak”

“ah kamu kalau urusan Jihoon suka gak karuan”

”jangan negatif thinking terus lho, ditanyain dulu”

“wes pokoknya gak boleh gegabah, komunikasi dulu, dicari tahu dulu”

Kata-kata dari cici terus terngiang, Soonyoung masih memikirkanya, haruskah dia bertanyaa sekarang juga? Didepan anaknya dan juga Jisoo?

“Kak Jihoon pesanannya sudah selesai” suara dari pelayan yang membawakan minuman Jihoon membuyarkan lamunan Soonyoung.

“Oh, okay terimakasih ya” jawab Jihoon kepada pelayan yang tadi datang ke meja mereka.

“Aku harus kembali kekantor” Jihoon berbicara kepada Jisoo dan juga kepada Lala tentunya yang masih ingin mendengarkan tentang banyak hal dari Jihoon.

“nanti kalau ketemu lagi aku lanjutin ya”

Lala mengangguk, tapi dia sedikit cemberut. Soalnya tadi dia lagi asik-asiknya mendengarkan Jihoon, tiba-tiba dipotong begitu saja oleh orang lain.

Ketika Jihoon hendak berdiri, Lala menggenggam tangan Jihoon.

“Lala, boleh telpon?” tanyanya

Jihoon terlihat bingung untuk menjawab, Jisoo hanya menggelengkan kepalanya memberikan isyarat kepada Jihoon untuk menolak yang Lala inginkan.

“Kakaknya sibuk, dia juga kerja, kasian kalau nanti masih harus telponan sama lala” jelas Soonyoung

“lala kan cuman mau tanya sebental, gak lama papi” kata Lala, nadanya sedikit bergetar, tapi Soonyoung juga tidak enak dengan Jihoon.

“Enggak, gak usah ya la, nanti – “

“boleh, nanti malam mau telponan sama aku?” Jihoon memotong perkataan Soonyoung, Lala langsung melihat ke arah Jihoon lagi dan ia mengatakan “mau” kembali dengan nada cerianya.

“papi, lala boleh pinjam hapenya?”

Tidak ada yang bisa Soonyoung lakukan selain Soonyoung dengan ragu mengeluarkan handphonenya yang sudah diunlock dan diberikan kepada Lala, apapun akan selalu Soonyoung turuti kalau itu kemauan Lala.

“ini kak cil, nanti namanya ‘kakak cil’ ya bial lala kalau mau telpon gampang calinya”

Jihoon mengambil handphone Soonyoung dari tangan Lala, mengetikan nomornya dan menamakan nama kontaknya sendiri. Setelah selesai, Jihoon memberikannya lagi kepada Lala.

“nanti malam angkat telpon aku ya, makasih kakak cil” kata Lala, Jihoon tersenyum kepada Lala, mengusap kepala anak itu sebentar lalu ia berpamitan untuk pergi ke kantornya lagi. Sedangkan Soonyoung ia hanya bisa menutupi mukanya, telinganya sudah sangat merah, mukanya tiba-tiba terasa panas.

Jisoo mengantarkan Jihoon keluar, bisa terlihat oleh Soonyoung dari dalam cafe, kalau Jisoo sedang mengomel.

”diomelin karena ngasih nomer hp kah?” tanyanya dalam hati.

Tapi Soonyoung paham, kenapa Jisoo seperti itu. Untuk menjaga Jihoon, mungkin dari dirinya atau dari Lala, supaya tidak terlalu dekat dengan mereka.

Soonyoung bisa memastikan tiga hal hari ini, kalau Jihoon sepertinya masih sendiri dan Jisoo tidak terlalu menyukai keberadaannya yang terlalu dekat dengan Jihoon. Hal ketiga yang membuatnya sangat bahagia dan bersyukur adalah karena Lala ternyata menyukai Jihoon lebih dari yang Soonyoung bayangkan.

— Bagaimana perasaan kalian ketika bertemu lagi?

“ya seneng aja bisa lihat lagi, lega juga ternyata selama ini dia baik-baik aja”

“gue sih degdegan, jantung gue keknya mau copot deh pas kita saling tatap tuh” —loslaten

J = Jihoon K = Konselor

record : 30 Jan, 2021. 09.00-10.00 / Sesi ketiga dari – pertemuan

J : “susah sih sebenernya ngejalanin PR-nya, tapi aku banyak yang bantuin jadi semangat lagi”

K : “bagus dong kalau begitu, saya jadi ikut senang dan bangga sama cara Jihoon menjalani PR yang diberikan. Jadi, gimana? Masih ada yang mau ditanyakan? Atau ada yang mau diceritain lagi?”

Jihoon : “mau cerita, bapak tau kan? Kalau ada yang namanya midnight sun, fenomena dimana matahari yang masih bersinar saat tengah malam. Aku lagi nonton youtube dan nonton video-video tentang midnight sun. Terus tiba-tiba keinget sama seseorang yang menurut aku dia tuh kaya sosok manusia dari fenomena midnight sun. 24 jam dengan cahaya matahari, cerah terus ngasih banyak kehangatan dan gak pernah hilang. Dia kaya gitu banget menurut aku, terdengar cringe tapi aku ngerasanya kaya gitu. Sangat berbanding terbalik sama aku”

K “ so, you’re the polar night?”

J : haha bisa dibilang begitu, keadaan dimana 24 jam itu malam semua, gak ada matahari. Kaya padam aja. iya kan?

K : “terus jihoon menyadari sesuatu?”

J : “ iya, sadar banyak perbedaan diantara kita. Tapi... aku juga sadar sesuatu, gak tahu sejak kapan tapi kayanya aku bukan polar night lagi”

K : “ banyak cahaya dari dia yang masuk?”

J : “iya”

record : 24 April, 2021. 09.00-10.00 / Sesi kedelapan dari – pertemuan

Jihoon menceritakan tentang permasalahan keluarganya, semuanya tanpa ada yang ia tutupi. Sampai ia mendapat kesimpulan bahwa ia juga harus membawa Ayahnya ke psikolog keluarga, untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Supaya Jihoon tidak tertekan dan Ayahnya bisa mengerti dengan keadaan Jihoon.

Sudah lebih dari satu jam Jihoon masih terus bercerita, dia sudah merasa nyaman menceritakan tentang hidupnya dan permasalahan yang menimpa dirinya. Entah perbincangan apa yang memicu Jihoon sehingga ia selalu ingin membicarakan tentang perasaannya.

J : “ aku degdegan”

K : “kenapa?”

J : “waktu dia cium kening aku, kaya baru pertama kali dicium di kening, aku bingung tapi kata temenku aku udah pernah dicium dikening. Aku punya perasaan ya sama dia?”

K : “ Soonyoung kan?”

J : “iya”

K : “Jihoon ngerasain sesuatu yang beda gak? Antara kamu ketika sama temenmu dan kamu ketika sama Soonyoung?”

J : “iya, aku juga jadi sering degdegan, terus takut kalau dia marah, terus aku jadi tambah takut kalau suatu hari dia bakal ninggalin aku”

record : 15 May, 2021. 09.00-10.00 / diakhir sesi kesembilan dari – pertemuan

J : “kayanya aku beneran punya perasaan yang beda deh kalau ke Soonyoung”


When it’s been cloudy everyday, when i actually didn’t see a glimpse of the sun for over a year. But just a few months ago, and in the beginning of 2021 i got to feel the sunlight on my face again. And you know the feeling, it’s warm and always overwhelming. It’s like seeing the sun for the first time in my life.

Bisa dibilang, mungkin itulah gambaran yang tepat untuk Soonyoung dimata Jihoon. Yang selalu memberikan perasaan berlebih, selalu membuat Jihoon merasa nyaman. Dan Jihoon sangat bersyukur untuk itu, untuk segala hal yang telah Soonyoung lakukan selama mereka saling mengenal sampai akhirnya sekarang status merekapun sudah berubah.

Perasaanya memang sudah ada dari lama, hanya saja Jihoon tidak yakin dan juga dia masih ragu apakah dia bisa melepas prinsipnya itu atau tidak. Waktu terus berjalan, masalah selalu ada. Jihoon akhirnya paham tentang prinsipnya dan juga ketakutannya, sampai ia berada di titik sudah berani mengatakan segalanya dan tidak terikat dengan prinsip abu-abu yang sekarang sudah hilang digantikan dengan perasaan baru terhadap Soonyoung dan kebahagiaan yang selelau datang kepadanya.

Pun sebaliknya. Soonyoung yang selalu merasakan kebahagiaan ketika ia berbagi dengan orang lain. Ia juga merasakan kebahagiaan ketika ia bisa membantu Jihoon dan sampai akhirnya bisa berbagi perasaan dengan Jihoon. Katanya sih, malam itu bisa dibilang malam yang tidak akan pernah Soonyoung lupkan. Bagaimana Jihoon yang memiliki inisiatif untuk membawa hubungan mereka ke arah yang lebih jelas. Soonyoung tidak pernah menyangka, akan secepat itu dan dia tidak protes karena dia sangat bahagia.

Lalu ada satu moment lagi, yang membuat Soonyoung merasa terharu. Waktu itu, ketika ia harus pergi melaksanakan tugasnya sebagai relawan. Jihoon tiba-tiba mengiriminya pesan yang berisikan lirik lagu.

[baby, you are strong, you are wise]

[you are worth beyond a thousand reasons why]

[and you can’t be perfect, cause nobody’s perfect]

[but there’s nobody in the world like you]

[abaikan ini cringe tapi itu lirik lagu terus mau aku kirim aja]

Soonyoung tertawa ketika melihat pesan terakhir dari Jihoon, ya memang Jihoon seperti itu, caranya menunjukan kasih sayang kadang tidak tertebak oleh Soonyoung. Banyak cara-cara yang biasa tapi Jihoon tidak pernah melakukannya. Dan lagi, Soonyoung tidak akan pernah protes. Cara mencintai setiap orang berbeda-beda, menurut Soonyoung apapun caranya asalkan sampai kepada yang merasakan, itu sudah cukup.

Kalau suatu hari nanti mereka diterpa lagi oleh masalah, tidak apa-apa. Hidup kan begitu, masa mau bahagia terus. Dia hanya yakin satu hal, kalau dia dan Jihoon pasti bisa melewati permasalahan yang entah kapan akan datang itu. untuk saat ini, mereka berdua sedang menikmati masa-masa pacaran lebih jelasnya masa-masa baru jadian.

Soonyoung selalu mengatakan terima kasih untuk Jihoon karena sudah mau berubah. Dan Jihoon selalu mengatakan terima kasih karena Soonyoung sudah mau mengerti keadaannya. Tidak ada kata maaf, mereka hanya bersyukur atas kehadiran satu sama lain.

Malam itu, ketika mereka berbicara untuk pertamakalinya setelah selama dua minggu mereka tidak saling menghubungi satu sama lain.

Malam dimana Soonyoung dan Jihoon sudah berhasil membuat kemauan mereka menjadi lebih jelas dan diterima oleh satu sama lain.

Ketika Soonyoung mengatakan “jadi kita mau temenan lagi?” dan Jihoon menjawab dengan “okey”

Saat Soonyoung sendiri tidak bisa menjamin hubungannya dengan Jihoon akan maju ke tahap selanjutnya atau tidak, saat Soonyoung sudah pasrah tentang status ‘pacaran’ dan membiarkannya saja yang terpenting sekarang Jihoon dan dirinya sudah bisa bersama lagi meskipun tanpa status itu.

“kita mau nunggu mereka di sini? Atau mau ke mobil aja?” tanya Soonyoung

“mereka masih lama tau, 50 menitan lagi, masuk mobil aja yuk aku mau nyender” jawab Jihoon

Dan mereka, pergi menuju mobil Soonyoung. Setelah mereka masuk mobil, Jihoon memperhatikan Soonyoung yang sedikit terlihat lelah, Jihoon juga baru sadar kalau Soonyoung sampai ke kosannya hari ini, yang dia sendiri tidak tahu Soonyoung sempat istirahat dulu atau tidak ketika ia datang ke acara Jakarta Simfonia.

“kamu sampai jam berapa tadi?” tanya Jihoon

“jam 3 sore, di kosan udah ada Babeh sama Jinjin. Udah disiapin baju dan bunganya”

“oh jadi ini bunga dari babeh?”

“Babeh juga bawa lagi, itu yang beli Babeh tapi tetep aja itu dari aku”

“bisa gitu ya?”

“aku beliin kamu yupi di kosan tapi kagak aku bawa”

“yang strawberry kiss kan?”

“iya” jawabnya singkat

“kalau capek kenapa datang, kenapa gak istirahat aja”

“kalau aku kagak datang, mana bisa baikan”

Dan Jihoon setuju dengan perkataan Soonyoung, karena jika malam ini Soonyoung tidak datang, Jihoon pasti akan merasa sedih dan kesal, Jihoon juga tidak ada rencana untuk datang ke kosan Soonyoung. Pasti mereka untuk menuju ke moment 'baikannya' masih lama lagi, kalau bukan karena Soonyoung malam ini datang ke acara Jakarta Simfonia.

Hening, tiba-tiba saja Jihoon memikirkan sesuatu. Sepertinya ada yang ganjal, ini bukan yang dia harapkan kalau dirinya sudah selesai menyampaikan unek-unek dan apa yang dia inginkan kepada Soonyoung.

“ehmm... “

“kenapa?” tanya Soonyoung, ia menyadari kalau Jihoon sepertinya masih ada yang mau disampaikan tapi terlihat ragu.

”aku kan bilang, gak takut pacaran dan udah gak papa. Kenapa kamu tadi ngajaknya temenan lagi?”

Soonyoung kaget, dia diam sesaat sampai tidak tahu harus menjawab pertanyaan Jihoon bagaimana. Karena Soonyoung tidak pernah memikirkan Jihoon akan mengatakan hal tersebut dan dia belum ada persiapan apapun kalau harus mengatakan hal yang Jihoon maksud malam ini.

“katanya mau tapi gak ditanyain, gimana sih. Harus aku gitu?” tanya Jihoon lagi

“kamu serius?”

“kamu nanya yang mana ini?” tanya Jihoon balik

“sebentar” kata Soonyoung, dia masih kebingungan.

“aku udah tau sebenernya cuman mau denger lagi aja, lagian kamu gak perlu nyiapin kata-kata yang sok sok romantis, aku juga gak perlu janji-janji manis kaya orang-orang kalau di sinetron nembaknya suka ada embel-embel janji. Aku udah tau kamu gimana selama setahun ini”

“tapi kagak apa-apa emang? Maksudnya kamu punya status itu mau?”

“lagian setelah dua minggu ini mikir, mau ada status mau enggak tetep aja aku sedih kalau kamu tinggalin. Kaya... yaudah gitu sekalian aja punya status kalau bisa bikin kamu gak kemana-mana, maksudnya bukan karena mau ngelarang-larang kamu juga cuman kaya apa ya... biar kamu juga bisa ngerasain disayang sama aku, bukan aku terus yang disayang sama kamu.. ya intinya.. ya gitu deh pokoknya”

“tapi suka? Sama aku maksudnya”

“suka”

“sejak kapan? Kalau aku kan dari awal ketemu juga udah suka”

“mmm... gak tau, lupa”

Soonyoung merubah posisi duduknya, sekarang ia dan Jihoon sudah saling berhadapan.

“aku degdegan, padahal udah tau jawabannya” kata Soonyoung

“aku juga degdegan, padahal udah tau kamu mau nanya apa”

“jadi...” Soonyoung memberikan jeda “Jihoon mau kagak pacaran sama aku? Tolong jangan ditolak lagi”

“kan udah tau jawabannya ko masih ngomong jangan ditolak, ya gak bakal lah”

“jadi?”

“ya mau, pacaran berarti”

Soonyoung tersenyum, ia sangat lega. Jihoon pun sama, dia bahkan merasa bangga dengan dirinya sendiri.

“kamu bangga gak sih sama aku? Maksudnya aku udah banyak berubah selama setahun ini” dan Soonyoung mengangguk, setuju dengan apa yang Jihoon katakan.

Tentu saja Soonyoung sangat bangga dengan perubahan Jihoon, yang semoga saja perubahannya bisa membuat Jihoon lebih bahagia. Dengan status baru mereka, Soonyoung berharap hanya akan ada kebahagiaan yang selalu menyertai mereka, meskipun dia sendiri paham, pasti akan ada masalah tapi Soonyoung yakin dia bisa menghadapinya, masalah terbesar dalam hubungan mereka sudah mereka lalui sebelumnya, dari mulai Jihoon yang tidak mau berpacaran sampai beda prinsip yang selalu menghalangi mereka. Dan akhirnya mereka sudah memperjelas hal-hal yang sbeelumnya terlihat keruh itu. Butuh waktu hampir satu tahun, cukup lama tapi Soonyoung merasa itu waktu yang pas untuk membuat semua keadaan menjadi lebih baik seperti sekarang.

“jujur aku degdegan karena seneng, takut terus kepikiran gimana nanti kedepannya” kata Jihoon ketika ia mendekat dan memeluk Soonyoung. Mereka duduk dikursi belakang, jadi lebih leluasa.

“jangan terlalu dipikirin, kita jalanin aja. Kan udah banyak ngelewatin yang susah-susah kemarin”

“okey” jawab Jihoon

“kita kan udah pacaran, ini aku bukan berarti mau pacaran karena mau ini ya” lanjut Jihoon

“mau ini?”

“yupi” katanya

“oh” Soonyoung diam lagi, malam ini dia dibuat terkejut oleh Jihoon berkali-kali. Soonyoung juga paham yupi mana yang Jihoon maksud.

“boleh kan?” tanya Jihoon dan Soonyoung mengangguk, ia mendekatkan kepalanya pada Jihoon yang langsung Jihoon sambut dengan kedua tangannya.

Jihoon menangkup pipi Soonyoung, ia masih memperhatikan bibir Soonyoung sambil tersenyum. Lalu Jihoon mencium bibir bawah Soonyoung sekilas.

“muka kamu panas” kata Jihoon

“muka kamu merah”

“kamu juga”

Setelah itu Soonyoung hanya bisa diam melihat ke arah lain, Jihoon dari tadi menertawakan Soonyoung. Karena Soonyoung sangat lucu ketika ia malu seperti sekarang, dan Jihoon memakluminya karena waktu cium kening Jihoon saja Soonyoung sampai salah tingkah, apalagi sekarang.

Jihoon dan support system-nya


Selalu tersenyum, penuh dengan kebanggan. Itulah Babeh selama ia menonton Jihoon. Di konser Jakarta Simfonia Orchestra ini Jihoon tampil sebagai salah satu peserta yang menang di lomba yang di adakan oleh team Jakarta simfonia sekitar beberapa minggu yang lalu. Ia membawakan Beethoven – Piano concerto no.4, sebagai peserta terakhir yang muncul dan sebagai pembuka dari acara konser musik tersebut.

Ketika Jihoon sudah selesai, babeh dan yang lainnya masih asik menikmati konsernya, kecuali Mingyu. Ia sedari tadi mengirim pesan kepada Jihoon sedang mendiskusikan sesuatu.

[boleh gak?]

-[emang mau?]

[iya ketemu dulu makanya] [ini mau keluar kalau boleh sama lo]

-[yaudah, tapi dimana?]

[di lorong aja sono kan ada tuh kursi]

-[yaudah]

[okeeee bentar gue bilangin]

-[okey]

Setelah membaca pesan dari Mingyu, Jihoon lalu keluar dari backstage. Ia menuju kursi yang tadi di maksud oleh Mingyu. Jihoon duduk, menunggu orang lain datang untuk duduk di sampingnya.

Tidak berapa lama, ada orang yang sedang berjalan mendekat ke arah Jihoon, ia memakai jas berwarna hitam, orang itu menata rambutnya dengan rapi. Tidak lupa ia juga membawa bunga yang sudah jelas akan ia berikan kepada Jihoon sebagai bentuk ucapan selamatnya karena sudah menang lomba dan bisa tampil di acara yang lumayan besar.

“buat kamu” katanya sembari memberikan bunga yang ia bawa kepada Jihoon

“makasih”

“tadi..kamu keren, kalau kata babeh ‘Jihoon tuh kalau lagi main piano indah banget ya’”

“makasih” kata Jihoon lagi, entah apa yang bisa Jihoon ucapkan ketika ia dengan orang yang di sampingnya saja berbicara tanpa saling melihat satu sama lain.

“udah dua minggu, mau cerita kagak? Apa yang udah kamu pikirin dan apa yang mau kamu sampein sama aku?”

“kalau aku masih sama, aku juga mau minta maaf kalau aku terlalu banyak maunya padahal aku juga cuman gini-gini aja. Tapi aku gak bisa kalau kamu gak mau ngikutin mau aku yang itu” Jihoon menundukan kepalanya, ia menatap bunga yang sedang ia pegang.

“okey, aku paham. Sekarang aku mau cerita boleh?” tanya orang yang sedang menatap Jihoon meskipun Jihoon tidak melihat ke arahnya.

Ketika Jihoon mengangguk memberikan jawaan atas pertanyaannya, ia mulai bercerita dimulai dari kejadian ketika ia menjadi relawan, bagaimana sibuknya dia, bagaimana ia hanya bisa beristirahat ketika malam saja. Dan itu malah membuat Jihoon semakin khawatir.

“kegiatan aku kaya gitu selama di sana. Aku ngerti kok kamu khawatir, aku juga tahu babeh pun sama. Aku kalau ngambil keputusan kagak mau cepet-cepet karena harus yakin dulu jadi kalau suatu saat ada masalah, aku kagak bakal nyesel” Jihoon mendengarkan setiap perkataan dengan perasaan was-was. Apa sebenernya yang akan orang ini sampaikan, Jihoon hanya ingin tahu jawaban dari usulannya dua minggu yang lalu.

“kamu tahu kan, akan susah bagi orang buat ngerubah prinsip hidupnya. Seperti kamu yang kagak mau pacaran atau menjalin hubungan, dan prinsip hidup aku bisa dikatakan harus banyak ngebantu orang-orang di sekitar—“

“soonyoung..” kata Jihoon, ia memotong perkataan Soonyoung yang sedari tadi Soonyoung sedang bingung harus bagaimana menjelaskan apa yang ada dipikirannya kepada Jihoon tanpa harus membuat yang sedang duduk di sebelahnya ini ikut kebingungan.

“kalau kamu mau ngomongin prinsip hidup, kayanya aku udah gak pake lagi prinsip hidup aku. Aku juga mikir ko selama dua minggu ini, aku tahu aku banyak nyakitin kamu dari awal kenal sampai sekarang. Terus... setelah kejadian kemarin juga aku banyak mikir. Kalau selama ini prinsip hidupku adalah mekanisme pertahanan yang aku buat, karena aku takut kalau harus kehilangan dan ditinggalkan. Bahkan tanpa status pacaran pun aku masih ketakutan malam itu” Jihoon berhenti sebentar, ia melihat ke arah Soonyoung yang ternyata Soonyoung juga masih melihat ke arahnya.

“ternyata bukan takut pacaran, bukan gak mau pacaran.. aku cuman takut kalau harus ditinggalin lagi. Aku udah menyadari sesuatu yang selama ini aku gak tahu bukan?”

Dan Soonyoung mengangguk, memberikan senyuman kepada Jihoon.

“kalau aku, aku masih tetap ingin ngebantu banyak orang. Masih tetap mau jadi relawan, sampai kapanpun itu. karena dari dulu keinginan aku cuman itu, cita-cita aku cuman jadi relawan dan ngebantu orang lain. Di sisi lain aku juga kagak mau ninggalin kamu. Udah yakin kan sama perkataan kamu? Kalau kamu ngizinin aku di relawan?”

“iya” jawabnya

“aku udah pikirin juga.... Jihoon aku mau ngebantu banyak orang, dengan cara-cara yang kagak bakal bikin kamu khawatir” kata Soonyoung, ia menatap Jihoon, memperhatikan bagaimana reaksi Jihoon saat ini. Apakah Jihoon akan senang atau biasa saja.

“bener ko kata kamu, kata babeh juga. Kalau masih banyak cara buat ngebantu orang-orang” lanjut Soonyoung. Jihoon masih belum memberikan respon. Ia masih bengong, dari tadi ia memperhatikan Soonyoung tapi pikirannya kemana-mana. Jihoon mendengarkan dan ia mencerna setiap perkataan Soonyoung yang malah membuat pikirannya memikirkan banyak hal.

“kamu serius?” tanya Jihoon

“aku niatnya cuman mau ngebantu orang lain ko, kalau ada cara lain yaudah aku lakuin cara itu karena aku kagak ada niatan sama sekali buat ninggalin kamu”

“kalau tentang ditinggalkan karena kematian, kamu bisa tolong ajarin aku supaya bisa ikhlas kaya kamu sama babeh ketika ngehadepin hal-hal kaya gitu aku juga paham ko kalau kita pasti ada saatnya buat ninggalin dunia ini tapi....ehm maksudnya pelan-pelan aku diajarin supaya bisa ikhlas. Kaya kamu yang bisa ngerubah prinsip aku secara pelan-pelan”

“lama itu.. hampir mau satu tahun”

“yaudah sih kan aku udah bilang mau aku gimana sekarang”

Soonyoung tertawa mendengar jawaban Jihoon, membutuhkan dua minggu untuk mereka bisa mendapatkan jawaban. Hasil dari renungan yang selalu mereka lakukan setiap malam, tanpa saling menghubungi satu sama lain.

“jadi kita mau temenan lagi?”

“okey” jawab Jihoon

Soonyoung merentangkan tangannya “sini” katanya dan Jihoon langsung memeluk Soonyoung dengan erat.

“tadi babeh waktu nonton kamu, masa katanya dia mau nangis”

“terus kalau kamu?”

“kangen hehe”

Jihoon memukul punggung Soonyoung pelan. “Aku kan nanya gimana kamu tadi pas nonton aku, bukan kamu selama dua minggu ini”

“tau aja selama dua minggu ini kangen, kangen juga ya?”

“sedikit”

Soonyoung sendiri tidak bisa menjamin hubungannya akan maju ke tahap selanjutnya atau tidak, dia tidak memikirkan ‘status pacaran’ ketika memutuskan apa yang akan ia pilih dari dua pilihan yang diberikan oleh Jihoon. Yang Soonyoung pikirkan hanya alasan lain yang baru ia sadari ketika ia memutuskan untuk mendekati Jihoon, alasan yang membuatnya bertahan selama ini di samping Jihoon dan yang terpenting adalah perasaan Soonyoung yang tidak mau meninggalkan atau ditinggalkan oleh Jihoon.

-Jihoon dan isi pikirannya, tentang Soonyoung yang terlalu berani.

“tum makan dulu” Jinjin yang sedang berbaring di pinggir mingyu (yang sedang tertidur memeluk pacarnya) menyuruh Soonyoung untuk segera makan, karena dia dari tadi masih belum memakan sarapan yang sudah disiapkan.

“iya tong makan dulu, kalau bisa ajak Jihoon sana” Babeh yang juga sedang tiduran di pinggir Jinjin menyuruh Soonyoung untuk melakukan hal yang sama.

Jihoon masih di kamar, belum ada yang masuk karena tadi Soonyoung bilang “udah biarin dulu, nanti gua aja yang ajak ngomong” ketika Mingyu mau melihat keadaan Jihoon. Sudah jam 11 siang, Soonyoung juga sudah sangat mengantuk. Jadi dia memutuskan untuk melihat dan berbicara dengan Jihoon sekarang.

Ketika Soonyoung masuk, Jihoon sedang duduk, ia memakai selimut untuk menutupi kakinya yang terasa dingin. Saat Soonyoung sudah duduk di sampingnya, Jihoon hanya melihat Soonyoung sebentar. Ia masih belum mau bicara, karena dikepalanya terlalu banyak hal yang sedang ia pikirkan. Tentang dirinya, tentang apa yang harus ia lakukan dan juga tentang Soonyoung.

“kalau mau marahin aku, marah aja. Kagak usah dengerin perkataan si Joy dulu, sekarang keluarin aja emosinya, kalau kesel ya marahin, jangan diem terus....jangan ngehindar”

“percuma mau kesel juga udah kejadian, dan kamu tetep gak mau ngikutin apa mau aku. Tadi aku denger ko, kamu ngobrol sama babeh di ruang tengah kalau kamu besok juga mau balik lagi ke sana”

“iya, karena aku masih ada tanggung jawab yang belum aku selesaikan”

Soonyoung mengganti posisi duduknya supaya bisa menatap Jihoon, sekarang mereka berhadapan. Saling menatap tanpa ada yang dibicarakan selama beberapa menit.

“tidur, kamu bilang matanya sakit, itu udah merah juga. Tidur aja ya?”

“aku cuman gak ngerti...gak ngerti sama dunia kamu, sama cara pandang kamu. Aku gak ngelarang kamu buat jadi relawan, enggak. Kamu dan dedikasi kamu untuk membantu orang lain, aku juga seneng liatnya. Tapi enggak dengan cara ngebahayain diri sendiri”

Karena saat itu ketika Jihoon mengatakan ketidak setujuannya waktu Soonyoung akan berangkat ke lokasi, salah satu alasannya ia sudah mencari tahu tentang bagaimana tsunami di lokasi sana, kemungkinan yang akan terjadi berikutnya seperti apa, ia juga membaca semua berita mengenai kemungkinan gempa susulan dan sebagainya. Jihoon dari awal tidak pernah mau jika Soonyoung harus datang ke tempat yang memiliki potensi bencana itu akan terjadi lagi.

Tapi Soonyoung dan juga jiwa sosialnya yang selalu siap melakukan apapun karena sudah berkomitmen dan merasa sudah memiliki tanggung jawab. Soonyoung yang tidak pernah merasakan takut akan hal-hal seperti itu sudah biasa, biasa datang ke tempat yang belum pasti mengenai aman atau tidaknya. Karena Soonyoung dan prinsipnya mengatakan “tidak ada yang tahu, kapan dan bagaimana kita meninggal. Kalau bisa milih, meninggal karena sedang melakukan hal yang mulia akan terdengar sangat indah, bukan?”. Terbalik dengan Jihoon yang terlalu takut untuk ditinggalkan, ia tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu. Orang yang selalu menghindari bahaya, sebisa mungkin ia harus berada di tempat yang aman, terutama orang yang dekat dengannya. Jihoon akan lebih takut lagi jika kehilangan orang-orang terdekat, oleh karena itu ia terlihat terlalu protektif.

“kasih tau aku.. alasan yang sebenernya kenapa....kenapa kamu deketin aku?”

Soonyoung belum menjawab, dia dan Jihonon masih saling menatap. Soonyoung bisa lihat kalau Jihoon juga sudah lelah, matanya terlihat sudah sangat berat untuk dikedipkan. Mereka berdua sama, tapi masih ingin membicarakan hal yang memang selalu menjadi penghalang bagi Jihoon untuk mendekat kepada Soonyoung.

“karena kasian, liat kamu nunggu di mobil sampai 2 jam”

“terus?” sekalian sakit, buka semua sekarang. Biar besok perasaan Jihoon akan segera membaik. Begitupun dengan Soonyoung, dia dan pilihannya.

“ngebantu Mingyu, supaya dia bisa pacaran dengan bebas. Ngebantu kamu, supaya bisa melihat hal lain yang gak mau kamu liat. Mungkin itu awalnya” Soonyoung mengatakan yang sebenarnya tentang alasan kenapa ia mendekati Jihoon. Mendengar perkataan Soonyoung, Jihoon hanya bisa tertawa miris.

“aku tuh gak perlu dikasihanin. Terus sekarang gimana? Udah deket sama aku, mingyu juga udah bebas pacaran, aku udah bisa ngeliat dan bisa denger hal-hal yang gak pernah aku bayangkan sebelumnya. Mau kamu sekarang apa? Ninggalin aku?”

“kagak gitu loh maksudnya”

“aku sama mereka sama aja kan? Sebagai orang yang mau kamu bantu? Demi apapun aku gak pernah mau kamu bantu, kalau ujungnya kaya gini lebih baik aku masih di posisi yang sama kaya dulu”

“Jihoon kamu selalu ngehilangin tentang perasaan kalau lagi sama aku”

“enggak..” sanggah Jihoon dengan cepat.

“aku selalu membawa perasaan aku, kalau aku gak pake perasaan kenapa aku bisa setakut itu tadi malam? Aku bilang gak mau pacaran, aku bilang takut pacaran bukan berarti aku ngelewatin apapun itu sama kamu gak pake perasaan”lanjutnya

Untuk pertamakalinya juga mereka membicarakan hal-hal yang selama ini mereka pendam, hal-hal yang selama ini hanya bisa mereka rasakan dan pikirkan tanpa ada niatan untuk membagi setiap detail yang ada dalam hati dan kepala mereka.

“aku tahu, kamu dan jiwa sosial kamu yang enggak pernah aku ngerti sama sekali. Yang dikatain Joy bener kok, gak seharusnya aku selalu minta kamu ngertiin, gak selamanya kamu juga bisa nurutin maunya aku. Aku juga paham, kemauan kita terlalu banyak bedanya”

Jihoon dengan beberapa ketakutannya dan Soonyoung dengan segala keberaniannya.

Jihoon yang selalu berusaha menghindari takdir dan Soonyoung yang selalu siap menjalani takdirnya

Antara banyak yang dikhawatirkan dan yang tidak memiliki kekhawatiran sama sekali

Dia yang selalu melewati hal yang tidak mau ia jalani dan dia yang selalu menorobos setiap jalan untuk menjalani hal sulit maupun hal mudah yang dia inginkan ataupun tidak

”kita harus bagaimana?” tanya Soonyoung

“rencana kamu apa?”

“masih aku pikirin”

“mau denger rencana aku? Aku udah mikirin ini semalaman”

“okey, gimana?” Soonyoung mengatakan itu sambil ia lebih mendekat lagi ke arah Jihoon, satu tangannya meraih tangan Jihoon untuk ia genggam.

“banyak hal yang aku sadari dari yang udah lama sampai tadi malam...” Jihoon melihat ke arah tangan mereka yang sedang saling menggenggam,ia mengusap tangan Soonyoung pelan. Jihoon terus berbicara, tapi matanya fokus melihat ke tangan Soonyoung dan juga tangannya.

“gak ada yang salah kalau kamu jadi relawan dan mau pergi ke tempat-tempat yang menurut aku bahaya, gak ada yang salah ko, yang salah itu cuman aku sama pikiran aku yang terlalu takut sama segala hal. Dan... gak ada yang salah kalau aku minta dingertiin sama kamu, yang salah itu aku terlalu banyak maunya, aku terlalu mau dingertiin tanpa mau dengerin pendapat kamu” Jihoon berhenti sebentar, ia menggigit bibir bawahnya.

“aku cuman takut ditinggalin, kamu orang yang paling paham sama kondisi aku, sama trauma aku. Tapi kamu tetep kaya gitu.. aku gak mau jadi penghalang buat kamu, aku juga gak mau jadi orang yang bisanya ngatur-ngatur, harusnya kamu tahu dari awal aku kaya gimana dan kedepannya aku bakal gimana. Kenapa masih deketin?”

“gak tau kenapanya?” tanya Jihoon lagi ketika Soonyoung belum juga menjawab pertanyaan yang ia berikan

“kamu bisa bebas ngelakuin apapun yang kamu mau, aku juga gak perlu khawatir tiap malam.. meskipun aku gak yakin aku bisa atau enggak, tapi lebih baik kaya gitu bukan? Kamu gak perlu mikirin aku maunya gimana dan apa lagi”

“gak ada rencana lain?” tanya Soonyoung

“kalau kamu mau dengerin aku dan enggak pergi ke lokasi yang terlalu berbahaya menurut aku, mungkin bisa. Kamu kan bisa bantu orang lain dengan cara yang berbeda. Kalau kamu mau bilang itu komitmen kamu dan sebagainya, aku gak ngerti sama yang begituan. Kalau kamu mau bilang ‘meninggal gak ada yang tahu gimana dan kapannya’ tapi kan seenggaknya jangan datang ke tempat yang berbahaya. Jangan bikin orang terdekat kamu jadi khawatir, kalau aku dianggap jadi orang yang menurut kamu dekat sama kamu, dan kamu udah tahu apa yang aku takutin, harusnya kamu gak seenaknya kalau ambil keputusan kaya gitu” mata Jihoon mulai terasa panas lagi, dadanya juga sudah sesak karena ia sedari tadi menahan untuk tidak menangis.

Jihoon sudah meluapkan setiap kata yang muncul dipikirannya, dari awal Soonyoung sudah paham mengenai keadaan Jihoon, hanya saja ia tidak paham mengenai apa yang sebenarnya sedang Jihoon ingin dan rasakan saat ini. ketika Jihoon mengatakan semua hal itu kepada Soonyoung, Soonyoung merasa ada beberapa hal yang telah ia lewatkan. Ada beberapa hal yang telah ia abaikan, ada kesalahan yang mungkin saja telah dilakukan oleh keduanya. Tanpa Jihoon dan Soonyoung sadari, mereka hanya terus berjalan di jalan yang berdampingan tapi tidak bisa saling merasakan dan tidak pernah tahu tujuan dari masing-masing perjalanan yang sedang mereka tempuh. Bukan karena tersesat, bukan. Hanya saja karena Jihoon yang ingin pergi ke jalur lain dan Soonyoung yang masih ingin berada di jalur tetapnya.

“dua minggu lagi, karena aku juara tiga.. nanti aku bakal tampil di acara jakarta simfonia, kalau kamu masih di sana, yaudah..” Jihoon berhenti sebentar, dari tadi semenjak Soonyoung memegang tangannya, ia tidak berani menatap mata Soonyoung, sehingga fokusnya hanya kepada tangan mereka berdua, sampai sekarang.

“kamu fokus sama kegiatan kamu, aku di sini juga fokus sama kegiatan aku... gak perlu ngerasa kalau kamu ada tanggung jawab juga buat datang... kalau kamu maunya kaya gitu, mungkin a-aku bisa”

“kalau aku yang kagak bisa gimana?”

“bisa, kamu kehilangan satu orang yang toxic kaya aku pasti bisa.. gak ada yang bakal minta ini minta itu lagi ke kamu, kalau aku...yaudah, gak usah dipikirin”

“kagak bisa gitu”

“terus gimana? Aku juga gak mau, gak bisa.. aku juga gak tau sanggup apa enggak, tapi aku lebih gak mau dan lebih gak sanggup lagi kalau kamu ninggalin aku, hilang tiba-tiba kaya kemarin. Sumpah, aku gak sanggup. Waktu denger kabar itu aku susah nafas lagi..ada ayah bantuin aku. Dan aku sadar ada yang salah sama diri aku, kamu mau tau seberapa frustasi dan takutnya aku waktu denger ada tsunami susulan?”

Soonyoung diam, dia sedang mendengarkan Jihoon. Soonyoung tidak mau memotong perkataan Jihoon, biarkan Jihoon bicara dan mengeluarkan semua kegelisahan, kekeceewaan dan hal-hal yang telah terjadi sebelumnya yang Soonyoung tidak tahu.

“sebelumnya aku kesusahan buat nafas, aku bingung gimana caranya supaya aku bisa nafas dan panik sendiri. Kemarin...aku baru ngerasain panik yang se-panik itu, Ayah sampai ngebantu aku, tapi hal yang aneh terjadi, aku gak ada usaha buat nafas sama sekali, aku gak cari cara, aku cuman diem sambil nangis...aku hampir menyerah juga...aku gak akan sanggup kalau harus begitu lagi”

“maaf Jihoon” Soonyoung memeluk Jihoon, tanpa berkata apapun lagi Jihoon juga membalas pelukan Soonyoung

“aku juga m-maaf.. gak bisa ngertiin kamu, a-aku udah coba tapi susah”

“gak papa, gak papa Jihoon..jangan nangis”

Tanpa di sadari, kalau keduanya sudah terlalu dekat untuk saling menjauh. Jihoon memberikan berbagai pilihan dan sudah mengatakan apa yang menjadi ketakutan dan keinginannya. Soonyoung, tinggal dia yang memilih mau seperti apa, karena Jihoon sudah jelas, untuk saat ini ia masih terlalu takut untuk mendekat lagi kalau Soonyoung masih harus pergi dan meninggalkan Jihoon tanpa kepastian setiap waktunya.

Hari itu, Soonyoung bilang “jangan nangis” tapi dirinya juga sedari tadi tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, Soonyoung punya jalan sendiri, solusi untuk bersama tanpa harus menyakiti satu dari dua masih belum Soonyoung temukan. Besok dia harus segera pergi ke lokasi kemarin, mungkin di sana ia akan berpikir sejenak. Jihoon juga akan fokus dengan persiapan untuk tampil di Jakarta simfonia. Mungkin untuk saat ini, mereka akan fokus di jalan masing-masing dan mencari jalan tengah yang akan mempertemukan mereka lagi.

Mungkin Soonyoung akan menuruti Jihoon, masih menjadi relawan tapi ia tidak bisa datang ke semua lokasi yang terlalu berbahaya (menurut Jihoon) dan membantu dengan cara lain. Atau mungkin Soonyoung akan tetap dengan dedikasinya yang tidak pernah takut ketika berada di lokasi dengan kondisi bagaimanapun.

Mungkin, untuk saat ini hanya kata ‘mungkin’ yang bisa menggambarkan mereka. Entah apa yang ada dipikiran Soonyoung ketika ia memeluk Jihoon dengan erat seperti sekarang, dan entah apa yang sedang ia rasakan ketika perlahan Jihoon tidur dipelukannya.

  • kalau Jihoon sudah jelas, dia tidak akan menjauh kalau Soonyoung mengikuti apa keinginanya...

  • jemput

Sudah jam lima, mobil pertama sudah siap. Mingyu, Jeonghan, Hansol dan Jun membawa mobil Soonyoung. sedangkan Babeh, Jinjin, Joy dan Jihoon berada di mobil babeh yang lebih besar.

Ayah Jihoon tidak bisa ikut, ia cukup lega mengetahui keadaan Soonyoung yang ternyata bisa dibilang baik- baik saja. Ia ada urusan sehingga tadi Ayah Jihoon pulang ke Jaksel duluan, menitipkan Jihoon kepada Babeh.

Selama perjalan yang memakan waktu kurang lebih 2 jam itu, Jihoon tidak mengeluarkan suara sama sekali. Jinjin ataupun babeh kadang bertanya hal-hal random kepada Jihoon, niatnya untuk sedikit menghibur Jihoon tapi Jihoon tidak merespon.

Selama dua jam itu juga, Jihoon yang memang belum tidur kadang tertidur sebentar tapi tidak lebih dari 15 menit ia terbangun lagi. Matanya memang lelah dan ia juga merasakan kantuk, tapi dari tadi malam pikirannya terus bekerja sehingga ia kesulitan untuk tertidur, sekalinya tertidur Jihoon malah mimpi buruk.

Di belakangnya ada Jinjin dan juga Joy yang sedang tertidur, setelah mendengar kabar baik dari Soonyoung, Joy baru bisa tidur dengan pulas sekarang di mobil, ia menjadikan paha Jinjin sebagai bantalnya.

Sama dengan Jeonghan yang sedang tertidur menyandarkan kepalanya di bahu Mingyu. Di mobil yang satunya lagi itu ada Jun yang selalu mengoceh membuat hansol tidak merasakan kantuk. Karena semuanya juga dalam keadaan lelah setelah khawatir semalaman dengan kondisi Soonyoung.

Sesampainya di lokasi pada jam tujuh lebih dua puluh menit, Babeh mengajak Jihoon untuk turun dari mobil. Joy dan Jinjin sudah berkumpul di luar mobil dengan yang lainnya dan sudah berjalan menuju ke posko yang ada di sana, tapi Jihoon masih diam duduk dan seperti tidak ada niatan untuk meninggalkan mobil.

“Jihoon, ayo turun” kata Babeh, Babeh sudah keluar dari mobil, ia membuka pintu mobil yang terdekat dengan Jihoon supaya Jihoon bisa keluar dengan mudah, tapi Jihoon malah menggelengkan kepalanya. Ia menolak ajakan babeh untuk keluar dari mobil dan bertemu dengan Soonyoung yang sekarang sedang dikerumuni oleh teman-temannya.

“gak mau ikut ke sana? Itu yang lain udah pada ketemu sama Soonyoung loh”

“aku tunggu di sini aja” katanya pelan, Babeh paham mungkin Jihoon sudah terlalu capek untuk berjalan jadi babeh meninggalkan Jihoon sendirian di mobil dan pergi ke tempat dimana Soonyoung sedang dipeluk oleh teman-temannya.

Ketika babeh sampai didekat Soonyoung, Babeh hanya bisa tersenyum ke arah anaknya yang sedang di peluk oleh Jinjin.

“kagak kenapa-napa gua Jin, udahan nangisnya” katanya

“ya lo gak ada ngabarin tum bikin kita semua khawatir tau gak” kata Joy terdengar sedikit kesal, Joy juga tadi sudah memeluk Soonyoung, mereka semua yang ikut ke sana sudah memeluk Soonyoung satu persatu.

“ya maaf, hp gua mati dan gue di sini juga sibuk bantu-bantu. Baru sempet charge dan ngabarin tadi subuh” Soonyoung menjelaskan dengan singkat alasannya kenapa ia tidak bisa dihubungi.

Setelah Jinjin melepas pelukannya, Babeh menghampiri Soonyoung dan memeluknya. Babeh juga menangis dipelukan anaknya, lega karena akhirnya ia masih bisa memeluk Soonyoung saat ini. Pikiran buruknya tidak terbukti, dan itu membuat babeh sangat bahagia.

“maaf beh” hanya itu yang bisa Soonyoung katakan, meminta maaf karena sudah membuat orang tuanya khawatir sampai menangis.

“pulang yuk tong, nanti lu mau ke sini lagi atau gimana lah terserah lu, di mobil ada Jihoon nungguin, dia kagak mau diajak ke sini”

Soonyoung mengangguk, menuruti apa yang babeh katakan. Setelah tadi ia sempat pamit dulu kepada rekan relawannya untuk pulang, babeh juga sudah berbicara dengan beberapa anggota relawan meminta izin untuk membawa anaknya pulang.

Mingyu, Jeonghan, Jun dan Hansol sudah masuk ke dalam mobil, mereka sudah berangkat terlebih dahulu. Sedangkan mobil yang satunya lagi masih belum berangkat. Soonyoung belum masuk ke dalam mobil, ia masih berdiri di pinggir Jihoon yang sedang duduk di kursi depan.

“Jihoon” kata Soonyoung, ia memegang tangan Jihoon tapi Jihoon lepaskan. Tahu kalau Jihoon tidak baik-baik saja, Soonyoung tidak memaksakan. Ia masih berdiri melihat keadaan Jihoon yang mukanya saja sekarang terlihat pucat dan matanya merah karena terlalu lama menangis tadi malam. Soonyoung tidak jauh berbeda, ia juga kelelahan belum sempat tidur sama sekali.

Soonyoung akhirnya masuk ke dalam mobil, ia duduk di belakang bersama babeh dan Joy, Jinjin sekarang yang akan menyetir. Jihoon masih tidak mengatakan apapun, ia tidak menangis juga, hanya saja setiap apa yang Soonyoung katakan tidak pernah Jihoon jawab.

“tidur tong, lu juga capek kan habis bantuin orang-orang semalaman”

“kagak papa beh” kata Soonyoung, sejujurnya dia juga mau tidur. Badannya juga sudah lelah, tangannya yang diperban juga masih ngilu. Tapi Soonyoung juga sama dengan Jihoon, tidak bisa tidur. Masih ada yang mengganjal dalam hatinya tentang Jihoon, ia mau berbicara tapi Jihoon menolaknya.

Selama perjalanan Soonyoung berpikir tentang bagaimana tanggapan Jihoon nanti ketika sudah berbicara dengannya, atau bagaimana jika Jihoon tidak bisa menerima keputusannya. Sampai saat ini Soonyoung paham, kalau Jihoon kesal karena keinginannya tidak ia turuti, dan soonyoung juga paham kalau Jihoon khawatir terhadap dirinya.

“jihoon?” panggil Soonyoung, dan Jihoon tidak menjawab.

“maaf udah buat kamu khawatir” ada jeda dalam perkataan Soonyoung, antara bingung mau menyampaikan apa dan juga bingung dengan respon Jihoon akan seperti apa.

“aku sudah jelasin kenapanya, aku harap kamu paham posisi aku” lanjutnya

Hening, di mobil tidak ada lagi yang berbicara. Babeh yang berada dianatara Soonyoung dan Joy tertidur. Perjalanan sudah hampir selesai, mereka sudah mau tiba ke kosan. Dan jihoon masih tidak ada keinginan untuk membalas atau menjawab perkataan Soonyoung.

“beh bangun, dah nyampe” kata Soonyoung ketika membangunkan Babeh. Satu persatu keluar dari mobil. Soonyoung membukakan pintu mobil untuk Jihoon.

“ayo ke kosan” kata Soonyoung, Babeh sudah masuk ke dalam kosan, Jinjin dan Joy masih menunggu Soonyoung. mereka berdiri di pinggir mobil menunggu Jihoon untuk keluar.

“mau pulang aja” Jihoon mengatakan sesuatu, yang sebenarnya membuat Soonyoung merasa bersalah, Jihoon kembali menghindarinya dan Soonyoung paham kenapa.

“iya, nanti kalau kamu sudah tidur”

“bilangin mingyu aku mau pulang”

Soonyoung diam, ia melihat ke arah Jinjin dan Joy yang masih menunggu dan mendengar percakapan mereka. Jinjin berbicara tanpa suara kepada Soonyoung, katanya “mingyu capek, gak mungkin bisa bawa mobil sekarang dia juga bilang mau langsung tidur kalau udah nyampe di kosan” dan Soonyoung mengangguk, paham dengan apa yang Jinjin sampaikan.

“kasian mingyu capek, nanti aja pulangnya ya, sekarang masuk ke kosan dulu. Jihoon istirahat”

“yaudah aku bisa naik taxi” Jihoon meraba jaketnya ia mencari handphone untuk segera memesan taxi.

“jangan, nanti aja ya? Kamu kan gak pernah sendirian”

“tapi aku mau – “ perkataan Jihoon terpotong oleh Joy.

“jihoon, lo nurut dulu deh, jangan apa-apa mau ketum selalu nurutin lo, dia juga capek semalaman bantuin orang di sana, gue juga tau lo capek. jadi yaudah nurut, istirahat dulu di sini nanti juga dianter balik” katanya

Jihoon masih diam, ketika Soonyoung mencoba memegang tangannya lagi, Jihoon kembali menghindar. “ gak usah pegang” katanya. Dan Soonyoung bingung apa yang harus ia lakukan, benar kata Joy kalau dia juga capek, kepalanya juga pening.

“yaudah kagak dipegang, tapi keluar dulu. Tidur dulu di kosan nanti diantar pulang” bujuk Soonyoung lagi

“udahlah tum, tinggalin aja lo juga butuh istirahat” Joy mulai kesal karena menunggu Jihoon untuk keluar dari mobil saja membutuhkan waktu yang sangat lama. Sampai-sampai Joy merasa jengkel sendiri. Jinjin yang ada di sebelahnya hanya diam, bingung dia harus berbuat apa.

“gini loh.. gue juga paham lo khawatir sama ketum jihoon sampe lo kesel sendiri kaya sekarang. Tapi bukan lo doang yang khawatir, kita semua yang sekarang ada di kosan ketum, semuanya juga khawatir sama ketum. Bukan cuman lo doang, jangan ngerasa lo yang paling sedih, jangan ngerasa lo doang yang takut ditinggalin ketum. Kita semua sama”

“sekarang ketum udah ada disini, dia gak papa. Tapi lo di ajak ngomong dari tadi kagak mau, di pegang ngehindar mulu. Waktu orangnya ga ada lo nangis-nangis sekarang orangnya gak ada lo hindarin, lo tuh maunya apa? Ketum juga capek, gue yang liat aja capek sendiri. lo gak bisa kaya gitu terus, minta dingertiin tapi lo gak ngertiin keadaan ketum”

“Joy—“

“diem dulu tum, gue belum selesai ngomongnya. Nih ya lo liat aja dia udah mau belain lo barusan, terus masih aja kaya gitu sama ketum. Terserah lo deh mau lo suka sama ketum atau kagak bukan urusan gue, yang penting lo sekarang liat kondisi dia lagi kaya gimana, dia lagi capek bisa gak sih lo nurut aja jangan menye menye mulu, kesel gue lama-lama sama lo. selalu dimanja sama ketum bukan berarti lo gak perlu merhatiin dia juga bukan berarti lo gak ngertiin dia juga”

“Joy, udah”

Joy menghebuskan nafas kasar, ia sudah terlanjur menyampaikan unek-uneknya kepada Jihoon, sangat lega. Joy harap penyampaian kata-katanya kepada Jihoon sudah tepat dan ia mau Jihoon mengerti.

“maaf tum” dan Joy pergi meninggalkan mereka bertiga, Soonyoung menyuruh Jinjin untuk menyusul Joy saja, menenangkannya karena Joy sepertinya ikut tersulut emosi. Tersisa hanya ada Jihoon dan Soonyoung di sana, dan Jihoon masih enggan memberikan respon apapun atas apa yang telah ia dengar barusan.

“ayo” ajak Soonyoung lagi kepada Jihoon.

Untuk kali ini Jihoon keluar dari mobil, ia menutup pintu mobil itu dan berjalan bersama Soonyoung untuk masuk ke dalam kosannya. Seperti biasa Jihoon langsung menuju ke kamar Soonyoung, tempat yang sudah menjadi tempat ternyaman yang pernah Jihoon temukan. Tapi Soonyoung belum menyusulnya ke kamar, Soonyoung masih diam di ruang tengah dengan teman-temannya yang lain, mendengarkan cerita teman-temannya yang khawatir kepada dirinya, tapi pikiran Soonyoung masih tertuju kepada Jihoon.