nyongji96

The star and its universe 15 22 1996

-ada yang datang lagi-

Satu hal yang Jihoon pikirkan ketika ia mendapatkan kabar mengenai tsunami susulan yang terjadi di tempat dimana sekarang Soonyoung sedang menjalankan tugasnya sebagai relawan.Dalam pikirannya, hubungi Ibu. Karena sepengetahuan Jihoon, Ibunya mempunyai teman yang juga seorang relawan, mungkin saja Ibunya bisa menghubungi temannya dan Jihoon bisa menanyakan kabar Soonyoung. Tapi karena handphonenya sedari tadi digunakan untuk menelpon Soonyoung, dengan perasaan yang sudah tidak jelas, Jihoon menyuruh Ayahnya untuk menelpon Ibu.

“Hallo?”

”ya hallo?”

“Jihoon menyuruh aku buat telpon kamu, kamu bisa tahu kabar dari temanmu yang ikut relawan?”

”Jihoon panik ya mas karena Soonyoung di sana?”

“iya”

”Aku belum bisa hubungi temanku, nanti kalau sudah bisa, aku akan hubungin mas lagi. Ini aku masih cari kabar ke yang lain”

“oke, tolong tanyakan kabar Soonyoung. Nanti kalau sudah tahu, hubungi lagi nomer ini”

”iya mas

“iya... makasih” dan telpon dimatikan oleh Ayah Jihoon.

Saat itu semuanya panik, bukan hanya Jihoon. Bahkan, Ayahnya saja yang baru beberapa kali bertemu dengan Soonyoung juga ikut mengkhawatirkan keadaan Soonyoung yang tidak bisa mereka tebak apakah dia di sana baik-baik saja atau sebaliknya.

Di mobil satunya lagi, Babeh dan Jinjin masih berusaha menghubungi Soonyoung tapi masih nihil, tidak ada jawaban. Bisa dipastikan lebih dari dua orang menelpon Soonyoung dalam waktu bersamaan, dan itu juga bisa membuat semakin sulit untuk menghubunginya. Dan bodohnya ketika mereka sudah tau nomernya tidak aktif, tapi tetap saja dihubungi.

“Gua ke mobil Jihoon dulu Jin, mau ajak dia ke Jakpus aja” Jinjin mengangguk dan babeh keluar dari mobilnya, lalu menghampiri Jihoon.

“Jihoon ikut ya ke Jakpus sama Babeh” katanya, ketika sudah sampai di pingir Jihoon.

Jihoon yang menyadari kedatangan Babeh langsung berhenti (ia masih berusaha menghubungi nomer Soonyoung). Jihoon mengusap wajahnya kasar, menatap Babeh.

“kan a-aku bilang apa... jangan diizinin...babeh” suara Jihoon semakin tidak terdengar seiringnya dengan nafasnya yang semakin tidak teratur.

”dia datang lagi” pikir Jihoon. Setelah sekian lama, setelah ia bisa dan membanggakan keberhasilannya mampu menangani dan tidak membuat dirinya panik. Baru saja, satu hari yang lalu Jihoon membanggakan dirinya bisa melewati fase yang biasanya membuat dirinya tidak bisa mengontrol keadaan. Baru satu jam yang lalu, Jihoon merasa sangat bangga dengan dirinya sendiri karena telah berhasil memainkan piano di babak final tanpa ada beban dalam hatinya, tanpa di akhiri dengan panik yang selalu ia dapatkan ketika ia gagal. Dan baru beberapa menit yang lalu, dengan senangnya Jihoon, untuk pertamakalinya merasa bahagia seusai final dan membagikan perasaan senang itu kepada orang lain.

Sudah gila memang, kebanggaan Jihoon terhadap dirinya sendiri hilang hanya dalam beberapa menit saja. Mau tidak mau, sadar ataupun tidak, bagi Jihoon, Soonyoung merupakan salah satu orang yang memberikan efek terbesar dalam proses sembuhnya. Secara tidak langsung itupun berlaku sebaliknya, Soonyoung juga akan menjadi orang yang memberikan rasa sakit serta sedih dalam hidupnya yang mungkin saja akan meruntuhkan semua hal yang sudah Jihoon bangun lagi selama beberapa bulan bersama ‘salah satu faktor’ dari proses sembuhnya itu.

Lagi, Jihoon kembali ke masa susahnya menghadapi suatu permasalahan. Sedari tadi air matanya tidak pernah berhenti keluar, nafasnya sudah tidak beraturan, handphonenya masih ia genggam dengan erat.

“Jihoon, nafasnya di atur, jangan nangis terus, jangan cengeng” Ayah Jihoon membantu Jihoon duduk dengan benar, membantu Jihoon mengatur nafasnya tapi Jihoon malah menolak ia tidak mendengarkan perkataan Ayahnya sama sekali.

“Jangan..diizinin sembarangan..a-aku tuh udah liat beritanya...gimana...t-tapi babeh izinin” Jihoon dan pemikirannya yang masih terpusat dengan permaslahaan izin ketika Soonyoung mengatakan ingin pergi ke tempat yang sedang tertimpa musibah.

“iya, salah Babeh. Jihoon tenang dulu, pasti baik-baik aja” Babeh mencoba menenangkan Jihoon, yang lagi dan lagi di tolak oleh Jihoon.

Jihoon hanya menggelengkan kepalanya, ingin berkata ‘gak ada yang tahu, telponnya aja gak aktif’ tapi tertahan, sulit untuk mengatakan kata-kata itu, sebagian dari dirinya juga ingin mengiyakan perkataan Babeh. Tapi, semua hal yang Jihoon pikirkan saat ini hanya bagaimana kalau Soonyoung meninggalkan dirinya dan ketidaksanggupan Jihoon ketika harus berurusan dengan hati dan mentalnya sendiri.

Mereka sudah lama tidak bertemu. Saking lamanya, yang Jihoon ingat hanyalah percakapannya dengan Soonyoung di chat. Hingga ia merasa semuanya terlalu kejam, termasuk dirinya sendiri yang mengiyakan perkataan Soonyoung waktu itu. ‘Jihoon juga kagak kenapa-kenapa kalau ditinggal, iya kan?’ . Jihoon tidak akan mau kalau dipaksa untuk tidak bisa bertemu selamanya dengan Soonyoung oleh siapapun dan apapun.

“gak bisa... gak mau” katanya dengan lirih, tidak ada yang mengerti dengan perkataan Jihoon. Bagi Babeh, Ayahnya, Mingyu dan Jeonghan yang sedang berada di dekat Jihoon, mereka tidak mengerti. Karena Jihoon menjawab pertanyaan dari Soonyoung yang terus muncul di kepalanya.

“gak mau...” katanya lagi, tidak ada yang Jihoon sembunyikan, perasaannya dan juga keinginanya. Tapi ia menyampaikan disituasi dan didepan orang yang tidak tepat. Menyadari hal itu, tangisnya yang sedari tadi belum berhenti semakin tidak terhenti, seolah Jihoon menunjukan keraguannya terhadap situasi yang sedang dan akan ia lalui. Tidak bisa Jihoon tahan lagi, ia mengeluarkan emosinya, sedihnya, dan juga kesalnya.

Suara tangisnya bahkan terdengar, sangat jelas oleh siapapun yang berada di sekitar tempat parkir. Orang yang mengenal Soonyoung dan saat ini sedang mendengar tangisan Jihoon, tidak ada satupun dari mereka yang tidak ikut merasakan sedih, tidak ada di antara mereka yang tidak menangis. semuanya takut, takut ditinggalkan oleh orang yang sama, bukan hanya Jihoon.

“ming bawa mobil, Jihoon biar om yang tenangin. Kita ikut ke Jakpus aja sekarang” Jihoon dan Ayahnya pindah ke kursi belakang, Mingyu dan Jeonghan duduk di kursi depan. Babeh sudah pergi ke mobilnya, tadi babeh sempat ingin menenangkan Jihoon, tapi tidak ada yang bisa, babeh sendiri malah ikut merasakan sedih padahal ia sudah berusaha tegar dan kuat semenjak ia mmebaca berita.

“babeh juga panik jin, anak satu-satunya. Orang yang selalu babeh banggain....gak kebayang kalau harus ditinggal...lihat jihoon, babeh tambah panik” Kata babeh, ia baru saja masuk ke dalam mobil, duduk di samping Jinjin.

“kalau udah tenang aja lu nyetirnya Jin” Babeh juga tahu, kalau Jinjin tidak baik-baik saja, sahabatnya tidak ada kabar, tentu saja Jinjin juga panik. Dia bahkan tidak membalas perkataan Babeh, karena Jinjin juga sedang menangis. berusaha menenangkan dirinya, tapi susah.

Dan di sisi lain, ada Mingyu, yang merupakan teman Soonyoung dan sahabat Jihoon. Sedang menangis menyaksikan sahabatnya yang tadi ‘sebahagia’ itu penuh dengan senyuman, semangat memberikan kabar kepada Soonyoung, lalu sekarang temannya tidak ada kabar yang menyebabkan sahabatnya menjadi ambruk sedang menangis dipelukan Ayahnya. Pikirannya kacau, semua orang kalang kabut, terdiam di dalam mobil mencoba menenangkan diri sebelum mereka berangkat. Dan itu membutuhkan waktu. Ketika mereka harus tetap bisa melawan rasa sedih dan takut akan kehilangan.

***

Soonyoung—

Kalau bisa aku paksa, aku akan memaksa mengembalikan waktu dan tegas mengatakan ‘jangan’.

Sayang, aku juga hanya seorang manusia. Yang terbatas hanya bisa memilih satu dari dua pilihan.

Yang kalau menyesal tetap berada di akhir keputusan, yang ketika sedih aku merasa menjadi orang yang paling sedih di dunia, yang juga kalau sakit hatiku maka akan menyalahkan siapapun itu yang menurutku pantas untuk disalahkan.

Ada kata tenang dan ada kata tegar, mungkin kamu bisa menjadikan kata itu menjadi perilakumu dengan mudah, tapi aku, harus ada paksaan dan kemauan yang kuat untuk mewujudkan kata-kata itu.

Situasi ini, bukan situasi yang bisa aku gabungkan dengan dua kata yang tadi disebutkan. Tidak mungkin, tidak akan pernah bersatu. Dari awal sudah kubilang kalau aku tidak sekuat itu.

Kamu ini bagaimana?

Sibuk membantu, aku sudah di tahap bisa menangani diriku sendiri, dan aku senang akan apa yang sudah kita lewati dan aku capai saat ini. Lalu kamu, kembali membuatku tidak bisa menguasai pikiran dan perilaku ku sendiri.

Memang bukan salah kamu, mungkin salah aku. Atau mungkin pertanyaannya yang salah. Bukan ‘kamu ini bagaimana’ tapi aku ini yang bagaimana? Aku ini maunya apa? Aku ini bisanya apa?

Kalau ‘merelekan kepergian’ tidak akan pernah muncul dalam pikiranku, karena sudah jelas aku tidak bisa mengatakan kata selamat tinggal, jadi kalau untuk sekarang “bisa kan balik lagi? Biar aku perbaiki”

405 Mingyu bergegas menuju rumah Jeonghan, belakangan ini ia selalu menolak jika Jeonghan menyuruhnya pergi ke rumah pacarnya itu. Memang ada alasan kenapa Mingyu tidak mau dan sayangnya Mingyu masih belum mau membicarakan hal yang membuatnya enggan untuk berada di rumah Jeonghan.

“semoga gak ada deh”

Sekitar 15 menit kemudian, Mingyu sudah berada di depan rumah Jeonghan. Ia sudah mengirim pesan kepada pacarnya memberi kabar kalau dirinya sudah sampai. Tidak ada persiapan apapun bagi Mingyu jika ia harus bertemu dengan orang tua Jeonghan saat ini, ia belum siap.

“ayok masuk” kata Jeonghan

Jeongham menghampiri Mingyu yang masih berdiri di pinggir motornya. Ketika sudah dekat dengan Mingyu, ia malah dipeluk, keningnya mingyu ciumi.

“sakit kepala lagi?” tanya Mingyu dengan suaranya yang lembut, khawatir terlihat di matanya apalagi setelah Mingyu dapat merasakan kalau sepertinya pacarnya ini sedang demam juga.

“iya,yuk masuk” ajak Jeonghan lagi, tapi Mingyu masih diam. Dia masih ragu untuk masuk ke rumah Jeonghan, pasti di dalam ada papah, pikirnya.

“yang, di sini aja gak papa?” tanya Mingyu, dan raut wajah Jeonghan seketika berubah.

“aku suruh cerita kamu gak mau terus, aku bingung loh kamu kaya gini. Aku jadi mikir apa aku ada salah sama kamu atau gimana?”

“gak ada yang.. beneran kamu gak ada salah ko”

“ya terus kenapa, pusing tau mikirinnya kamu biasanya main terus, tiba-tiba gak mau ke rumah, sampai aku lagi sakit aja kamu tetep gak mau ke rumah. Aku sakit hati loh kamu giniin, kenapa gak mau banget ketemu sama papah”

“Ya Allah, bukan gitu yang asli deh” Mingyu mendekati Jeonghan, ia memeluk yang lebih tua supaya lebih tenang.

“ya terus kenapa?”

“tapi kamu jangan kepikiran ya...” Mingyu balik bertanya, tangannya masih mengelus kepala Jeonghan

“kalau gak dikasih tau tambah kepikiran”

Mingyu tidak langsung menjawab dan menceritakan apa yang membuatnya tidak mau datang dan bertemu dengan papah Jeonghan, ia kembali merangkul tubuh Jeonghan kepelukannya. Dipeluk erat pacarnya yang sedang tidak enak badan itu, Mingyu masih belum ada niat untuk masuk ke dalam rumah.

“papah waktu itu chat aku, gak tau lupa kita lagi ngebahas apa waktu itu tapi nyinggung nikahan. Terus papah kamu bilang intinya kalau yang se-agama emang lebih gampang buat nikah, gitu. Aku kan jadi mikir, takut sendiri. kalau papah gak setuju sama kita gimana, makanya gak mau ngomong dulu”

“kata papah itu bercanda”

“mana ada bercanda tapi habis itu gak ada chat aku lagi, beberapa hari setelah itu baru ada chat tapi beda pembahasaan”

Jeonghan memegang tangan Mingyu, ia hendak mengajak Mingyu untuk masuk ke dalam rumahnya, tapi Mingyu masih menolak.

“gak mau ih yaaang, nanti aja ya?”

“diomongin sama papah, biar enak, biar jelas”

“jelas gimana, ya aku gak mau kalau ‘jelas’nya di suruh putus sama kamu”

Jeonghan mencoba membujuk Mingyu untuk masuk ke rumahnya, ia menarik tangan Mingyu lagi tapi Mingyu terus-terusan menolak.

“yaaangggg” rengeknya “nanti aja aku ketemu papah kamunya”

Jeonghan memperhatikan Mingyu, diam tapi tetap menatap yang lebih muda. Sedangkan Mingyu hanya menundukan kepalanya.

“ayo ke rumah” ajak Jeonghan untuk yang kesekian kalinya.

“gak ah yang” Mingyu masih merengek, ia menurunkan badannya supaya Jeonghan tidak bisa menarik dirinya masuk ke dalam.

Mingyu masih memegangi tangan Jeonghan, dia mendongakkan kepalanya untuk melihat Jeonghan yang sedang berdiri didepannya.

“bangun ih ko malah jongkok”

Dan lagi-lagi hanya jawaban ‘’gak mau” yang Jeonghan terima, tidak mau terlalu memaksa Mingyu, Jeonghan akhirnya pasrah. Ia juga ikut berjongkok di depan rumahnya, mensejajarkan posisi dirinya dengan Mingyu.

“yaudah kalau gak mau” kata Jeonghan, tangannya mengusap kepala Mingyu dengan lembut.

Mingyu mengangguk, ia menatap Jeonghan. Matanya mulai berkaca-kaca, entah kenapa kalau di depan Jeonghan berusaha sekuat apapun tetap saja ia akan luluh, Mingyu (selalu) secara tiba-tiba ingin menangis.

“ih ko nangis” Jeonghan dengan cepat mengusap air mata yang ada di pipi Mingyu.

“mingyu jangan nangis, papah cuman bercanda. Percaya sama aku ya?”

Mingyu tidak menjawab perkataan Jeonghan, ia malah menghambur kedalam pelukan yang lebih tua.

“kenapa ini?” tanya Papah Jeonghan yang baru saja keluar dari rumah

“papah sih, adek jadi nangis” kata Jeonghan kesal

Mingyu tidak mau melihat ke arah papah, ia masih menyembunyikan kepalanya di dekapan Jeonghan. Dibilang tidak siap bertemu, tapi yang dihindari malah muncul dengan sendirinya. Mingyu tidak menyangka kalau papah akan keluar dari rumah pada jam malam seperti ini.

“papah mau ambil air minum, eh denger suara adek, terus ini kepada pada jongkok? berdiri kenapa pada jongkok gitu sih?”

“papah lagian jahil banget, liat nih anaknya sampai kaya gini gara-gara kepikiran sama omongan papah”

“yaudah berdiri dulu berdiri” kata papah memegang tangan Mingyu untuk berdiri.

Mingyu hanya menunduk, tidak mau untuk memulai pembicaraan dengan Papahnya Jeonghan. Tangannya masih memegang tangan Jeonghan dengan erat, seperti takut kalau ia akan ditinggal.

“adek, papah itu bercanda. Niat papah cuman jahilin adek aja, ternyata adek beneran kepikiran ya?”

“t-tapi papah gak bilang ke aku kalau itu bercandaan” Mingyu terisak, dia memang cengeng kalau berurusan dengan hubungan dan Jeonghan.

“Pokoknya papah bercanda, gak ada niatan papah buat misahin kalian ko. Maaf ya udah bikin adek nangis, han nangis juga lagi tuh.. aduh.. yaudah masuk aja ke dalam rumah, nginep dek udah malem”

“yang di chat waktu itu beneran bercanda pah?” tanya Mingyu memastikan lagi

“iya bercanda.. udah masuk yuk dingin loh di luar”

Mingyu dan Jeonghan akhirnya masuk ke rumah, ketika sudah sampai di dalam pun, Mingyu dan Jeonghan langsung menuju kamar. Berniat untuk langsung tidur, karena Mingyu harus bangun untuk sahur dan Jeonghan juga sedang tidak enak badan.

“malu aku yang keliatan nangis depan papah”

“kamu makin dikatain adek bongsor aja sama papah nanti, bukan adek lagi tapi bayi yang gemes banget” Jeonghan mengacak rambut Mingyu lalu memeluknya.

“sayang banget sama Mingyu” lantujnya

“ya Allah... tumben”

“yaudah gak jadi”

“hehehe jangan gitu, iya aku juga sayang kamu banget sampe nangis nangis keluar ingus nih”

“jorok”

Dan begitulah rencana mau tidur pukul 11 malam gagal, karena Mingyu yang hobinya mengganggu Jeonghan, menggelitik pinggang, menciumi muka jeonghan sampai-sampai Jeonghan sendiri hanya bisa pasrah tertidur dan membiarkan Mingyu menguasi dirinya.

“udah cium ciumnya, cepat tidur”

“okay tapi aku mau sambil pelukan sampai nanti bangun juga harus tetap pelukan”

Jeonghan menurut saja, kalau Mingyu bilang mau ini atau mau itu sebaiknya dituruti, apalagi setelah kejadian tadi. Biar dia tidur nyenyak karena malam-malam sebelumnya Mingyu dipusingkan oleh pikirannya sendiri.

Tahun baru, merupakan sebuah moment yang selalu Soonyoung dan juga Babeh manfaatkan untuk bersilaturahmi. Khususnya Babeh, ia akan sangat bersemangat untuk merayakan tahu baru dengan teman-teman Soonyoung. seperti tahun ini, di kosan Soonyoung sudah ada Jinjin, Minhyun, Hansol, Jun, Joy, Hayoung, Doy, Bambam, Mingyu, Jeonghan, Chan, Seungkwan, Seungcheol dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sedari tadi, Babeh sibuk berbincang-bincang dengan Jinjin dan juga Jun, beberapa orang lainnya sedang menyiapkan makanan, yang lainnya lagi ada yang sudah mulai acara bakar-bakarannya untung saja kosan soonyoung mempunyai halaman yang sebenarnya digunakan untuk parkir tapi malam ini beralih fungsi dulu.

“ketum mana? Ko gue belum ketemu dia sih dari tadi?” tanya Joy kepada Jinjin yang baru saja menghampirinya

“di dalem, masih nemenin Jihoon kayanya” jawab Jinjin

“Jihoon, bakal mau keluar dan ketemu kita-kitakan?” tanya hayoung

“lo ko ngebet banget sih ketemu sama Jihoon” kata Joy

“kan jodoh ketemu ya harus ketemu lah” jawab Hayoung enteng

“iya nanti keluar calon mantu gua” babeh ikut nimbrung pada obrolan mereka.

Berlanjut dengan obrolan yang tidak ada arahnya, semua orang yang berada di kosan Soonyoung sudah siap menyambut tahun baru, mereka sudah berkumpul, sambil menikmati makanan yang akhirnya sudah selesai mereka sajikan. Hidangannya seperti orang lain saja ketika merayakan tahun baru, ada sate, ada cemilan, ada yang bakar sosis, ada minuman coca cola sampai teh anget, babeh sendiri sudah memesan makanan yang katanya makanan anak muda, ia tadi memesan pizza dan juga burger.

Di kamar, Jihoon dan Soonyoung sedang tiduran. Mereka masih belum keluar meskipun tahu kalau teman-teman Soonyoung sudah pada sampai. Tadi Soonyoung sempet keluar dan bilang sama Babeh dan Jinjin kalau dia mau sama Jihoon dulu.

“ehmmm dulu itu, Ibu selalu ada buat aku karena dari dulu Ayah memang keras, selalu suruh aku latihan piano. Aku suka bermain piano dan Ayah tahu itu tapi karena waktu latihan yang terlalu banyak dan aku sampai sering kecapea terus waktu kecil aku juga mau main sama teman-teman tapi gak bisa karena harus latihan piano.....aku kalau capek, kalau ngeluh, kalau bosen dan sedih banget, ceritanya ke Ibu, Ibu bilang dia bakal selalu ada buat aku, bakal selalu ngejagain aku, bakal selalu dengerin cerita aku. Ibu itu gak pernah maksa aku buat ngelakuin apapun, Ibu beda banget sama Ayah” cerita Jihoon

“ko bisa ninggalin kamu?”

“aku gak tau, pokoknya mereka sering berantem, nyebut-nyebut nama aku, aku gak tau apa salah aku sampe tiap berantem yang disebut nama aku terus, kaya aku tuh sumber dari masalah mereka..sampai akhirnya suatu malam, Ibu bawa kopernya dan dia pergi gitu aja, tanpa bilang apapun sama aku. Aku kejar Ibu..... aku tanya Ibu mau kemana, aku boleh ikut?...Ibu cuman jawab, hak asuh ada di Ayah dan aku gak ngerti waktu itu..Terus Ibu pergi ninggalin aku, ninggalin semua janji-janjinya, aku ditinggalin gitu aja saat aku lagi butuh-butuhnya Ibu...tapi dia tetap memutuskan pergi, aku marah dan aku sedih. Aku kehilangan sosok yang bisa aku percaya, aku kehilangan sosok yang selalu mengatakan kata-kata penenang yang akhirnya semuanya jadi kebohongan...”

“udah pernah ketemu Ibu lagi?” tanya Soonyoung

“belum, aku mau sebenernya, tapi takut. Takut aku memang enggak diharepin sama Ibu, takut aku malah tambah kecewa. Jadi udah cukup aja segitu sakitnya aku”

“Jihoon, maaf ya kalau aku ngomong yang kamu kagak mau denger lagi... menurut aku, orang yang ninggalin juga pasti sama sedihnya, pasti ada alasannya. Bisa jadi mereka yang meninggalkan juga lebih sedih, lebih sakit hatinya, meskipun memang tidak semuanya seperti itu. Kalau, kalau Jihoon mau ketemu sama Ibu dan bicara lagi, mungkin bakal ada rasa kecewa atau sakit hati, tapi mungkin kalau Jihoon tau alasannya bakal lebih ngerasa lega. Aku gak nyuruh Jihoon buat ketemu Ibu sekarang juga, cuman mau ngasih tau aja kalau kemungkinan-kemungkinan itu banyak apalagi sama kita kagak dipastiin secara langsung. Aku bakal nemenin Jihoon kalau suatu hari nanti Jihoon mau ketemu sama Ibu. Aku, Mingyu sama Babeh bakal bantu. Okey?”

“okey, tapi aku belum sanggup kalau sekarang”

“iya, senyamannya Jihoon aja”

“aku kalau mau tahu cerita kamu boleh?” tanya Jihoon

“cerita yang mana?” tanya Soonyoung

“kamu ke psikolog waktu SMP itu”

“sama kaya Jihoon, pemicunya ya karena ditinggalin terus disalahin dan ngerasa bersalah”

“ditinggalin Ibu kamu juga?” tanya Jihoon, ia kini merubah posisi tidurnya menjadi miring supaya bisa melihat Soonyoung.

“Iya” jawab Soonyoung

“udah pernah ketemu lagi? Setelah ditinggalin?”

“kagak bakalan bisa, udah meninggal. Mungkin nanti ketemu, kalau waktu aku di dunia juga udah habis”

Jihoon tidak berkata apa-apa tapi tubuhnya dengan spontan memeluk soonyoung yang ada dipinggirnya.

“dulu waktu aku lulus SD, pengennya maen, kaya ngerayain gitu sama Enyak sama Babeh. Aku hari itu maksa banget mau jalan pokoknya, mau ke monas lah, mau ke ancol lah, kemana aja pokoknya. Hari itu Enyak bilang kalau dia lagi kurang enak badan, tapi aku maksa. Pokoknya hari itu harus pergi. Babeh juga bilang kalau lagi males keluar, entah kenapa hari itu Enyak sama Babeh males-malesan keluarnya. Mungkin emang harusnya kagak keluar, tapi aku tetep maksa. Sampai akhirnya kita bertiga beneran keluar, main ke beberapa tempat yang mau aku kunjungin. Seneng banget rasanya, gimana ya anak kecil kemauannya tercapai pasti seneng banget. Perayaan kelulusan aku berakhir ketika, kita mau pulang. Aku lagi tidur di belakang, tiba-tiba ada hantaman keras banget. Kita tabrakan, lumayan kenceng. Tapi Enyak kena semuanya, mobil penyok di bagian Enyak duduk. Gak bisa selamet, sebelum sampe rumah sakit juga udah gak ada. Babeh sama aku juga harus di rawat, babeh sih paling lama. Sampe kita gak nganterin Enyak buat yang terakhir kalinya.....” Soonyoung menghentikan ceritanya sebentar, ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan, setelah itu ia kembali menceritakan kisahnya kepada Jihoon.

“Habis kejadian itu, semuanya berubah. Babeh jadi stres, sering diem, kagak pernah nganggap aku ada padahal kita satu rumah. Aku juga seringnya di urus sama orang tuanya Jinjin. Awalnya aku ngerasain sedih, sedih aja belum ngerasain bersalah. Mulai ngerasa bersalah ketika babeh udah mau bicara sama aku, tapi setiap kata yang babeh ucapkan itu nyalahin aku. Semuanya salah aku, pokoknya gitu dulu kata babeh. Sekitar berbulan-bulan keadaan rumah kagak bener, babeh sering bentak, marah dan nyalahin semuanya sama aku. Pas kelas 1 SMP tuh puncaknya sih waktu aku baru masuk sekolah sekitar satu bulanan. Aku juga jadi mikir dan stress juga karena di salahin terus, yang akhirnya ngebuat aku jadi ngerasa bersalah banget, seolah-olah aku yang udah ngebunuh Enyak. Di rumah aku stress, tiap hari kayanya kagak pernah kagak nangis, pasti nangis terus. Belum di sekolah, entah kenapa cerita kalau babeh selalu nyalahin aku itu kesebar ke sekolah. Teman kelas pada tahu, dan kagak ada yang merasa kasihan malah mereka juga waktu itu sama kaya babeh, nyalahin aku dan parahnya ada yang ngatain aku sebagai pembunuh. Terus ...”

“Soonyoung....”

“kamu kenapa nangis? Aku udah kagak kenapa-kenapa sekarang”

“Babeh jahat”

“kagak jahat, babehkan lagi sedih-sedihnya waktu itu, lagiankan sekarang kita udah baikan, udah dari lama malah”

“kamu gak papa beneran kan?” tanya Jihoon memastikan

“kalau dulu kenapa-kenapa, soalnya aku dulu sampai kagak sekolah 2 bulan lebih, selama dua bulan ya sakit fisik iya, mental udah jelas. Hampir mau self harm tapi enggak sih untungnya, waktu itu selama dua bulan kagak sekolah babeh kayanya mulai ngeliat aku lagi. Setelah liat keadaan aku, babeh kagak pernah nyalahin lagi, tapi kita masih jarang ngomong, ngomong tuh yang seperlunya aja. Aku juga sempet kagak mau sama sekali ketemu orang, kalau ketemu orang bawaannya tutup telinga”

“pasti berat, kamu sendirian waktu itu?” tanya Jihoon

“ada Jinjin sama keluarganya. Terus Babeh juga mulai sedikit demi sedikit berubah”

“babeh ke psikolog juga?”

“Iya, kagak tau sih kalau babeh mulai ke psikolognya kapan, tapi yang jelas babeh lebih stabil sebelum ngajak aku ke psikolog. Duluan babeh emang, baru ngajak aku. Prosesnya panjang, dari konsultasi, konseling, terapi bareng sama babeh. Awalnya berdua sampai babeh berhenti di psikolog yang khusus keluarga, sedangkan aku waktu itu di alihin ke yang klinis. Disitu mulai aku terapinya sendiri tapi tetep sama babeh ditemenin. Aku sampai dikasih obat juga, lama sih aku terapinya”

“bisa kembali ke soonyoung yang kaya gini berapa lama?”

“beberapa bulan juga udah bisa sekolah lagi tapi ya gitu sama kaya Jihoon kali ya ngehindarin orang-orang. Paling ya temenan sama Jinjin doang. Kalau jadi aku yang sekarang lagi panjang banget 5 tahunan kayanya sampai SMA, kagak minum obat tapi masih suka konsul aja. karena waktu itu aku mau yakin dulu aku bisa apa kagak ngatasin diri aku sendiri gitu. Waktu aku udah aktif di SMA dan jadi ketua osis juga masih suka konsul”

“kalau aku selama itu juga gimana?”

“ya kagak apa-apa, emang kenapa?” tanya soonyoung balik

“kamu... masih mau nemenin?”

“aku temenin”

“okay” kata Jihoon.

Hari terakhir di tahun 2020 menjadi hari dimana Soonyoung dan Jihoon saling berbagi lukanya, Soonyoung yang sudah bisa menghadapi dan sudah berdamai dengan lukanya berharap Jihoon akan segera bisa menghadapi dan berdamai juga dengan lukanya yang mungkin masih saja terasa baru oleh Jihoon.

Rasanya lega, apalagi untuk Jihoon. Ceritanya yang hanya Mingyu yang tahu, kini ada Soonyoung yang juga sudah mendengarkan bagaimana cerita mengenai dirinya.

Kalau kata Soonyoung, bertahap. Tidak apa-apa lama, namanya juga berproses. setiap manusia seperti itu dalam hidupnya masing-masing. Jihoon sendiri tidak menyangka akan luka lama seorang Soonyoung yang sebenarnya jika dilihat-lihat ia seperti tidak pernah memiliki luka sedalam itu sama sekali, tapi ternyata.

Jihoon mulai mengagumi seorang Soonyoung yang bisa berdamai dengan luka dan mampu menghadapi permasalahannya dengan baik, meskipun lama tapi akhirnya dia berada di titik sekarang. Di titik, dimana kita sama sekali tidak pernah membayangkan kalau hidupnya dulu sekejam itu. Tapi dia baik-baik saja, karena dia sudah ikhlas.

Sekitar 20 menit setelah bercerita, Jihoon sempat mengajak Soonyoung untuk keluar melihat teman-temannya, tapi di tolak oleh Soonyoung, katanya nanti saja kalau sudah jam sebelas. Sekarang masih jam sepuluh dan sudah sekitar 2 jam pula teman-teman dan anggota organisasi berkumpul.

Hingga akhirnya sekarang sudah mau jam 11, tadi Joy sempat bertanya lagi kalau Soonyoung mau gabung atau tidak, babeh jawab kalau Soonyoung nanti aja bentar lagi, katanya. Babeh ini selalu mengakrabkan diri dengan teman-teman soonyoung, banyak sekali teman soonyoung yang selalu menganggap babeh sebagai orang tuanya sendiri dan babeh seneng karena ia tahu kalau soonyoung memiliki banyak teman, dia bersyukur untuk itu.

Babeh selalu senang dengan kegiatan seperti ini, ia bisa melihat teman-teman soonyoung berbincang dan tertawa-tawa di depannya. Ia bisa merasakan kebahagiaan dari setiap orang yang sedang berkumpul saat ini. bukan hanya tahun baru saja , tetapi ketika lebaran juga babeh selalu mengundang teman-teman soonyoung yang sedang senggang. Alasannya selain bersilaturahmi tentu saja untuk membuat Soonyoung senang.

Babeh sampai saat ini, masih dan akan selalu berusaha menjadi orang tua yang mengerti anaknya, ia masih merasa bersalah atas bagaimana perlakuannya dulu kepada Soonyoung, tapi semuanya sudah berlalu. Babeh akan melanjutkan hidupnya sebagai babeh Soonyoung yang selalu mendukung Soonyoung dan menyayangi anak satu-satunya itu.

“jin, panggilin ketum lu pade, sejam lagi jam 12” kata babeh, dan jinjin masuk ke dalam kosan untuk mengajak Soonyoung dan juga Jihoon merayakan tahun baru bersama mereka

“tum” kata jinjin, ternyata Soonyoung dan Jihoon sudah duduk di ruang tengah memperhatikan mereka yang sedang asik mengobrol di luar, posisi teman-teman Soonyoung dan juga babeh itu berada di halaman kosan yang lumayan luas, mereka duduk di bawah menggunakan karpet. Dari ruang tengah saja terlihat sebenernya apalagi kalau pintunya tidak di tutup

“ayo ngumpul disana” lanjut jinjin

Jinjin masih berdiri di depan mereka berdua, Soonyoung masih belum juga beridiri dan mengiyakan ajakan sahabatnya itu. Akhirnya Jinjin memutuskan untuk duduk dulu di sofa.

“lepasin dulu napa tum pelukannya, pelukan mulu lo berdua” kata Jinjin dan perkataannya tdak di gubris oleh Soonyoung maupun Jihoon.

Setelah sekitar 15 menit Jinjin duduk disana akhirnya Soonyoung mengajak Jihoon keluar.

“kesana yuk” ajak Soonyoung pada Jihoon, yang di ajak masih ragu antara mau ikut atau tidak.

“disana juga ada Mingyu” bujuk jinjin, Jihoon masih diam

“sebentar aja ikut, nanti jam 1 kita masuk lagi” kata Soonyoung dan Jihoon mengangguk

Mereka bertiga berjalan dengan Soonyoung dan Jihoon berjalan sambil menggenggam tangan satu sama lain, sedangkan jinjin berjalan dibelakangnya.

Soonyoung, Jihoon dan Jinjin langsung menghampiri teman-temannya yang sedang asik mengobrol dan bermain game. Ketika Soonyoung datang teman-temannya semua langsung menyapa dan mengajak Soonyoung untuk segera duduk.

“sini tong” kata babeh dan Soonyoung duduk di sebelah Jinjin, Jihoon duduk di antara babeh dan Soonyoung.

“hai, jodohnya ketum” sapa hayoung kepada Jihoon, Jihoon hanya melihatnya dan tidak membalas perkataan Hayoung

“kan gue bilang apa” bisik Jinjin kepada Hayoung yang berada dipinggirnya.

Soonyoung menyapa beberapa anggotanya, diantara mereka ada yang kebingungan dengan sosok baru di samping ketum, tapi mereka juga tidak bertanya. Memang yang tahu Jihoon kan cuman 'petinggi' setiap organisasi saja.

Mereka sibuk berbincang satu sama lain, Mingyu yang memang gampang berbaur dengan orang baru sudah akrab saja dengan anggota BEM. Tapi ada Jihoon yang dari tadi hanya memperhatikan mereka semua. Terkadang Soonyoung melihat ke arahnya untuk memastikan kalau Jihoon nyaman. Disisi lain ada Babeh yang selalu menertawakan setiap candaan, Babeh juga kadang menjahili Jihoon. Dia suka berbisik kepada Jihoon, katanya “peluk aja Soonyoungnya peluk” di balas dengan raut wajah sinis Jihoon yang malah membuat Babeh tertawa karena Jihoon sangat gemas.

Waktu sudah menunjukan pukul 23.59, masing-masing sudah bersiap untuk menyambut tahun baru 2021. Ada Jinjin yang heboh banget dia udah berdiri sama Jun sambil jingkrak-jingkrak dan siap saling memeluk satu sama lain “anjirr bentar lagi bentar lagi, sini Jun anjirrr kita harus berpelukan di jam 00.00” yang lain hanya bisa menertawakan sikap absurd dari dua makhluk itu. Jihoon juga tadi sempat tertawa, karena dia baru kali ini melihat ada orang yang 'ko aneh banget ya enggak tahu malu'.

Lalu mendekati pergantian tahun, jinjin, jun dan juga hansol (yang menjadi anggota ketiga) langsung sibuk sendiri menghitung mundur “4, 3, 2, 1.... SELAMAT TAHUN BARU ANJIRRR” teriak Jinjin yang langsung Babeh pukul tangannya karena sudah berbicara kasar.

“selamat tahun baru anak-anak babeh, sekarang kita berdo’a dulu biar kuat buat menghadapi tahun 2021, berdo’a sesuai kepercayaan masing-masing, berdo’a di mulai”

Mereka berdo’a dan meninggalkan keburukan di tahun 2020 serta berharap untuk tahun yang lebih baik di 2021.

“selamat tahun baru ya Jihoon” kata Babeh kepada Jihoon

“selamat tahun baru juga” jawab Jihoon

Mingyu melihat ke arah Jihoon, ia mengucapkan selamat tahun baru kepada Jihoon tanpa suara, dan Jihoon membalas dengan anggukan. Setelah mengucapkan kalimat tersebut Mingyu langsung memegang tangan pacarnya yang sedang duduk di sampingnya “selamat tahun baru sayangnya mingyu” dan jeonghan tersenyum lalu ia memeluk Mingyu sebentar. Sangat bahagia tentu saja, Jeonghan bisa dengan bebas memeluk Mingyu di depan teman-temannya, di depan seungcheol dan paling lega ketika ia tidak perlu menyembunyikan hubungannya lagi dari Jihoon. Semua orang sudah tahu dan Jeonghan maupun Mingyu sangat bahagia saat ini.

“Selamat tahun baru” Soonyoung yang sedari tadi sibuk membalas ucapan dari anggota dan teman-temannya, akhirnya bisa melihat ke arah Jihoon dan memberikan ucapan selamat tahun baru kepada Jihoon.

“selamat tahun baru juga” jawabnya

Soonyoung tersenyum kepada Jihoon, lalu ia mengambil satu tangan Jihoon dan menggenggamnya. Jihoonpun memberikan senyumannya kepada Soonyoung, entah malam itu Jihoon merasa sedikit bisa membuang beban dipikirannya, ia bahagia ketika setidaknya bisa berbaur dengan orang lain. Masih dengan senyuman di wajahnya, Jihoon memeluk Soonyoung di depan semua orang yang masih asik merayakan pergantian tahun. Soonyoung membalas pelukan Jihoon, bisa terdengar suara Jinjin dipinggirnya yang sedang meledek Joy dan juga orang-orang yang mungkin malam itu patah hati dengan bucin live action-nya seorang ketum.

“makasih” kata Jihoon, ketika ia melepaskan pelukannya

“sama-sama” jawab Soonyoung

Mereka kembali ikut membaur dengan yang lainnya, tertawa, menikmati kembang api yang menjadi pemandangan indah malam ini. Suasananya nyaman sekali, ada tangan Jeonghan yang sedang digenggam oleh Mingyu, ada tangan Jihoon yang sedang digenggam oleh Soonyoung, ada Seungcheol yang juga ikut bahagia ketika melihat sahabatnya bahagia, ada Jinjin, Jun, Hansol dan Juga Joy yang dari tadi asik berantem sambil ketawa-ketawa, sisanya ikut menartawakan kebodohan mereka.

Waktu sudah menunjukan pukul satu malam, biasanya Jihoon sudah tidur. Dia juga sepertinya sudah mengantuk.

“mau tidur?” tanya Soonyoung

“apa?” tanya Jihoon lagi, karena disana masih ramai terlalu banyak suara jadinya suara soonyoung tidak terdengar dengan jelas.

“kamu udah ngantuk? Mau tidur?” tanya Soonyoung lagi

“iya, gak papa?”tanya Jihoon

“ya kagak kenapa-kenapa”

Soonyoung pamit sebentar kepada teman-teman dan anggotanya, ia cukup malu juga sih, tapi tidak apa-apa toh ini dilakukan cuman setahun sekali, ditambah lagi memang keadannya Jihoon lagi manja banget sama dirinya, gak bisa protes, karena Soonyoung sendiri senang.

“ngapa lu Joy?” babeh bertanya ketika Soonyoung dan Jihoon sudah pergi masuk lagi ke dalam kosan

“cemburu dia tuh beh” jawab Jinjin

“disini, yang demen sama anak gua banyak ya? Jujur aja dah lu semua, gue juga tau haha sayangnya anak gua dah milih satu orang. Pokoknya sabar ya buat lu semua, tukang parkir bersabda katanya ‘munduuuur, munduuuurrr’ jadi yang tabah terus usaha nyari yang lain ye” kata babeh dan lebih dari 10 orang (termasuk Joy dan juga Chan) yang ada di sana mengangguk secara spontan.

Mereka masih disana ditinggal oleh ketumnya yang sekarang memilih untuk menemani Jihoon di dalam kamar, keadaan masih bising dengan suara kembang api, mau tidurpun Jihoon tidak akan bisa. Jadi mereka hanya bisa tiduran sambil Jihoon memeluk Soonyoung.

“kalau, suatu hari nanti kamu punya pacar, bilang ya? Jangan kaya Mingyu” kata Jihoon

“Iya, nanti aku bilang. Bakal langsung bilang detik itu juga kalau aku pacaran”

Soonyoung dalam hatinya hanya bisa mengatakan kata-kata yang baru saja tadi ia katakan kepada Jihoon.

-yang sabar, semuanya juga bertahap, semuanya berproses.

‘Ada satu hal kecil yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, tapi rasanya itu menjadi beban paling besar dalam hidupku’

Ada beberapa hal yang membentuk diri seseorang, seperti lingkungan. Bagaimana cara orang tua mendidik, bagaimana kamu berteman lalu bagaimana kamu memperlakukan dirimu sendiri.

Begitupun dengan kebahagiaan dan rasa aman yang bisa didapatkan dari keluarga, teman dan juga diri sendiri. Ada beberapa hal yang mungkin dilupakan padahal itu sangat dekat dan ada yang susah payah mencarinya meskipun itu jauh, tapi tetap dilakukan. Kan katanya, manusia di dunia ini salah satunya mencari kebahagiaan dan rasa aman.

Jalan hidup Jihoon sudah ditentukan oleh Ayahnya, itulah yang membentuk kepribadian dan cara berpikir Jihoon. Lalu bagaimana dengan kebahagiaan dan rasa amannya, Jihoon hanya mendapatkannya dari teman (hanya Mingyu), dari diri sendiripun dia tidak bisa memberikan dua hal tersebut.

“aku cuman mau ayah berhenti mengatakan apa yang harus aku lakukan, mendikte apapun dan bagaimana caranya aku menghadapi dunia”

Sayangnya Jihoon tidak pernah mengutarakan kalimat itu, ia hanya memendam dan membiarkan sampai ia sendiri lupa, kalau ada kalimat itu di kepalanya. Dan yang dia ingat, hanya keburukan tentang dirinya sendiri.

Jangan salah, Jihoon pernah mencoba. Histori video yang ia tonton di youtube juga menunjukan dia pernah mencoba. Isu keluarga, bagaimana supaya menjadi lebih percaya diri, bukan salah aku, bagaimana cara berbicara dengan orang tua, how to love my self. Kira-kira seperti itu judul dari video-video yang Jihoon tonton. Hatinya sempat tergugah, lalu layu lagi. Orang asing berbicara lalu apakah kamu akan langsung mempercayainya?, tentu saja tidak begitupun Jihoon. Memberikan sedikit energi positif, tapi besoknya ia lupa. Karena dia tidak pernah menerima dan melakukannya di dunia nyata. Kalau hanya sekedar teori, Jihoon bilang “mana bisa ngerubah”.

Sudah sekitar lima belas menit dan Jihoon masih dalam pelukan Soonyoung, Jeonghan dan juga Mingyu masih di sana, mereka hanya duduk memperhatikan Jihoon, sempat beberapa kali Jeonghan meneteskan airmatanya, begitupun dengan Mingyu karena apapun yang Jihoon katakan terdengar sangat menyakitkan bagi mereka.

“ada yang mau diomongin sama aku? Kalau nyaman cerita, cerita aja. Kalau kagak juga yaudah, jangan dulu” soonyoung berbicara dengan pelan, tangannya dari tadi masih setia mengelus kepala Jihoon yang sedang beristirahat di dadanya.

“semuanya terjadi karena kesalahan aku, i-ibu pergi juga karena aku” Jihoon hanya menjawab dengan kata-kata yang saat ini sedang menguasai isi kepalanya.

“mereka....bercerai dan berantem karena aku, a-aku selalu gak bisa menjadi yang terbaik, aku selalu gagal bahkan dalam hal yang sudah a-aku kuasai. Ayah bilang aku tidak berguna....” Jihoon diam sebentar, ia memeluk Soonyoung lebih erat lagi.

what was so wrong with me, sampai Ibu ninggalin aku?” Di ruangan itu ada Jihoon yang sedang meledak, berharap bisa mendepak emosi yang selama ini ia pendam, ia mengeluarkan sedikit demi sedikit permasalahan di hadapan pihak yang menjadi salah satu penyebab.

“semuanya bukan salah Jihoon. Kamu udah melakukan yang terbaik, aku juga yakin kamu sudah berusaha. Hanya saja kamu tidak ada yang mengapresiasi, mungkin hanya mingyu. Ayah kamu tidak dan diri kamu sendiri tidak mengapresiasi diri kamu”

“..........”

Jihoon tidak menjawab, dia diam. Perkataan Soonyoung bisa benar, bisa juga salah. Jihoon memang sering membanggakan dirinya, dia percaya diri dalam waktu tertentu. Tapi sekalinya ia jatuh, akan susah untuk ia mendapatkan hal itu lagi. Jihoon bilang “aku pasti menang” lalu malam harinya ia kembali berpikir “besok bisa tidak ya, bagaimana kalau aku melakukan kesalahan”. Kadang dia berkata kasar pada dirinya sendiri, pada orang lainpun sering. Jika dipikirkan lagi, Jihoon lupa terakhir kalinya ia menyanjung dirinya sendiri, hanya perkataan buruk yang selalu ia berikan. Nyatanya, menyanjung diri sendiri lebih sulit.

Tidak ada lagi yang ingin mereka bicarakan, tidak ada jawaban lagi dari Jihoon. Suasananya masih sama, masih berbalut kesedihan. Bahkan Jeonghan yang hanya mendengarkanpun ikut terbelit dalam kesedihan Jihoon.

“Jihoon kalau misalkan nih ya, misal ada anak kecil yang punya masalah yang sama kaya kamu, dia ngerasa dirinya penyebab orangtuanya bercerai, dia ngerasa kagak bisa ngelakuin apapun yang orangtuanya mau, dia sedih, apa yang mau kamu bilang sama anak itu?” Soonyoung masih berusaha mengajak Jihoon untuk berbicara. Apa tujuannya, Soonyoungpun tidak tahu. Yang penting Jihoon melupakan sedikit kesedihannya, ia mau mengalihkan apa yang sedang Jihoon rasakan.

“kamu ...anak kecil...gak ada salah” jawabnya

“jadi dia kagak salah?” tanya Soonyoung lagi

“kenapa nyalahin anak kecil, yang berantem dan tau masalahnya kan orang dewasa, dia cuman diam di rumah dan gak tau apa-apa” suaranya yang begitu lirih hampir tidak bisa didengar tapi tidak mengalahkan keberanian Jihoon untuk berbicara mencoba membela ‘anak kecil’ yang sedang Soonyoung bicarakan.

“tapi dia ngerasa, semuanya salah dia. Gimana dong?” pancing Soonyoung lagi, Mingyu dan Jeonghan hanya bisa mendengar perkataan Soonyoung. Perkataan Jihoon terpotong-potong dipendengaran mereka.

“j-jangan ngerasa bersalah itu menyakitkan, anak kecil gak salah.....aku yakin dia cuman ngelakuin apa yang seharusnya anak kecil lakuin, adeknya gak salah Soonyoung”

“dia juga ngerasa dia gak berguna, gimana?”

“enggaak, adeknya kasian soonyoung kenapa dia ngerasa kaya gitu?” Jihoon yang merasa sedikit bingung, memutuskan untuk siap membantah perasaan ‘anak kecil’ itu dan bertanya kepada Soonyoung

“karena dia ngerasa jadi beban? Mungkin?” jawab Soonyoung yang terkesan masih sebagai pertanyaan.

Jihoon masih diam, mungkin dia sedang berpikir atas apa yang akan ia bicarakan, atau mungkin dia merasa ada yang salah dengan ‘anak kecil’ ini.

know your worth jadi kamu bisa percaya diri” lalu Jihoon diam sebentar “gak semua salah adek kecilnya, dia gak pernah salah soonyoung kenapa dia ngerasa gitu?” dan dia bertanya lagi.

“aku juga gak tau, kenapa Jihoon ngerasanya begitu?”

Mingyu dan Jeonghan tercengang dengan pertanyaan terakhir yang Soonyoung lontarkan. Kalau Jihoon, dia hanya diam bingung bagaimana menjawabnya setelah apa yang tadi iakatakan kepada ‘anak kecil’.

“........”

Jihoon yang tadinya menyembunyikan wajahnya di pelukan soonyoung, sedikit memunculkan wajahnya dan menatap ke arah mata soonyoung.

“Aku cuman berharap Jihoon bisa ngomong hal itu ke diri sendiri, meskipun susah, tapi pelan-pelan. aku bakal terus ngingetin kamu, kalau jihoon berhasil aku bakal apresiasi semua kerja keras kamu, kalau Jihoon gagal akan ada yang terus ngingetin kalau masih ada kesempatan lain, cukup diambil hikmahnya. Semuanya terjadi, memang akan sulit, selamanya tidak akan baik-baik aja tapi bakal ada yang nemenin jihoon, bakal ada yang selalu siap dengerin kamu cerita. Setiap kali jihoon ngerasain cemas atau panik, aku cuman mau jihoon tolong banget supaya berkata baik ke diri sendiri”

“gampang kalau bicara” Jihoon kembali menyembunyikan wajahnya

“pelan-pelan, asal jihoonnya mau” Soonyoung masih dengan lembutnya membujuk seorang Lee Jihoon.

“gak tau, gak yakin bisa” dan jawabannya selalu begini.

Hanya bisa Sabar, semuanya juga butuh proses. Tidak semata-mata ia nyaman dengan Soonyoung lalu Jihoon menjadi berubah dan menjadi orang yang lebih positif. Tentu saja tidak, masih banyak hal yang harus Jihoon lakukan jika ia mau merubah pola pikirnya, maka ia harus keluar dari zona nyamannya dan berusaha mencari solusi itu. Soonyoung dalam hatinya selalu mengatakan kalau ia akan menemani Jihoon dalam setiap proses apapun yang akan Jihoon lewati.

“yaudah, gak papa..mau pulang sama aku? Atau sama mingyu?” tanyanya ketika Soonyoung sendiri sadar kalau tidak baik terlalu mendesak Jihoon dalam satu waktu. Ditambah lagi sekarang sudah jam sembilan malam, sudah terlalu malam, Jihoon tentunya sudah lelah, begitupun dengan mereka yang menemani Jihoon.

Ketika Jihoon mengatakan “sama kamu”, Soonyoung yang selalu mengiyakan perkataan Jihoon, berdiri dan membawa Jihoon keluar dari ruang panitia. Mingyu dan Jeonghan mengikuti, setelah tadi berbincang sebentar, mereka memutuskan untuk menginap di kosan Soonyoung. Salah satu bentuk pembuktian kalau mereka akan selalu ada bersama Jihoon.

Soonyoung sedang duduk, ia masih bisa merasakan tatapan dari teman-temannya yang sangat dia pahami kenapa mereka bertanya-tanya. Calon jodohnya sedang tidak baik-baik saja dan soonyoung hanya diam.

“tum, lo gak papa?” tanya jinjin dan soonyoung hanya membalas dengan anggukan. Tidak mau bertanya lebih lanjut lagi, jinjin mencoba fokus menonton peserta terakhir yang sedang memainkan pianonya dengan lancar.

“soonyoung” kata jeonghan. Untuk mendekat ke arah soonyoung, jeonghan berjalan sambil menunduk dan mengucapkan kata permisi beberapa kali karena ia mengganggu orang lain yang sedang menonton. Untungnya bagian ujung ini ditempati oleh teman-teman soonyoung jadi ia bisa memanggil soonyoung tanpa harus takut dimarahi oleh orang lain.

“ikut kebelakang ayo, sebentar” setelah yakin kalau soonyoung mendengar apa yang ia ucapkan, jeonghan berjalan menuju keluar hall dan soonyoung mengikutinya. Mereka berjalan menuju ruang panitia, jeonghan tidak memberi tahu soonyoung kenapa dia harus datang ke ruang panitia lagi ketika pekerjaannya sudah selesai.

Jeonghan membuka pintu dan soonyoung bisa melihat ada jihoon yang sedang di peluk oleh mingyu. Terdengar suara isak tangis sudah jelas itu suara jihoon.

“tum” mingyu memanggil soonyoung ketika soonyoung memasuki ruangan, jihoon melepaskan pelukan mingyu. Ia melihat ke arah soonyoung, soonyoung juga melihat ke arah jihoon. Tapi dia tidak melakukan apapun, mereka berdua masih terdiam. Begitpun dengan jeonghan dan mingyu.

Jihoon sendiri terlihat semakin berantakan, nafasnya mulai tersenggal-senggal, ia menahan suara tangisnya tapi tetap terdengar kali ini bahkan lebih parah dari sebelumnya, tangannya terus meremas jasnya sendiri, tapi matanya masih menatap soonyoung.

“tum” panggil mingyu, dia menyadarkan soonyoung untuk segera mendekatkan dirinya kepada jihoon.

“han, tolong ambilin air dingin dong yang botolan gitu, kalau bisa botolnya masih dingin ya” setelah soonyoung mengatakan itu jeonghan langsung pergi keluar, ia menuju ke ruang panitia yang lebih lengkap fasilitasnya.

Mingyu yang tadinya duduk berdekatan dengan jihoon sedikit memberikan jarak ketika soonyoung mulai berjalan ke arah jihoon. Soonyoung sendiri bisa melihat bagaimana jihoon terlihat sangat tidak baik-baik saja. Hatinya ikut sakit, hanya dari melihat penampilan jihoonpun soonyoung dapat merasakan kesedihan.

Soonyoung kini sudah berada di depan jihoon, ia mensejajarkan dirinya dengan jihoon yang sedang duduk di kursi. perlahan soonyoung melakukan sesuatu. ia melepas sepatu jihoon, lalu ia kembali meletakan kaki jihoon di lantai.Mingyu dan tentu saja jihoon hanya memperhatikan setiap pergerakan soonyoung.

Ia memegang tangan dan kedua pipi jihoon.

“panas gini ming, lu kagak kasih dia minum?” tanya soonyoung

“maaf tum gue ikut panik juga tadi habis ngadepin ayahnya”

Soonyoung hanya menggelengkan kepalanya, ia mencoba mengecek detak jantung jihoon yang ternyata sesuai dengan dugannya kalau detaknya sangat cepat. Jihoon sendiri masih belum berhenti menangis, pikirannya juga masih kacau. Ada soonyoung di depannya tapi soonyoung belum mengatakan apapun kepadanya.

Jeonghan datang dengan membawa apa yang tadi soonyoung katakan. Jeonghan lalu memberikannya kepada soonyoung.

“pegang ini” kata soonyoung kepada jihoon, lalu jihoon memegang botol dingin itu.

“sekarang liat aku” soonyoung menangkup pipi jihoon, mereka saling bertatapan.

“breathe in, breathe out” soonyoung memperagakan gerakan nafas yang teratur, mengambil nafas dalam, tahan sebentar lalu keluarkan udara dari mulut. Awalnya jihoon tidak mengikutinya, jihoon malah menggenggam botol itu semakin erat.

“jihoon ikutin, pelan-pelan” kata soonyoung, lalu jihoon mulai mengikuti apa yang sedang soonyoung lakukan. Lima menit sudah berlalu, jihoon sudah tidak menangis lagi, meskipun kadang air matanya masih keluar dengan sendirinya. Tapi dia lebih tenang, detak jantungnya pun sudah lebih tenang.

Soonyoung menggenggam tangan jihoon, ia sedikit memijat setiap jemari milik jihoon.

“mau minum?” tanya soonyoung dan jihoon mengangguk, soonyoung lalu membukakan botol air yang tadi jihoon genggam.

Mingyu yang melihat sahabatnya sudah tenang ikut lega, setidaknya jihoon sudah tidak terlihat seberentakan tadi. Meskipun dia tidak tahu juga pikiran jihoon seperti apa, tapi setidaknya jihoon terlihat lebih bisa mengontrol dirinya sendiri setelah soonyoung datang.

Soonyoung berpindah posisi, ia tidak berada di depan jihoon lagi melainkan ikut duduk di pinggir jihoon. Ia melihat ke arah jihoon yang bahkan sedari tadi jihoon tidak pernah berpaling sedetikpun dari menatap soonyoung.

“mau peluk boleh?” tanya jihoon dengan suara lirihnya yang nyaris tidak terdengar

“boleh” jawab soonyoung

Lalu soonyoung merentangkan tangannya dan jihoon berhambur kepelukannya, jihoon lebih tenang tapi dia kembali meneteskan air matanya. Soonyoung terus mengelus kepala jihoon, ia berikan afeksi yang seharusnya mampu membuat jihoon lebih tenang.

“kita semua nemenin jihoon”

(-Jihoon)

Ketika mingyu datang dan menjadi zona nyaman dalam hidup aku, mulai saat itulah pemikiran kalau dtinggalkan oleh mingyu merupakan sebuah hal yang harus aku hindarin. Mungkin di mulai dari hari itu juga aku selalu memikirkan berbagai cara supaya kita terus bareng. Seringnya kepalaku cemas, banyak pertanyaan yang selalu ada, dari awal sampai sekarang terus mengendap di belakangku, pertanyaan itu sering sekali muncul “bagaimana hidupmu berjalan kalau mingyu pergi?” lalu aku dengan tegasnya selalu menjawab dalam hati dan pikiranku “aku tidak mau dia pergi”

Salah satu alasan kenapa aku tidak mau berteman dengan orang lain. Aku terlalu cemas, terlalu ragu dan kehilangan tenagaku untuk berinteraksi dengan orang lain. Bayangkan satu orang, mingyu aja udah bikin aku memikirkan hal yang aneh-aneh, ketakutan aku untuk ditinggal oleh orang lain itu bukan sekedar bercandaan. Lalu bagaimana aku bisa menghadapi ketakutan aku kehilangan teman jika temanku terlalu banyak. Mungkin setiap detik aku akan overthingking dan kelelahan. My mind can’t shut off, all i do is worry worry and worry.

Aku tahu, aku selalu panik ketika final dan kemungkinan itu terjadi sangat besar. Aku kadang bisa melewati kadang tidak, untuk final hari ini sayangnya i messed up. Aku kalah.

Dan aku tahu kenapa aku bisa seperti itu, bisa di gambarkan kalau panik yang aku alami itu muncul seperti gelombang dari berbagai kecemasan yang menghantam begitu kerasnya dalam satu waktu and boom i can’t handle it.

Katanya hidup seperti sebuah pertunjukan dan aku (kita) adalah pemeran utama di kehidupan kita masing-masing. Hahaha. Mau ketawa aja, aku selama ini bukan jadi pemeran utama dalam hidupku. Kenapa Ayah membebankan semua cita-cita dan harapannya sama aku?, pertanyaan yang hanya bisa di jawab oleh orang tua yang merasa anak adalah penerus cita-cita mereka yang gagal.

Disisi lain ada satu orang yang sepertinya menjalankan kehidupannya dengan baik, menjalankan kehidupannya sesuai dengan maunya dia. Kwon soonyoung, dia terlihat bebas. Pemikirannya dengan pemikiranku sangat berbeda. Ko bisa dia maksa mau temenan sama aku?

Kenal sama soonyoung, dia bilang kita teman, megang tangannya, terus pelukan. jujur, aku sendiri merasa bangga sama apa yang telah aku lakuin. Maksudnya, bukannya aku udah bisa ngebuka diri kepada orang lain ya? Tapi tetap aja sih, dia nambah pertanyaan dalam hidup aku. Yang awalnya cuman “bagaimana kalau mngyu ninggalin aku?” sekarang ditambah “bagaimana kalau soonyoung ninggalin aku juga?” frustasi iya, tapi mau gimana lagi.

Aku terkadang bersikap suka banget deket sama soonyoung, karena emang iya faktanya kaya gitu. Tapi sayangnya tiap malam aku selalu ketakutan. Bahkan pemicu terbesar kali ini adalah soonyoung, ucapan dan pesannya yang membuat aku merasa pecah. Dia baik, aku enggak. Aku tau aku maunya gimana, tapi gak bisa, susah.

Bisa saja aku menyalahkan soonyoung dan mingyu akan kegagalan aku kali ini, kenapa mingyu harus berpacaran dan ngebohongin aku? Kenapa soonyoung menjelaskan semua hal yang tidak mau aku dengar. Aku bisa menyalahkan mereka, tapi aku tahu. Semua berbalik pada diriku sendiri, awalnya terjadi karena aku yang salah. Semuanya memang salahku, mereka hanya bertindak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan juga. Aku mau menyalahkan orang tuaku karena sudah memberikan kenangan yang susah untuk dilupakan, kembali lagi aku sadar, kenapa aku tidak melupakannya semudah orang lain menganggap kalau kenangan itu tidak bermakna. mereka bilang lukaku tidak seberapa dengan lukanya.

Saat ini, di ruang panitia. Aku sadar hanya ada aku mingyu dan jeonghan di ruangan ini. mingyu menepati janjinya buat gak ninggalin aku. Aku dia peluk, dia bilang “gak papa, jangan dipikirin” tapi aku kepikiran.

Kepikiran banyak hal dalam satu waktu, aku yang merasa gagal, ayah bilang aku tidak berguna dan memang iya, main piano aja masa gak bisa padahal udah latihan dari kecil. Aku yang terus mikirin nama dia yang belakangan ini entah kenapa selalu menjadi tameng terdepan. Aku bilang sama mingyu kalau “aku... mau ketemu soonyoung”

the final-ljh 2020

Merupakan kesempatan terakhir untuk Jihoon, menunjukan kemampuannya didepan banyak orang. Untuk mendapatkan gelar yang selalu ia kejar selama hidupnya. Satu langkah lagi dan jalan itu akan terbuka, ia akan segera selesai.

Final termewah yang pernah Jihoon ikuti adalah final perlombaan kali ini, semuanya terlihat seolah-olah ini bukan sebuah perlombaan tapi seperti Jihoon sedang berada di 'acaranya' sendiri. Jihoon sudah menonton penampilan peserta sebelumnya, ia harusnya yakin kalau dirinya yang akan menang. Lagi-lagi, Jihoon tidak bisa ditebak. Ia berjalan menuju piano yang menjadi pusat perhatian semua orang saat ini.

Ada hal yang tidak biasanya Jihoon lakukan, ia melihat ke arah penonton, hampir kesetiap sudutnya ia lihat. Seperti tidak bisa menemukan sesuatu yang ia cari tapi Jihoon mencoba memfokuskan dirinya. Ia menunduk, menutup matanya.

”kalau ada apa-apa jihoon bilang sama ibu”

”jihoon anakku

”hak asuh.......”

”ibu...”

Jihoon terkejut, ia membuka matanya. Kenapa ia bisa mengingat hal mengerikan seperti itu?, Jihoon sendiri kebingungan. Suara ibu, ayah dan dirinya terdengar secara bersamaan. Jantungnya berdetak dengan cepat, ini baru pertamakali ia memikirkan ibunya lagi di saat penting, di saat ia dituntut untuk menjadi seorang Lee Jihoon yang luar biasa, perfectionist, tidak boleh ada celah untuk kesalahan.

Jihoon mencari keberadaan Ayahnya, ketika mereka saling bertatapan, Jihoon hanya merasakan tuntutan yang semakin besar seolah-olah Ayahnya mengatakan “lakukan dengan baik dan menang”.

Lagi, Jihoon masih mencoba untuk fokus, ia kembali menunduk dan menutup matanya. Menenangkan dan mengatur nafasnya.

”mingyu selalu ngedukung lu bukan? Kenapa lu kagak bisa ngedukung keputusan dia?”

” lu udah nyakitin mingyu juga jeonghan” terlintas dalam pikiran Jihoon, ia membalas apa yang sedang memenuhi pikirannya

”soonyoung kalau kamu bagaimana?” Tidak ada jawaban tentu saja, mata Jihoon masih tertutup. Mencari ketenangan, hanya ada dua pilihan siap atau dia gagal.

”kalau kamu minta ditemenin aku temenin..”

”jangan berpikir aku bakal ninggalin kamu, kagak bakalan..”

Jihoon membuka matanya, bukan ketenangan dan keberanian yang ia dapatkan. Ia menyentuh piano yang ada didepannya. Hatinya sakit, jantungnya berdebar. Jihoon masih terdiam tapi air matanya sudah menetes entah untuk yang keberapa kali.

Jihoon mengangkat tangannya, tidak ada kesiapan untuk memainkan piano, tangannya bergetar ia mencoba mengepalkan tangannya tapi tidak bisa, terlalu lemas tapi disisi lain menjadi kaku.

Hening, semuanya menunggu Jihoon untuk menunjukan apa yang telah ia persiapkan. Terdengar satu dentingan ke seluruh ruangan. Tapi Jihoon tidak melanjutkannya, ia berhenti. Bergegas pergi meninggalkan piano itu, tanpa menghiraukan tatapan Ayahnya yang sudah kalut dipenuhi oleh kemarahan.

'lebih baik aku tidak melakukannya dibandingkan aku melakukan kesalahan' itu Jihoon dan pemikirannya. Alasan : sama saja mengecewakan Ayah, sama saja, pada akhirnya aku akan kecewa pada diriku sendiri.

Jihoon melarikan diri ke backstage, ada Jeonghan disana. Jihoon duduk, ia menutup mukanya dengan tangannya yang gemetar, Jeonghan tahu kalau dia tidak bisa menenangkan Jihoon. Baru saja ia ingin berlari mencari Mingyu, tapi Mingyu sudah datang dengan Ayah Jihoon yang mengikuti dibelakngnya.

“Jihoon kamu makin tidak berguna ya” Ayah Jihoon mendekat dan mencoba membuat Jihoon berdiri dengan menarik tangan Jihoon secara kasar.

“om” cegah Mingyu

“Jihoon sama aku aja dulu om, nanti aku anterin ke rumah kalau sudah tenang lagi, kaya waktu itu”

Setelah puas memaki anaknya, Ayah Jihoon hanya mengatakan “terserah” lalu ia pergi meninggalkan Jihoon yang sedang diperhatikan oleh beberapa panitia disana. Tentu saja Jihoon jadi pusat perhatian di antara beberapa panitia ini, karena dia merupakan kandidat terkuat di kategori senior, semua panitia juga tahu. Sekarang 'si kandidat terkuat' itu sedang di olok-olok oleh Ayahnya sendiri, tanpa memperdulikan keberadaan beberapa panitia yang sedari tadi hanya melihat karena tidak tahu harus melakukan apa.

“bawa ke ruang panitia yang kosong aja” Jeonghan berbisik kepada Mingyu


empat, because i like you......

Jihoon masuk ke dalam rumah, hari ini sangat melelahkan. Setelah tadi berbicara dengan Soonyoung di mobil, kekuatannya untuk menghadapi hari ini dan esok sudah hilang. Perkataan soonyoung yang masih terpikirkan oleh dirinya, bagaimana ia baru menyadari (lagi) hal-hal yang tidak pernah (dan tidak mau) ia bayangkan sebelumnya. Jihoon hanya ingin beristirahat sebelum besok ia harus mengikuti final, perjalanan terakhir dalam sebuah perlombaan.

Sayangnya, hari ini Jihoon masih belum diperbolehkan untuk beristirahat. Ada Ayah yang menyambut kedatangan Jihoon dengan tatapan tidak suka yang terpancar dari matanya, ada hal yang ingin ayahnya utarakan.

“ jam 8 mulai latihan lagi” katanya

“enggak mau, aku capek. aku udah latihan terus menerus, mau istirahat malam ini”

“besok final jihoon”

“tapi aku capek ayah, mau istirahat”

“istirahat kamu itu ketika bermain piano, hidup kamu hanya untuk bermain piano, gak ada yang bisa kamu lakuin dan bisa kamu banggakan selain piano, kamu gak akan punya siapa-siapa kalau bukan karena piano. Ingat itu lee jihoon”

“terus kalau aku capek dan gak mau main piano lagi, ayah bakal buang aku juga gitu?”

“ayah bawa kamu hanya karena satu tujuan, kamu tahu itu”

“karena aku harus nerusin cita-cita ayah?...ayah gak pernah sayang sama aku, aku udah melakukan yang terbaik buat meraih cita-cita ayah itu”

“kamu ke kamar dan langsung latihan, tidak ada protes. Latihan juga demi kebaikan kamu”

Jihoon melihat ayahnya sebentar, menunggu apakah ada hal yang masih ingin dibicarakan. Setelah ayahnya pergi menuju ruang tamu, jihoon hanya mampu menatap punggung ayahnya yang sudah tidak tegap lagi, lalu jihoon berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

Tidak ada yang salah dengan cita-cita ayah jihoon, begitupun dengan jihoon yang mulai terbiasa dengan sikap ayahnya yang seolah-olah sudah memetakan dimana kesukaan jihoon dan apa bakatnya sedari kecil. Bagi orang tua itu merupakan langkah yang baik, jihoon sendiri tertarik dengan piano karena ayahnya selalu memainkan piano dirumah ketika dia masih sangat kecil, lalu ia menyukai dunia itu. Sampai akhirnya sesuatu yang baik mulai berubah, jihoon merasa semuanya terlalu berat. Sampai ia lupa rasanya bermain piano dengan bebas tanpa tuntunan.

Jihoon memutar sebuah rekaman audio, rekaman itu berisikan proses latihan piano yang berdurasi 4 jam. ia tidak mau latihan, jihoon memutar rekaman tersebut. Ayahnya mungkin akan menyangka kalau jihoon langsung berlatih. Nyatanya dia langsung membaringkan dirinya di kasur.

Tidak ada hari yang lebih buruk dari ini, pikir jihoon. Mingyu, yang selama ini selalu menjadi orang pertama yang ia datangi dan ia percaya telah membuatnya kehilangan rasa percaya itu, ia telah membohongi jihoon. Rasa kecewa yang jihoon rasakan sangat membuncah, jauh lebih kecewa ketika tahu kalau mingyu sudah punya pacar. Pikirannya sudah pergi kemana saja, kemungkinan mingyu meninggalkannya adalah pemikiran paling menakutkan bagi jihoon.

Siapa mingyu bagi jihoon? Tentu saja dia segalanya, satu-satunya orang yang bisa jihoon percayakan kebahagiaannya. Satu-satunya orang yang selalu ada ketika orang lain meninggalkannya. Tidak ada orang yang bisa menggantikan seorang kim mingyu dalam hidup jihoon. Mingyu ada ketika jihoon berada dalam masa terendahnya, ketika ia bahkan sudah tidak menginginkan untuk melihat dunia lagi, mingyu ada menawarkan diri untuk selalu membawa jihoon dan menemani jihoon. Dia yang sedang hilang arah dan mingyu sebagai petunjuk arahnya.

Saat kelas 3 sd, anak kecil pulang kerumah memiliki harapan untuk disambut oleh salah satu orang tuanya untuk menanyakan bagaimana kesehariannya ketika di sekolah dan sebagainya. Jihoon tidak pernah merasakan hal itu, kalaupun ada yang bertanya sudah jelas bukan orang tuanya, tapi orang tua mingyu. Dari kecil jihoon sudah di fokuskan bermain piano, ada 2 guru yang mengajarinya. Hari sabtu dan minggu jihoon tidak pernah pergi keluar, mingyu yang suka datang mengajaknya bermain ketika les pianonya sudah selesai.

Terkadang mereka bermain di rumah jihoon tapi lebih seringnya mingyu hanya menjemput jihoon untuk bermain di rumah mingyu. Mereka melalui masa kecil bersama.

Waktu terus berjalan, rumah bagi jihoon sudah tidak nyaman lagi, ia tidak pernah lagi merasakan kebahagiaan. Jihoon tidak paham, kenapa ia tidak bisa tertawa bersama dengan kedua orang tuanya. Bahkan, suasana makan malam bersama saja penuh dengan pertengkaran kedua orang tuanya, jihoon yang saat itu masih kecil yang ia bisa lakukan hanya terdiam, menuruti apa yang orang tuanya katakan, makan dengan cepat lalu pergi ke kamarnya.

Jihoon tidak tahu darimana awalnya pertengkaran itu, yang ia tahu namanya selalu di sebut ketika kedua orang tuanya bertengkar dan setelahnya ia menjadi kehilangan kenyamanan di rumahnya sendiri. Satu-satunya pelarian jihoon adalah mingyu, pergi ke rumahnya dan bermain dengan mingyu. Begitulah mingyu di mata jihoon, zona nyamannya yang baru ia temukan.

Sedangkan soonyoung, orang baru yang memiliki kehidupan yang sangat berbeda dengan jihoon. Soonyoung yang punya banyak teman, siapa sih yang tidak tahu sosok kwon soonyoung. Kalau kamu anak Universitas Jakpus, nama itu akan terus kamu dengar. Sedangkan jihoon, banyak orang yang tau dia tapi dia tidak tertarik untuk berteman dengan orang lain.

Soonyoung yang memililiki jiwa sosial yang tinggi sedangkan jihoon yang mementingkan diri sendiri, tidak pernah disangka mereka akan bertemu dan berada di titik jalan yang sama. Jihoon awalnya mengizinkan soonyoung untuk berada dikehidupannya, lalu sekarang ia ragu bahkan ia merasa apa yang telah ia izinkan itu sebuah kesalahan. Bisa dibilang mungin menyesal, karena semuanya jadi tidak bisa jihoon kontrol, perasaan dan pikirannya terlalu rumit ketika soonyoung datang.

Ada satu hal yang selalu membuat jihoon penasaran, kenapa soonyoung dalam menghadapi apapun selalu berkata dan bertindak dengan santai, soonyoung masih memperlakukan jihoon dengan baik. Atas apa yang telah jihoon ucapkan terhadap soonyoung, soonyoung masih memperlakukannya dengan sama.

“Apa soonyoung tidak ada keinginan untuk melimpahkan emosinya sama gue ya? atau mungkin ia memang terlalu pintar menyembunyikannya?” pikir jihoon.

Perasaan mungkin bisa di ekspresikan, isi hati yang sesungguhnyalah yang selalu jihoon ragukan, bagaimana caranya dia bisa melihat sesuatu yang bahkan bisa dimanipulasi dengan sebegitu rapihnya oleh setiap individu yang ia kenal termasuk dirinya sendiri.

Lalu.....untuk yang kesekian kalinya di malam itu, terlintas dalam pikiran jihoon, tentang bagaimana mingyu dan soonyoung yang selalu berada disampingnya hanyalah sebuah kebohongan belaka, atau mereka hanya merasa kasihan terhadap dirinya.

Malam itu jadi malam terberat untuk jihoon karena dia sudah tidak tau lagi harus pergi kemana, dia merasa tempat amannya sudah hilang.


tiga, “kamu bisa menemukan orang lain, kenapa masih disini?”

Soonyoung yang sedari tadi mendengarkan saja, kali ini ia ikut mencegah jihoon supaya jihoon tidak melanjutakan pembicaraannya. soonyoung tahu, kalau mingyu sudah tidak bisa menjelaskan dengan baik kepada jihoon. apalagi jeonghan, yang terlihat hanya raut wajah bingung dan terkejut.

“ikut aku keluar” soonyoung menggenggam tangan jihoon, ia menariknya dan berniat membawa jihoon pergi dari hadapan mingyu dan jeonghan.

“apaan sih lo? tadi disuruh ngomong sekarang dipaksa pergi” jihoon mencoba melepaskan tangannya dari genggaman tangan soonyoung, tapi ia tidak berhasil.

soonyoung membawa jihoon keluar, disana terlihat ada beberapa panitia lain. mau tidak mau untuk bisa berbicara dengan jihoon ia membawanya ke dalam parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.

jihoon dari tadi sudah mengomel, tidak setuju dengan tingkah soonyoung yang kali ini tidak mendengarkan perkatannya sama sekali.

“sakit tau tangan gue, sialan” kata jihoon ia masih memegang-megang tangannya yang tadi soonyoung genggam terlalu erat, sampai meninggalkan sedikit warna merah pada kulit putih milik jihoon.

“jihoon kalau ngomong itu coba dipikir dulu, kenapa ngomong kaya gitu?” tanya soonyoung

“ngomong apa? yang sex?” tanyanya

“iya, maksudnya kenapa harus kaya gitu. kenapa harus sampai ngerendahin diri kamu. kenapa harus ngomong kata-kata rendahan kaya gitu?, mingyu bakal tetap jadi sahabat kamu, kamu gak perlu ngomong hal kaya tadi”

“karena gue gak mau kehilangan mingyu, kalau emang itu yang dia mau yaudah, gue bisa ko”

“jihoon....tadi denger gak sih mingyu ngomong apa, dia gak butuh hal-hal kaya gitu, pacaran sama jeonghan bukan buat menuhin nafsu dia doang. mingyu juga butuh orang lain di hidupnya”

“gue cuman gak mau mingyu sakit hati nantinya” jawab jihoon

“lu diomongin baik-baik kagak mempan ya? mau gue omongin aja semuanya sekalian? lu sadar dong, cara lu memperlakukan mingyu sekarang aja udah bikin dia sakit hati, bahkan lu udah bikin dia menderita. lu ngekang dia gak boleh ini gak boleh itu, sampai nerapin prinsip lu ke kehidupan mingyu, yang jelas-jelas si mingyu kagak mau. lu paham gak sih? dia lagi sayang-sayangnya sama orang lain, dia punya orang yang dia cintai tapi dia dipaksa buat ninggalin itu orang, lu ngebikin dia buat pisah sama pacarnya yang bisa aja jeonghan lebih ngertiin mingyu di banding lu. lu tahu masalah mingyu apa? lu tahu di kampus dia punya kesulitan apa? enggak kan? dia kagak pernah ngomongin masalahnya sama lu”

“gua kagak tau kalau lu pernah ngerasain ini atau kagak, tapi harus berpisah sama orang yang lu cintai apalagi ada unsur paksaan itu udah kaya bencana besar, sedih, hampa, pokoknya perasaan yang kagak mau lu rasain lagi untuk yang kedua kalinya. lu udah nyakitin mingyu dan jeonghan, lu harusnya sadar itu jihoon”

“terus gue harus gimana biar mingyu gak ninggalin gue? ” jihoon memotong omongan soonyoung.

“jadi sahabat yang selalu saling dukung bukan mengekang. Mingyu selalu ngedukung lu bukan? kenapa lu kagak bisa ngedukung keputusan dia, kalaupun kagak bisa ngedukung seenggaknya lu menghormati keputusan dia”

“gue gak yakin itu bisa menjamin dia buat gak ninggalin gue”

“gua kagak tau apa alasan lu sebegitu takutnya ditinggalin mingyu, kalau lu dulu pernah ditinggalin oleh orang yang lu sayang, sampai lu kagak mau kehilangan orang lain lagi...”

jihoon mengalihkan pandangannya, ia melihat ke arah soonyoung.

“gua kagak ada maksud buat ngebandingin tapi jihoon, gua juga pernah ditinggalin sama orang yang gua sayang banget. mungkin masalah lu lebih berat...”

jihoon masih mendengarkan, matanya mulai berkaca-kaca begitupun dengan soonyoung.

“lu cuman deket sama mingyu dan memang wajar kalau lu takut kehilangan dia, tapi gua mohon banget sama lu, jangan sampai ngerendahin diri lu sendiri hanya karena takut ditingalin. Tolong sayangin diri lu sendiri, hargain diri lu sendiri jangan ngerendahin diri lu kaya tadi, lu itu..... bahkan buat gua, buat mingyu juga lu itu berharga banget jihoon. Makanya jangan, jangan kaya tadi lagi, jangan merendahkan diri lu hanya karena takut ditinggalin”

soonyoung berhenti sebentar, ia berpikir untuk menyampaikan ini atau tidak. tapi ia tetap melanjutkan perkataan yang sudah ada di kepalanya.

“dan juga emang ada waktunya buat kita saling meninggalkan, perpisahan itu selalu terjadi, lu harus inget kalau ada kehidupan maka ada kematian”

Soonyoung melihat ke arah jihoon, yang masih menatap soonyoung sedari tadi.

“maaf kalau gua menyampaikan sesuatu yang lu kagak mau denger”

“kenapa nangis?” tanya jihoon, soonyoung kembali melihat ke arah lain

“sedih, denger lu ngerendahin diri lu sendiri. gua lebih baik lu usir aja deh dari hidup lu juga kagak kenapa-kenapa, mau lu kata-katain juga terserah lu, gua kayanya masih sanggup ngedengerin lu ngoceh pake bahasa kasar, dibanding omongan lu tadi”

mereka berdua terdiam, jihoon tidak merespon perkataan soonyoung. sekitar 10 menit tidak ada yang bicara diantara mereka. soonyoung merasa sudah lega dengan apa yang sudah ia sampaikan, ia tidak tahu apakah jihoon akan mendengarkannya atau tidak.

“gua keluar dulu, tunggu sebentar” soonyoung keluar dari mobil, ketika kembali ia membawa air mineral. ia memberikan air itu kepada jihoon.

“minum, habis ini gua antar pulang” katanya

setelah sekitar satu jam mereka berada di mobil. soonyoung mengantarkan jihoon pulang, selama perjalanan tidak ada yang bicara. jihoon memilih untuk diam begitupun dengan soonyoung. bahkan ketika mereka sudah sampai di depan rumah jihoon, jihoon langsung keluar dari mobil soonyoung tanpa mengatakan apapun.


dua, even if i end up wanting more, there's nothing i can do...

Setelah menginap di kosan Soonyoung, Jihoon tidak pernah bepergian kemanapun. Ia mulai memfokuskan diri untuk final nanti, tidak boleh ada kesalahan lagi. Selain itu, ada orang yang selalu memantau Jihoon ketika ia berlatih, Ayahnya. Ayah Jihoon bahkan akan diam seharian di rumah untuk memantau Jihoon, ia tahu dengan kesalahan Jihoon ketika semifinal, sehingga ia memfokuskan Jihoon untuk terus berlatih sampai hari-h final yang akan diselenggarakan 2 minggu lagi.

Setelah makan malam, Jihoon kembali berlatih. Tetapi, baru saja 20 menit, tangannya sudah mulai terasa kaku. ia juga mulai bosan dengan apa yang ia sedang lakukan sekarang. Pikirnya, ia ingin istirahat untuk malam ini.

“mau main sama Mingyu, tapi tadi katanya dia main futsal” Jihoon berbicara sendiri. Lalu ia berdiri meninggalkan pianonya yang sudah berhari-hari ia gunakan untuk berlatih. Dalam keadaan seperti ini, kadang membuat Jhoon merasa ingin meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan piano, di sisi lain ia tidak bisa.

Jihoon mengambil handphonenya, ia mengetik sesuatu dan mengirimkan pesan itu kepada Soonyoung. Sekarang ada orang lain yang bisa Jihoon andalkan selain Mingyu. Tidak terlalu lama, Soonyoung membalas pesannya. Sekitar 10 menit Jihoon mematikan handphonenya dan bergegas mengganti baju. Jihoon akan bertemu dengan Soonyoung malam ini. Jihoon tentu saja sangat senang, akan ada hal lain yang mengalihkan perhatiannya dari berlatih piano, meskipun hanya sebentar tapi ini merupakan hal yang Jihoon butuhkan sekarang, untungnya Soonyoung mau.

Jihoon tidak keluar dari kamarnya, ia sudah mengganti baju dan sudah menyiapkan tas kecil untuk handphone dan dompetnya. Jihoon akan keluar dari kamarnya kalau Soonyoung sudah sampai.

sekitar 30 menit sudah berlalu, jihoon mendapatkan pesan dari Soonyoung. Jihoon keluar dari kamarnya, dari arah tangga ia bisa melihat ada ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu sambil memainkan handphone.

“Ayah, aku mau main keluar boleh?” Jihoon menghampiri ayahnya, jujur ia sangat gugup saat ini, karena tadi sebelum makan malam ayahnya sempat marah karena permainan piano Jihoon masih belum ada kemajuan.

“ngapain kamu main malam-malam? ada waktu buat main? sebentar lagi final Jihoon” Ayahnya Jihoon berdiri, ia memperhatikan Jihoon dari kepala sampai ke kaki.

“sudah mengganti pakaian saja, padahal tidak ada izin dari ayah”

“yah.. tapi soonyoung sudah didepan”

“siapa lagi dia? kalau sama mingyu ayah izinkan sampai jam 10 malam”

“soonyoung temen baru aku, dia mau ngomong dulu sama ayah”

Tidak ada jawaban dari Ayah Jihoon, ia hanya menggelengkan kepalanya, lalu duduk kembali. Jihoon sendiri masih menunggu, lalu ia teringat soonyoung. Jihoon pergi sebentar dan membukakan pintu rumahnya, disana sudah ada Soonyoung.

“dimana Ayahnya?” soonyoung bertanya kepada Jihoon, ia masih belum masuk ke dalam rumah.

“ada, lagi duduk” Jihoon terlihat cemberut, soonyoung menebak kalau Jihoon tidak di izinkan oleh Ayahnya untuk keluar.

“aku ngomong dulu sama ayah, kamu mau nunggu disini?” tanya soonyoung

“sama aku aja ayo ketemu ayahnya” Jihoon mengambil tangan soonyoung, ia menggenggam tangan soonyoung dan membawa soonyoung masuk ke dalam rumah.

Soonyoung tidak menyangka Jihoon masih menggenggam tangannya ketika mereka sudah berada di hadapan ayahnya sendiri.

“Ayah ini soonyoung”

“Malam om” soonyoung melepaskan tangan jihoon, ia menghampiri ayah jihon dan memberikan salam dengan berjabat tangan.

“Jihoon sedang dalam kegiatan latihannya, dia tidak bisa keluar” tanpa basa basi Ayah Jihoon langsung menyampaikan inti dari kemunculan soonyoung.

“tapi ayah....” baru saja jihoon mau berbicara, ayahnya sudah menyela lagi

“gak ada tapi-tapi, kamu pikir kamu sudah sempurna memainkan pianonya? belum kan?”

Jihoon hanya terdiam, ia sudah pasrah, sedari tadi kepalanya hanya menunduk.

“om begini, saya tidak akan lama ko, cuman mau ajak jihoon istirahat sebentar dari latihannya. supaya jihoonya tidak penat. Sebentar om, kalau om masih tidak percaya, om bisa menentukan waktunya”

“Jihoon bakal latihan lagi ko ayah kalau udah pulang nanti” Jihoon ikut meyakinkan Ayahnya, matanya sudah berkaca-kaca takut tidak diberikan izin karena jujur Jihoon ingin sekali keluar dari rumahnya, meskipun hanya sebentar.

“satu jam, jam 9 harus sudah di rumah”

“baik om, saya pastikan jihoon sampai di rumah jam 9 malam”

“terlalu sebentar, ayah sampai jam 10 boleh?” tanya jihoon

“kalau tidak mau yaudah gak usah” kata ayah jhoon final

“jihoon, satu jam aja, pasti cukup ko” soonyoung mencoba meyakinkan jihoon

“yaudah, ayah jihoon keluar dulu”

“permisi om”

Soonyoung dan Jihoon akhirnya keluar, jihoon masih sedikit kecewa karena waktu yang diberikan sangat sebentar. Mau pergi kemana kalau hanya satu jam.

mereka sudah berada di mobil dan jihoon masih saja cemberut

“ko masih cemberut gitu? kan udah diizinin keluar”

“sebentar banget waktunya, terus kita mau kemana? baru aja jalan udah keburu jam sembilan”

“mau diem di mobil aja?” soonyoung memberikan pilihan yang cukup rasional dengan waktu yang mereka punya, dibandingkan dengan menghabiskan waktu di jalan (soonyoung fokus nyetir) lebih baik kalau diam saja di mobil.

“nanti bosen”

“kagak bakalan, percaya deh. Aku nyalain lagu yang ada di playlist kamu ya” soonyoung mengeluarkan handphonenya.

“jangan punya aku, punya kamu aja, gak mau denger playlist punya aku” Jihoon menutup telinganya, ia sedang dalam fase ingin menghindari apapun itu yang berkaitan dengan piano.

“udah aku putar yang playlist aku, pas banget waktunya 30 menit jadi 2 kali putar playlistnya pas satu jam” Soonyoung menurunkan tangan jihoon supaya tidak menutupi lagi telinganya. Ketika soonyoung mau melepaskan tangannya dari tangan jihoon, jihoon malah memegang tangan soonyoung lebih erat lagi. ia menautkan jari-jarinya dengan punya Soonyoung.

“pinjem tangannya sebentar” kata Jihoon

4 lagu sudah terputar, bukannya semakin tenang Jihoon malah semakin terlihat kesal.

“mau pindah ke kursi belakang gak?” tanya soonyoung

Jihoon mengiyakan ajakan Soonyoung, Soonyoung bergerak dan pindah ke kursi belakang tanpa melepas tautan tangan mereka, Jihoon mengikuti apa yang soonyoung lakukan. Sekarang mereka sudah duduk di kursi belakang, sudah tidak ada jarak diantara Soonyoung dan Jihoon.

“mau minjem yang lain kaga? sekarang udah gak ada yang ngehalangin”

Jihoon langsung mepelaskan genggaman tangannya kepada soonyoung, ia lebih memilih untuk memeluk soonyoung. setelah posisinya nyaman dalam pelukan soonyoung, jihoon mencari tangan kanan soonyoung dan ia kembali menggenggamnya. Tangan kiri Soonyoung sedari tadi tidak pernah berhenti mengelus kepala atau punggung Jihoon. Memberikan kenyamanan, mungkin saja merupakan satu-satunya hal yang saat ini sedang dibutuhkan oleh Jihoon.

“tadinya aku mau ajak kamu makan seafood langganan aku, meskipun aku tadi udah makan malam”

“kekenyangan nanti begah, udah diem gini aja. Capek ya? latihan tiap hari”

“iya, biasanya senin sampai jum'at tapi sekarang jadi tiap hari. Terakhir aku keluar waktu nginep di kosan kamu minggu lalu”

“ada waktu istirahatnya?”

“waktu makan aja, makan siang satu jam, kalau pas makan malam dari jam 5 istirahatnya sampai jam 7 malam”

“kalau besok aku jemput jam 5 bakal dibolehin keluar? nanti aku pulangin jam 7”

“emang kamunya mau?” tanya Jihoon, ia mengangkat wajahnya melihat Soonyoung

” ya mau, nanti besok di jemput berarti ya?”

Jihoon mengangguk, ia akhirnya bisa tersenyum. Jihoon bisa merasakan hembusan nafas soonyoung di keningnya, mereka sedekat itu.

Soonyoung tidak bertanya lebih lanjut, Jihoon dan juga dirinya sedang menikmati moment saat ini sambil mendengarkan lagu dari playlist yang sengaja Soonyoung buat untuk Jihoon. Sebetulnya, Soonyoung sudah berencana akan memberikan link playlistnya kepada Jihoon nanti kalau lagu-lagunya sudah sesuai dengan isi hatinya, tapi belum selesai ia menyusun lagu, jihoon sudah melihat playlistnya duluan.

mereka sudah menghabiskan 30 menit bersama, jihoon sempat kesal ketika lagu pertama kembali terputar.

“kenapa udah lagu ini lagi” katanya. karena hanya tinggal beberapa lagu lagi dan ia harus kembali ke rumah.

“kalau mingyu gak ada dan kamu mau keluar, chat aku aja”

“kalau kamu lagi ada rapat?”

“jam 5 sampai jam 7 bakal aku kosongin, nanti aku izin lagi sama ayah kamu”

“makasih soonyoung” jihoon kembali memeluk soonyoung dengan erat.

Mereka menghabiskan waktunya dengan berbagi cerita, jihoon mendengarkan apa yang soonyoung ceritakan tentang rapat tadi yang soonyoung lakukan sebelum pergi ke rumah jihoon. Lalu soonyoung mendengarkan cerita jihoon tentang proses latihannya yang membuat ia muak dengan piano.

“kalau sedang begini, aku suka sebel sama piano”

“lihat tangan aku, sampai kaku begini” lalu soonyoung memijat pelan setiap jari Jihoon

“aku kalau makan cuman bisa pakai sendok”

“habis ini aku harus latihan lagi sampai jam 11 malam”

“aku maunya mengeluh terus...capek”

dan masih banyak lagi hal-hal yang jihoon sampaikan kepada soonyoung. soonyoung kadang hanya merespon dengan anggukan atau dengan kata-kata penyemangat untuk jihoon.

Sampai lagu terakhir selesai. Jihoon masih tidak mau melepas pelukannya.

“sudah jam 9, besok lagi ya, aku jemput jam 5”

Jihoon melepaskan pelukannya dengan terpaksa, mereka keluar dari mobil. soonyoung mengantar jihoon sampai ke depan pintu rumahnya. “ hati-hati di jalan ya”

“iya”

“aku masuk ya”

“iya”

“bye soonyoung, kalau sudah sampai kosan chat”

“iya, jihoon. Aku pulang dulu ya”

Jihoon masuk ke dalam rumahnya, ia langsung menuju kamar dan tidak menyapa ayahnya yang masih duduk di ruang tengah. Jihoon masih kesal dengan waktu yang hanya satu jam itu, dia tidak mau menyapa ayahnya, tadi ayahnya juga sempat menengok ke arah jihoon.

Jihoon sudah mengganti lagi pakaiannya, ia sudah bersiap untuk berlatih lagi. Suara piano mulai terdengar, ayah jihoon tidak akan tidur sebelum jihoon selesai berlatih. ia akan mendengarkan dari ruang tengah, dan jika jihoon berhenti lebih dari 15 menit ia akan masuk ke kamar jihoon dan menyuruh jihoon untuk terus berlatih.

Jam 11 pas. Akhirnya jihoon bisa memegang handphonenya lagi. ia mengecek chat dari soonyoung. Ternyata soonyoung belum tidur dan mereka memutuskan untuk mengobrol via chat sebelum jihoon akhirnya tertidur.


satu.... “i'm afraid if i just meant literally nothing to you”